Komunikasi untuk Penyelesaian Konflik

Jum'at, 24 Mei 2019 - 04:45 WIB
Komunikasi untuk Penyelesaian Konflik
Komunikasi untuk Penyelesaian Konflik
A A A
Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institutedan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta



SEJAK penetapan ha­sil rekapitulasi sua­ra oleh Komisi Pe­milihan Umum, Se­­lasa (21/05) dini hari, situasi po­litik nasional kita panas dan mencemaskan. Sebagian dari mereka yang tak puas atas pe­netapan, turun ke jalanan dan yang disayangkan berbaur pula sekelompok pihak yang men­jadi penunggang bebas dan me­manfaatkan situasi agar men­ju­rus ke chaos sehingga me­nim­bul­kan korban meninggal dan terluka. Situasi ini, tak bisa di­diamkan berlarut-larut karena punya efek domino ke berbagai sektor seperti ekonomi dan bis­nis, citra Indonesia di dunia, dan yang terpenting akan meng­gang­gu kohesi sosial politik kita bangsa Indonesia. Solusi ter­baik di situasi semacam ini ada­lah mengefektifkan ko­mu­ni­kasi baik antarpribadi para elite, komunikasi antarorganisasi dan kelompok seperti partai po­litik dan ormas, juga ko­mu­ni­kasi sosial terutama untuk men­jembatani jarak ko­mu­ni­kasi yang terjadi di masyarakat akar rumput.

Mental Kerumunan

Hal yang harus diwaspadai dari gelombang massa yang ha­dir di jalanan ibu kota beberapa hari ini adalah potensi mental kerumunan (mob mentality). Se­cara akademik, yang dimaksud dengan mental kerumunan ada­lah bagaimana orang dapat dipengaruhi oleh orang lain un­tuk mengadopsi perilaku ter­ten­tu berdasarkan emosi, dari­pada rasionalitas. Ketika indiv­i­du dipengaruhi oleh mentalitas massa yang berkerumun, me­re­ka mungkin saja membuat ke­pu­tusan yang berbeda dari yang mereka miliki secara individual. Itulah yang menjelaskan me­nga­pa seseorang bisa larut da­lam euforia atau histeria massa, dan tanpa berpikir panjang me­lakukan sesuatu yang seb­e­nar­nya melanggar aturan. Seperti bersama-sama melanggar wak­tu untuk berujuk rasa, me­la­ku­kan keonaran, memprovokasi kekerasan baik verbal maupun tindakan, juga terlibat dalam ta­wuran.

Bisa jadi, dari yang turun ke jalan sejak Selasa (21/05) ada yang murni karena ekspresi ber­demokrasi yakni meyampaikan ketidakpuasan atas hasil pe­ne­tapan rekapitulasi suara oleh Ko­misi Pemilihan Umum (KPU). Namun, yang dikha­wa­tirkan ada­lah modus sebagian ke­lom­pok yang memanfatkan situasi ini untuk membuat keonaran yang disengaja dan bisa me­ma­n­tik meluasnya mental ke­ru­mun­an di arena unjuk rasa. De­nis McQuail dalam bukunya Mass Communication Theory (1987) memberikan empat ka­rak­te­ri­s­tik tipe kolektivitas ke­ru­mun­an. Pertama, tingkat instruk­si­nya tinggi, karena saat terjadi ke­rumunan satu pancingan atau satu provokasi bisa cepat diamini oleh yang lainnya. Ke­dua, tujuan atau objek per­ha­tian dari kerumunan itu ke­ja­dian yang sedang berlangsung.

Situasi yang terjadi di lapangan kerap berjalan cepat dan di­namis, di situlah orang-orang ke­rap tak berpikir panjang atau mengevaluasi apa­kah tin­da­kannya berisiko atau tidak di masa men­da­tang. Ketiga, kon­trol organisasi rendah. Mek­si­pun bisa jadi orang yang datang dan ber­kerumun itu terdiri dari ber­bagai organisasi, tetapi prak­­tik­nya sulit mengen­da­li­kan orang yang datang dari ber­bagai ke­lom­pok dengan ra­gam motif serta kepen­ti­ng­an. Ke­em­pat, ka­dar ke­sadaran ting­gi, te­ta­pi bersifat se­mentara. Ar­ti­nya kerumunan bisa merangsang orang untuk tu­rut serta dengan ke­sadaran tinggi berpartisipasi dalam situasi yang terjadi mes­kipun sesaat.

Jika kita bersepakat bahwa pemilu adalah mekanisme de­mo­kratis, maka sudah saatnya kita kembali ke jalur konsti­tu­sional dalam mengekspresikan konflik elektoral. Setiap orang, memang punya hak untuk me­nyatakan pandangannya di muka umum, tetapi kita juga ha­rus ingat kebebasan seseorang juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Situasi yang ber­kembang dari aksi yang me­man­tik kekerasan ini, tidak bisa di­biarkan memburuk. Oleh ka­re­nanya, pihak-pihak yang me­mang ingin benar-benar mem­per­juangkan ketidakpua­sa­n­nya atas hasil pemilu kembali ke koridor hukum.

