Kabinet Rekonsiliatif, Mungkinkah?

Jum'at, 28 Juni 2019 - 05:21 WIB
Kabinet Rekonsiliatif, Mungkinkah?
Kabinet Rekonsiliatif, Mungkinkah?
A A A
Adi Prayitno Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia

DISKURSUS tentang kabinet rekon­silia­tif terus meng­ge­linding liar bak bola salju (snow ball) seiring fragmen­tasi politik yang kian ekstrem. Ide ini dinilai brilian dan mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Ter­utama untuk me­redakan tensi politik di berbagai level ke­hidupan sosial. Terlampau ba­nyak amunisi yang dihabiskan bangsa ini sekadar meladeni se­rangkaian isu tak produktif yang membuat langkah kita seakan berjalan mundur.

Susahnya upaya rekon­siliasi pascapemilihan presiden (pil­pres) menjadi penegas betapa bekas luka tanding ulang dua jagoan begitu pedih. Padahal, tanda-tanda alam untuk re­kon­siliasi cukup terang ben­derang. Setidaknya ditandai de­ngan sejumlah peristiwa po­litik mutakhir. Misalnya, ulama dan pengusaha yang semula ter­belah, kini mulai islah. Meski belum berhasil, upaya mediasi Jokowi dan Prabowo terus dila­ku­kan hingga saat ini.

Harus diakui, pilpres kali ini memang begitu menyayat hati kebangsaan kita. Saling tuding soal pemimpin kafir anti­ulama, prokomunis, kelompok radikal ekstrem, hingga klaim paling Islam, menjejali ruang publik. Padahal, baluran politik Jokowi dan Prabowo sangat dominan warna nasionalis ke­timbang Islam. Jika pun Islam, pasti abang­an serupa nukilan antro­plog politik Clifford Geertz dalam tradisi “agama Jawa” karena keduanya tak memiliki corak Islam kental seperti santri.

Kita harus punya keren­dah­an hati mengakui bahwa frag­mentasi politik terjadi akibat saling menegasi yang berlebih­an. Kubu Jokowi kerap di­aso­sia­si­kan kelompok pelindung aseng dan asing, didukung partai setan, dan seterusnya. Bahkan Jokowi tiada henti dituding ke­turunan PKI. Sementara kubu Prabowo ditengarai meng­a­komodasi kelompok radikal ekstrem, wahabi, serta anti-NKRI dan Pancasila.

Padahal, pilpres medium pertarungan ide tentang masa depan Indonesia. Namun yang terjadi malah tawuran opini berbasis isu abad kegelapan. Isunya tak beranjak. Melulu soal agama dan berebut klaim paling benar (claim of truth). Efeknya, pilpres lebih kentara perten­tangan antarfaksi agama ter­tentu ketimbang kon­frontasi antarideologi parpol.

Ikhtiar politik sudah kita lakukan. Semua tahapan, proses, hingga sengketa hasil pemilu sudah ditempuh melalui Mah­kamah Konstitusi (MK). Apa pun hasilnya harus diterima se­bagai keniscayaan demo­krasi. Babak baru kehidupan demo­krasi kita meski segera dimulai. Yakni, rekonsiliasi nasional se­bagai upaya menyatukan ele­men bangsa yang terserak akibat friksi politik yang cukup tajam.

Di antara sekian banyak menu opsi rekonsiliasi, usulan membentuk kabinet rekon­siliatif paling banyak diperd­e­batkan di kalangan publik, yakni satu komposisi kabinet yang mengakomodasi parpol pen­du­kung Prabowo menjadi bagian kekuasaan politik Jokowi yang menjadi pemenang pilpres. Per­tanya­an kemudian, apakah mungkin kabinet rekon­siliatif bisa di­wujudkan?

Sharing Power

Banyak pihak menengarai pembagian kekuasaan (sharing power) menjadi solusi akhir dari kebuntuan rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Karena hakikat politik hanya kepen­ting­an abadi bukan teman apa­lagi musuh abadi. Diktum feno­menal Harold Laswell sangat relevan dalam konteks mena­rasi­kan feno­mena ini. Politik itu soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana cara mendapat­kan­nya (politics is who gets what, when, dan how). Sekali lagi, po­litik menyangkut fleksi­bilitas yang tak bisa diukur de­ngan frasa hitam putih.

