Megawati Institute: Saatnya Ubah Konsep Cara Hitung Garis Kemiskinan

Kamis, 15 Agustus 2019 - 17:04 WIB
Megawati Institute: Saatnya Ubah Konsep Cara Hitung Garis Kemiskinan
Megawati Institute: Saatnya Ubah Konsep Cara Hitung Garis Kemiskinan
A A A
JAKARTA - Kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar Indonesia. Kendati angka kemiskinan terus menurun, namun masih banyak pertanyaan yang muncul di masyarakat apa benar angka tersebut secara fakta telah mengalami penurunan.

Megawati Institute bersama Sigma Phi melakukan riset angka kemiskinan berdasarkan metode yang sesuai landasan kontitusi dan cita-cita pendiri bangsa.

Direktur Eksekutif Megawati Institute, Arif Budimanta menganggap metode penghitungan garis kemiskinan yang ada saat ini belum memasukan indikator yang layak seperti yang dimuat dalam UUD 1945.

"Badan Pusat Statistik masih menggunakanKemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar Indonesia. Kendati angka kemiskinan terus menurun, namun masih banyak pertanyaan yang muncul di masyarakat apa benar angka tersebut secara fakta telah mengalami penurunan.

Megawati Institute bersama Sigma Phi melakukan riset angka kemiskinan berdasarkan metode yang sesuai landasan kontitusi dan cita-cita pendiri bangsa.

Direktur Eksekutif Megawati Institute, Arif Budimanta menganggap metode penghitungan garis kemiskinan yang ada saat ini belum memasukan indikator yang layak seperti yang dimuat dalam UUD 1945.

"Badan Pusat Statistik masih menggunakan basic needs approach (pendekatan kebutuhan dasar) untuk menghitung penduduk yang masuk dalam garis kemiskinan," kata Arif saat diskusi di Hotel Mercure, Sabang, Jakarta Pusat, Kamis (15/8/2019).

Dia menuturkan, kemiskinan sejauh ini dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.

Sementara itu, kata Arif, dalam Konstitusi, kehidupan yang layak diatur dalam empat pasal, yakni Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 A, Pasal 28 C Ayat 1 dan Pasal 31 Ayat 1.

Menurut dia, jika dirangkum pasal-pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, pemenuhan kebutuhan dasarnya, pendidikan, penghidupan yang layak serta berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan hidupnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu menganggap, para pendiri bangsa juga pernah mengkritik statistik kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda. Kritik itu dianggap tidak sesuai dengan gambaran kehidupan yang layak bagi rakyat.

"Sudah saatnya setelah 74 tahun Indonesia merdeka, perlu ada perubahan konsep penghitungan tingka kemiskinan dari konsep saat ini yang menggunakan basic needs menjadi basic rights," tuturnya.
basic needs approach (pendekatan kebutuhan dasar) untuk menghitung penduduk yang masuk dalam garis kemiskinan," kata Arif saat diskusi di Hotel Mercure, Sabang, Jakarta Pusat, Kamis (15/8/2019).

Dia menuturkan, kemiskinan sejauh ini dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.

Sementara itu, kata Arif, dalam Konstitusi, kehidupan yang layak diatur dalam empat pasal, yakni Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 A, Pasal 28 C Ayat 1 dan Pasal 31 Ayat 1.

Menurut dia, jika dirangkum pasal-pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, pemenuhan kebutuhan dasarnya, pendidikan, penghidupan yang layak serta berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan hidupnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu menganggap, para pendiri bangsa juga pernah mengkritik statistik kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda. Kritik itu dianggap tidak sesuai dengan gambaran kehidupan yang layak bagi rakyat.

"Sudah saatnya setelah 74 tahun Indonesia merdeka, perlu ada perubahan konsep penghitungan tingka kemiskinan dari konsep saat ini yang menggunakan basic needs menjadi basic rights," tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9301 seconds (0.1#10.140)