Melibas Kartel Pangan

Selasa, 28 Mei 2019 - 08:00 WIB
Melibas Kartel Pangan
Melibas Kartel Pangan
A A A
KONDISI pasar pangan di Indonesia sungguh menyedihkan. Bayangkan, aktivitas pasar pangan hampir 100% diwarnai aksi kartel atau monopoli. Lalu bagaimana posisi Perum Bulog yang punya misi menjaga kestabilan harga pangan dalam negeri? Ternyata perannya kecil sekali, hanya berkontribusi sekitar 6%. Artinya, 94% pasar pangan di negeri ini dikuasai pelaku kartel.

Kondisi tersebut jelas merugikan masyarakat karena harga pangan dikendalikan oleh para kartel yang bisa menentukan harga seenaknya. Situasi ini sudah berlangsung lama, tetapi sepertinya tak ada upaya menghentikan. Dengan kata-kata lain, terjadi pembiaran.

Kondisi pasar pangan yang memprihatinkan itu bukanlah isapan jempol karena masalah tersebut dibeberkan langsung Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas). Memberi ruang hidup yang subur para pelaku kartel menjadi kontradiktif atas langkah pemerintah selama ini yang terus berupaya menstabilkan harga pangan. Sebab, kekuatan kartel yang bisa mengendalikan harga di pasar selain mengancam ketidakstabilan harga juga bisa menjadi pendorong laju angka inflasi yang tinggi.

Lalu apa yang harus dilakukan untuk meminimalkan praktik kartel pada pasar pangan yang sudah menggurita itu? Buwas punya obsesi bagaimana menyinergiskan pengelolaan pangan antarkementerian dan lembaga guna menangkal praktik kartel yang merugikan masyarakat. Sebagai contoh, program sinergi itu bisa dimulai dari aparatur sipil negara (ASN) saat membeli beras harus milik Bulog. Buwas sadar bahwa program tersebut pasti direspons keras sejumlah kalangan terutama yang selama ini menikmati keuntungan dengan cara monopoli di pasar pangan.

Sebenarnya, tindakan menghentikan langkah para pelaku kartel susah berjalan, Buwas mengklaim pihak Bulog telah menangkap sejumlah pengusaha yang mempraktikkan aktivitas kartel. Melakukan stabilisasi harga pangan memang harga mati bagi Bulog. Sebagai badan usaha milik negara (BUMN), pemihakannya jelas dan tidak diragukan. Ketika pertama kali menjabat direktur utama Perum Bulog Buwas sudah bertekad melibas para pelaku kartel pangan.

Selain urusan kartel yang telah menggerogoti pasar pangan, Buwas tidak bisa mengerti mengapa negeri ini tak pernah bisa lepas dari aktivitas impor beras. Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara agraris dan salah satu penghasil beras terbesar di dunia sudah saatnya tak impor beras lagi.

Meski demikian, memotong aliran impor beras bukan hanya tugas Bulog, tetapi semua stakeholder. Siapa pun yang terkait dengan perberasan harus bahu membahu mengatasi masalah serius ini. Dari sisi produksi beras, kondisi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan sejumlah negara di kawasan ASEAN.

Mengapa? Pengelolaan sektor pertanian belum optimal. Faktanya 1 hektare sawah di Indonesia hanya menghasilkan 5 ton, padahal di negara lain bisa mencapai produksi 12 ton. Kalau masalah ini tidak ditemukan solusinya, jangan pernah bermimpi tercapai swasembada beras, apalagi untuk mewujudkan cita-cita mulia: menembus pasar ekspor.

Bahkan yang terjadi bisa mengancam ketahanan pangan domestik. Jadi, masih layakkah negeri ini diklaim sebagai negara agraris kalau sebagian besar kebutuhan pangan masyarakat harus didatangkan dari luar negeri?

Jujur saja, persoalan status negara agraris dengan impor pangan terbesar akan berdampak besar terhadap keberlangsungan hidup negeri ini terkait dengan ketahanan pagan. Negeri berpenduduk 265 juta rentan terhadap ketahanan pangan sebagai sebuah persoalan serius.

Ketahanan pangan didefinisikan sebagai ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah negara disebut memiliki ketahanan pangan apabila rakyatnya tidak dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.

Pernyataan Buwas seputar kartel pangan diamini Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kurnia Toha, bahwa tantangan terbesar persaingan usaha di Indonesia salah satunya terkait kartel pangan. Implikasi dari praktik bisnis ilegal tersebut langsung dirasakan masyarakat karena menggerus daya beli.

Karena itu, langkah Buwas untuk melibas keberadaan kartel pangan tidak bisa dibiarkan sendiri. Sinergi antarkementerian dan lembaga negara yang sudah digaungkannya harus direspons cepat. Ego kementerian dan lembaga negara yang selalu mewarnai sejumlah kebijakan publik saatnya ditanggalkan. Buwas sudah melangkah, yang lainnya jangan sampai masih melipat tangan.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7831 seconds (0.1#10.140)