Jika kita percaya bahwa po­litik soal bagaimana men­dapat ke­kuasaan, maka upaya mem­bagi kekuasaan ke Prabowo adalah cara paling rasional meredam gejolak. Kekuasaan menjadi alat barter paling sahih rekonsiliasi. Bukan yang lain. Posisi strategis di kabinet, pimpinan DPR dan MPR, serta posisi lain di kemen­terian “basah” menjadi instru­men yang bisa meluluhkan dua iman politik dua kubu yang saling bertentangan.

Di samping itu, sistem presidensialisme multipartai ekstrem yang kita anut turut mendukung kemungkinan rekonsiliasi berbasis sharing power. Pilpres pascareformasi menyuguhkan satu fenomena tak lazim. Yakni, tipisnya sekat antara oposisi dengan peme­rin­tah. Politik hanya ramai je­lang pencoblosan, namun saat pembentukan kabinet pihak yang kalah segera melakukan persuasi politik untuk menjadi bagian kelompok pemenang.

Potret pilpres 2004 hingga 2014 menarasikan secara te­lan­jang mayoritas parpol yang semula berseberangan me­milih jalan “damai” menjadi bagian pe­nguasa. Sepanjang dua periode SBY hanya PDI Perjuangan yang konsisten menahbiskan diri sebagai oposisi. Selebihnya me­rapat dan bermanuver dari da­lam. Serupa periode awal Jokowi, Golkar, PAN, dan PPP, yang semula mendukung Prabowo lompat pagar dan hanya me­nyisakan Gerindra dan PKS yang menjadi oposan. Sementara Demokrat lebih memilih non­blok menjadi penyeimbang.

Pilpres kali ini cenderung mengulang peristiwa serupa. Parpol yang sejak awal kon­frontatif cenderung merapat ke Jokowi. Gelagat awal sudah dipertontonkan PAN dan Demokrat yang terlihat mesra dengan Jokowi. Belakangan Gerindra mulai digosipkan bakal merapat dengan tawaran menggiurkan yang susah di­tolak parpol besutan Prabowo itu. Sepertinya hanya PKS yang memilih setia di jalan sunyi menjadi oposisi sendirian.

Sekali lagi, jika kita percaya diktum politik bahwa hanya kepentingan yang abadi, maka bukan mustahil jika Gerindra, PAN, dan Demokrat, akhirnya berjamaah pindah haluan me­rapat ke Jokowi. Beginilah cara demokrasi itu bekerja. Menye­bal­kan memang. Problemnya adalah apa mungkin Gerindra begitu mudah dirayu dengan kekuasaan? Bukankah men­jaga marwah partai lebih pen­ting bagi Gerindra ketimbang sharing power itu? Lalu, bagai­mana pene­rimaan parpol koalisi yang sejak awal “berkeringat” memenang­kan Jokowi? Waktu yang akan menjawab semuanya.

Merawat Indonesia Kita

Di luar politik elektoral, merawat Indonesia jauh lebih penting ketimbang urusan lainnya. Menegakkan tatanan demokrasi juga terhormat. Karenanya, politik kita sejak awal harus diarahkan untuk membangun Indonesia utuh kembali tanpa sekat primor­dial­isme politik sempit.

Cukup sudah kita saling mem­benci, membongkar ma­kam keluarga, dan suami-istri bercerai efek kerasnya per­beda­an pilihan politik. Sejati­nya, po­litik kita adalah politik per­kawan­a­n. Jokowi dan Prabowo memiliki basis historis kuat dalam pilkada Jakarta 2012. Kisah sukses duet Jokowi dan Ahok tak terlepas dari racik­an dingin Prabowo dan Mega­wati saat itu.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berpesan, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Sebagai anak bangsa, tentu politik kita harus diupayakan untuk politik kemanusiaan yang melampaui sekat agama, etnis, dan suku. Rasa hormat terhadap sesama anak bangsa tanpa meman­dang perbedaan politik apapun seyogianya dikedepankan. Indonesia kita adalah politik yang menjunjung tinggi huma­nisme di atas segalanya. Beda dukungan politik bukan alasan memusuhi pihak lain.

Indonesia kita adalah Indo­nesia tanpa permusuhan, tanpa fitnah, dan tanpa kebencian. Sebab, yang menyatukan kita sebagai bangsa adalah nilai kemanusiaan universal yang diterjemahkan melalui bahasa kemerdekaan. Khittah politik inilah yang mesti selalu dirawat dengan baik oleh seluruh anak bangsa.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4297 seconds (0.1#10.140)