IDI Sebut Ada 8 Kelemahan UU Pendidikan Kedokteran

Senin, 22 Juli 2019 - 14:16 WIB
IDI Sebut Ada 8 Kelemahan UU Pendidikan Kedokteran
IDI Sebut Ada 8 Kelemahan UU Pendidikan Kedokteran
A A A
JAKARTA - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) memberikan masukan terkait revisi Undang-Undang Nomor 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran (RUU Dikdok) kepada Komisi X DPR. IDI menyebut terdapat delapan kelemahan dalam UU Dikdok sehingga perlu ada perubahan secara fundamental terhadap UU tersebut.

“Selama tiga tahun kami melakukan proses krusial terhadap UU Dikdok ini. Kenapa jadi proses krusial bagi kami? Karena menurut kami tidak semata-mata merevisi saja, perlu ada perubahan fundamental dalam UU Dikdok,” kata Wakil Ketua Umum I PB IDI, Adib Khumaidi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR di Ruang Rapat Komisi X DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/7/2019).

IDI mencatat ada delapan kelemahan dari UU Dikdok karena bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Pertama, tidak mengatur pembukaan dan penutupan FK (Fakultas Kedokteran) sehingga diduga banyak terjadi penyimpangan dalam pembukaan FK baru; kedua, pengaturan Rumah Sakit (RS) pendidikan bertentangan dengan kaidah-kaidah pendidikan itu sendiri serta bertentangan dengan pelayanan JKN, setidaknya tidak mendukung operasional BPJS.

Ketiga, UU Dikdok tidak ada pasal yang mengatur tentang pengawasan fungsional FK sehingga terjadi celah dalam dispalitas kualitas pendidikan. Keempat, UU ini tidak mengakomodasi subsistem pemerataan distribusi dokter di Indonesia sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan akses pelayanan kesehatan.

“Fakta lapangan menunjukkan ada sekitar 3.000 puskesmas yang tidak ada dokter, padahal produksi dokter telah mencapai 10.000-13.000 orang per tahun,” papar Adib.

Kelima, UU Dikdok juga tidak mendukung konsep komprehensif kesehatan wilayah; keenam, UU Dikdok tidak sesuai dengan filosofi pendidikan kedokteran yang dianut oleh 3.000 FK yang terhimpun dalam World Federation of Medical Education (WFME) yang terdiri dari Basic Education, Postgraduate Medical Education dan Continuing Professional Development of Medical Doctors (CPD) atau Pendidikan dan Pelatihan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) dan Post Graduate Education (PGE) atau Pendidikan Spesialis yang belum diatur di dalam UU Dikdok.

Kemudian, UU ini juga tidak memperhatikan potensi dan peran serta pemerintah daerah dalam pengembangan FK. Sehingga, pemda dan FK berjalan sendiri-sendiri. Terakhir, pendidikan spesialis juga tidak diatur dalam UU Dikdok sehingga menghambat dinamika pengembangan.

“Kita sudah memiliki dokter umum sebanyak 138.000, jumlah dokter yang terdaftar di konsil sebanyak 170.000, dan potensi penambahan dokter pertahun sekitar 12.000. Yang akan menjadi kekhawatiran, dalam memproduksi dokter sebagai tenaga intelektual profesional bisa mengakibatkan pengangguran karena tidak adanya peraturan dalam produksi dokter,” ungkap Adib.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8798 seconds (0.1#10.140)