Melihat Toleransi di Bumi Pattani, Thailand

Jum'at, 06 September 2019 - 11:01 WIB
Melihat Toleransi di Bumi Pattani, Thailand
Melihat Toleransi di Bumi Pattani, Thailand
A A A
THAILAND - Thailand merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama Budha. Tak heran, jika berkunjung ke Negeri Gajah Putih ini wisatawan akan sangat mudah sekali menemukan candi dengan beragam arsitektur.

Menariknya, meski sebagian besar penduduk Thailand beragama Budha, ternyata di ujung selatan Negeri Gajah Putih ini, terdapat tiga provinsi yang lebih dari 80% penduduknya memeluk agama Islam yakni Provinsi Pattani, Yala dan Narathiwat.

Meski begitu, toleransi antara kedua pemeluk agama tersebut sangat tinggi. Hal itu bisa dirasakan di tiga provinsi di Thailand selatan yakni, Provinsi Yala, Narathiwat dan Pattani. Saat SINDOnews mengunjungi pusat kerajinan tangan ibu-ibu rumah tangga Si Ma Ya di Provinsi Yala, suasana kekeluargaan sangat terasa. Mereka hidup rukun berdampingan dan saling bergotong royong.

Tampak beberapa ibu-ibu paruh baya dari beragam latar belakang agama, baik Budha, Islam dan Kristen bahu membahu mengolah tanah dari Gunung Kampan untuk dijadikan bahan dasar pewarna kaos, slayer, kain sebagai souvenir bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.

"Di sini kami memberdayakan ibu-ibu yang sudah tua, pensiun agar tidak sendiri di rumah sekaligus mencarikan kerja untuk masyarakat setempat," Ketua Pusat Kerajinan Tangan Si Ma Ya yakni, Nouwarat Noypong, Jumat (6/9/2019).

Meski sudah tidak lagi muda, namun semangat dan kekompakan di antara mereka sangat terlihat. Menurut Noypong, kekompakan ini karena sejak dahulu mereka selalu saling percaya satu sama lain dan bergotong-royong dalam kehidupan sehari-hari. "Kalau ada event, festival budaya antara pemeluk Budha dan Islam saling membantu dan tukar menukar budaya," katanya.

Kultur kebersamaan yang telah dibangun sejak lama ini membuat mereka hidup rukun. Apalagi, sejak pusat kerajinan tangan ini bangun pada 2007, keharmonisan antara sesama pemeluk agama di daerah tersebut semakin erat. Mereka bersama-sama memproduksi souvenir baju, kain,topi, tas dan sebagainya.

"Mereka di sini mewarnai baju dengan pewarna yang berasal dari tanah Gunung Kampan. Ini tanah dari gunung. Jadi satu gunung ini khusus tanahnya bisa untuk mewarnai karena dekat Pagoda. Sebab gunung yang lain tidak bisa, luntur semua," katanya.

Untuk mengubah tanah menjadi pewarna, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyaring tanah saei Gunung Kampan. Selanjutnya tanah halus tersebut dimasukkan ke air dan diaduk sampai berubah warna. Tahap selanjutnya adalah merendam kain, kaos maupun benda-benda souvenir lainnya yang sudah dicuci selama satu hingga tiga hari.

"Jadi tanah dikelola untuk menjadi pewarna baju. Air tidak direbus. Kalau pewarna dari daun itu airnya harus direbus dahulu. Kalau ini enggak. Setelah direndam lalu diambil untuk dijadikan souvenir dan dijual sehingga ada income yang masuk," katanya.

Berkat kerja keras dan kekompakan di antara mereka, sudah banyak penghargaan yang diperoleh. Bahkan, Pemerintah Thailand selalu melibatkan dan mengundang mereka setiap kali menggelar event pameran.

"Setelah ada kelompok Si Ma Ya ini, pemerintah dan sejumlah organisasi melihat ini ada peluang ekonomi dan akhirnya mensupport kegiatan kami. Kalau ada event, kami dikirim. Hasil karya mereka juga diorder dari luar kota," katanya.

Terbukti, setiap bulannya 100 hingga 400 souvenir ludes terjual. Hal ini tidak lepas dari harga yang ditawarkan relatif murah yakni 35 hingga 600 bath. "Kalau slayer 35 bath, kalau yang 600 bath itu kain," ucapnya.

Sikap toleransi antar pemeluk agama juga dirasakan di Pasar Klong Srai Hai. Pasar yang berada persis di tepi jalan utama menuju Provinsi Yala ini banyak diisi para pedagang dari kedua pemeluk agama terbesar di negara tersebut.

Menjual berbagai kebutuhan sehari-hari seperti sayur mayur, buah-buahan, hasil laut, dan sebagainya, Pasar ini memiliki 48 kios yang dibagi dua untuk para pedagang muslim dan penganut agama Budha.

"Dari nenek moyang memang sudah berbaur jadi tidak ada masalah sudah seperti keluarga sendiri," ujar Caran (48), Kepala Pasar Klong Srai Hai.

Setiap harinya, pasar ini buka setengah hari mulai dari 13.00-18.00 WIB. Untuk bisa berdagang di pasar tersebut, calon pedagang harus melapor ke kepala pasar untuk selanjutnya dicek apakah barang dagangan berasal dari luar daerah, mengandung bahan kimia dan sebagainya.

"Pendapatan para pedagang rata-rata 500 bath per hari. Mereka setiap harinya iuran 5 bath. Uang itu dikelola untuk keperluan para pedagang sendiri," ucapnya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3193 seconds (0.1#10.140)