Spirit I La Galigo untuk Indonesia dan Dunia

Kamis, 04 Juli 2019 - 08:30 WIB
Spirit I La Galigo untuk Indonesia dan Dunia
Spirit I La Galigo untuk Indonesia dan Dunia
A A A
I La Galigo kembali berlabuh di Indonesia. Setelah kurang lebih 15 tahun dipentaskan di panggung-panggung megah di berbagai kota di dunia, karya teater musikal ini akhirnya kembali ke Tanah Air. Karya monumental ini akan dipentaskan selama empat hari berturut-turut, yakni 3, 5, 6, dan 7 Juli 2019 di Ciputra Artpreneur Theater Jakarta.

Apa dan siapa I La Galigo? Jika ada yang menanyakan itu tentu hal yang wajar. Meski telah mendapat pengakuan dunia, belum semua masyarakat Indonesia, terutama kalangan generasi muda, mengenalnya. Naskah I La Galigo pernah dipentaskan di Tanah Air.

Pertama pada 2004 di Jakarta dan kedua pada 2011 di Makassar, Sulawesi Selatan. Adapun di Eropa, hampir seluruh kota besar pernah disinggahinya. Naskah ini pernah dipentaskan di sejumlah ajang seni bergengsi dunia di 9 negara dan 12 kota.

Di antaranya Lincoln Center Festival New York, Het Muziektheater Amsterdam, Forum Universal de les Cultures Barcelona, Les Nuits de Fourviere Rhone Prancis, Ravenna Festival Italia, Metropolitan Hall for Taipei Arts Festival Taipei, Melbourne International Arts Festival, Teatro Arcimboldi Milan. I La Galigo juga dipentaskan khusus pada pembukaan Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali.

I La Galigo adalah naskah teater karya sutradara asal Amerika Serikat Robert Wilson yang diangkat dari Sureq Galigo yang disebut-sebut sebagai epos terpanjang di dunia, mengalahkan banyak karya terkenal lain, termasuk Mahabarata. Sureq Galigo merupakan naskah Bugis kuno yang ditulis pada abad ke-13-15. Naskah ini bercerita tentang asal-muasal penciptaan manusia pertama di bumi versi Bugis.

Sureq Galigo diabadikan lewat tradisi lisan dan naskah. Bentuknya berupa syair puisi. Sureq Galigo ini telah diakui oleh UNESCO sebagai world heritage-memory of the world pada 2011. Inti dari kisah pada Sureq Galigo antara lain menggambarkan petualangan, peperangan, persahabatan, kisah cinta terlarang, upacara pernikahan yang rumit hingga pengkhianatan.

Awalnya teks I La Galigo banyak berserakan di berbagai penjuru Sulawesi Selatan, baik dalam bentuk tulisan di daun lontar maupun sebagai mantra-mantra. Pada 1852, seorang ahli bahasa dan ahli kitab asal Belanda Benjamin Frederik Matthes (BF Matthes) mengumpulkan manuskrip ini bersama Colliq Pujie Arung Pancana Toa (1812-1876), putri raja Kerajaan Bugis Tanete. Naskah ini lalu dibawa ke Belanda dan disimpan di perpustakaan Leiden.

Bagi pencinta seni, kembalinya I La Galigo ke Tanah Air adalah kesempatan emas untuk menikmati karya spektakuler. Betapa tidak, Robert Wilson sebagai sutradara adalah garansi pertunjukan ini memiliki kualitas tinggi.Selain itu sejumlah seniman ternama Indonesia ikut mengambil peran. Apresiasi layak disampaikan kepada Yayasan Bali Purnanti yang memboyong pentas ini kembali ke tanah tempat ia dilahirkan. Meskipun naskah yang jadi sumbernya terlahir di Bugis, I La Galigo adalah milik Nusantara, bahkan kini menjadi milik dunia.

Tantangan kita adalah merawatnya dan melestarikan spirit yang dikandungnya. Hal yang juga menjadi tantangan adalah bagaimana membuat karya ini lebih adaptif terhadap generasi muda. Maka itu perlu transformasi dengan menghadirkan kisah ini dalam medium lain selain teater, entah berupa film populer atau komik yang lebih mudah diterima kalangan milenial.

Menyaksikan pentas I La Galigo juga momentum untuk belajar sejarah meskipun sejatinya ia bukan teks sejarah. Ia berisikan berbagai macam mitos. Namun paling tidak I La Galigo memberikan gambaran kepada kita mengenai kebudayaan Bugis beberapa ratus tahun lalu.

Di saat sebagian masyarakat Indonesia tengah gandrung pada kebudayaan pop, terutama tontonan berlatar negeri orang seperti India, Turki, Korea, dan Amerika Latin, kehadiran I La Galigo bisa jadi bahan renungan bahwa sesungguhnya ada karya sastra besar yang dimiliki Indonesia yang tidak ternilai harganya.

Melalui I La Galigo atau karya sastra serupa yang kita punya, sewajarnya kita mengambil spirit untuk tetap berpijak pada budaya sendiri, lantas mengaktualisasi nilai-nilai moralitas yang ada di dalamnya sesuai dengan ruang dan waktu. Dari karya seperti ini pula kita bisa memetik nilai yang paling kita butuhkan hari-hari ini, yakni menghargai persamaan dan mampu menerima setiap perbedaan.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.3648 seconds (0.1#10.140)