Pasal 24 C Ayat 1 UUD 1945 yang kemudian di­tu­ru­nkan ke Pasal 473 Ayat 1 UU No.7 Tahun 2017 jelas dan tegas me­nye­but­kan, perse­li­sih­an hasil pemilu dilakukan me­lalui Mahkamah Konstitusi (MK). Kubu Pra­bowo-Sandi su­dah menyatakan akan me­nem­puh mekanisme perselisihan hasil pemilu di MK, ini artinya energi kubu pen­du­kung Pra­bowo-Sandi lebih baik di­arah­kan di kanal hukum ini. Kalau masih terjadi tindakan pro­vo­kasi di jalanan, artinya ter­buka peluang ada yang me­ma­n­faat­kan bukan dalam kon­teks pe­mi­lu tetapi men­ciptakan ke­ti­dak­teraturan sosial (social disorder) di masyarakat.

Gejala Groupthink

Dalam situasi yang me­ma­nas seperti ini, penting juga kita untuk tidak terjebak pada gejala groupthink. Gejala ini oleh Irving Janis dalam bu­ku­nya Group­think:Psy­ch­ol­o­gi­cal Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982), di­gam­barkan se­bagai ke­­lom­pok yang memi­li­ki ting­kat kohe-si­vi­tas tinggi dan se­ring­­kali gagal me­ngem­­bangkan al­ter­natif-alter­na­tif tin­da­kan yang me­­re­ka ambil.

Ada ti­ga kondisi menonjol yang men­­do­rong kuatnya gejala group­think. Pertama, faktor ko­he­si­vi­tas kelompok. Ciri yang paling identik dari ke­lompok se­lama ini adalah se­ma­ngat ke­bersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam lo­ya­litas terhadap pemimpin. Ko­hesi sesungguhnya positif, ka­rena dapat menjadi perekat agar ke­lompok tetap utuh. Namun ke­lompok yang sangat kohesif ber­lebihan juga akan me­la­hirkan keseragaman berpikir dan berperilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (af­fi­liative constraints). Menurut Den­nis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints (1998) batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko di­tolak dari kelompok­nya.Kedua, faktor struktural berbentuk minimnya kepemimpinan im­parsial (lack of impartial leader­ship) dan kurangnya prosedur pengambilan keputusan (lack of decision making procedures). Ketiga, tekanan terhadap ke­lom­pok baik dari internal mau­pun eksternal.

Singkatnya, gejala grou­p­think ini terjadi di saat se­se­orang yang berada di dalam ke­lompok tertentu yang bergerak bukan karena kesadaran ra­sio­nalitas individunya tetapi lebih karena semangat kebersamaan ke­lom­poknya. Jika pun dalam hatinya tidak setuju, tetapi karena ada­nya batasan afiliatif seperti lo­ya­litas pada pimpinan atau esprit the corps, akhirnya tindakannya larut dalam tin­da­kan kolektif kelompok. Gejala ini, sering kita lihat di perilaku anggota ormas yang turun ke jalan, mereka mem­bangun ba­tas­an afiliatif de­ngan ang­go­tanya mulai de­ngan seragam yang sama, te­riak­an yang sama, komando ber­gerak bersama, bahkan mo­dus tindakan yang juga serupa. Saat gejala group­think ini ber­gerak menjadi tin­da­kan nyata yang mem­ba­ha­yakan banyak orang, tentu akan sangat me­re­potkan aparat ke­amanan dan merugikan banyak orang.

Ada tiga solusi dari per­spek­tif komunikasi politik untuk penyelesaian konflik pasca-pe­ne­tapan hasil pemilu. Pertama, kedua pasangan kandidat di pil­pres tak cukup hanya pidato yang secara simbolik memberi pe­san damai. Baik Jokowi mau­pun Prabowo sudah me­nyam­pai­kan pidato yang titik temu pe­sannya meminta semua pi­hak agar menghentikan ke­ke­ras­an dan kembali ke politik ke­bangsaan karena Indonesia ada­­lah rumah kita bersama. Pra­­bowo, harus memastikan pe­san­nya dipahami dan dija­lan­kan oleh seluruh timnya. Ja­ngan sampai pidato sekadar re­torika, tetapi misalnya ada kom­ponen dari tim yang mem­beri dukungan logistik bahkan memprovokasi aksi massa terus berlanjut. Demikian juga J­o­ko­wi, harus memberi instruksi agar aparat bertindak propor­sio­nal dan persuasif, jangan sam­pai represif dan memantik resistensi lebih besar.

Kedua, penting mulai diini­sia­si pendekatan public relations politik secara berjenjang. Mulai dari inisiatif perjumpaan Jo­ko­wi dan Prabowo yang akan me­nenangkan kedua pihak yang terpolarisasi sejak lama. Pun demikian, inisiatif komunikasi yang sama bisa dilakukan di level tim sukses, tim relawan dan lain-lain, sehingga konflik elektoral di dorong ke saluran hukum yakni di MK. Ketiga, peranan tokoh struk­­tur sosial tradisional seperti aga­ma­wan dan tokoh ma­sya­ra­kat, agar lebih bergiat untuk me­nye­mai perdamaian bukan se­ba­lik­nya meneguhkan ke­ben­cian. Pesan-pesan damai dan kanal konflik kons­ti­tu­sio­nal ini dapat dibantu re­so­na­n­sinya melalui komunikasi mas­sa oleh media.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4752 seconds (0.1#10.140)