Kapal Laut Substitusi Pesawat

Selasa, 21 Mei 2019 - 07:05 WIB
Kapal Laut Substitusi Pesawat
Kapal Laut Substitusi Pesawat
A A A
Muhamad Karim Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim,

Dosen Universitas Trilogi Jakarta

KISRUH kenaikan harga tiket pesawat terbang yang menyentuh batas atas untuk semua jalur penerbangan di Tanah Air saat ini telah menimbulkan problem ekonomi politik yang tidak sederhana. Kenaikan harga tiket tidak hanya berimbas pada penurunan animo masyarakat untuk menggunakan pesawat terbang, apalagi jelang mudik Lebaran Idul Fitri 1440 H, melainkan juga menyumbang kenaikan tingkat inflasi dan merosotnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke berbagai destinasi wisata. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi bulanan April 2019 sebesar 0,44% atau secara tahunan 2,83%. Sementara inflasi Januari hingga April 2019 mencapai 0,80%.

Penyumbang inflasi terbesar dalam periode ini ialah bahan makanan terutama jelang bulan Ramadhan dan kenaikan harga tiket pesawat. Kunjungan wisatawan domestik pun merosot hingga 30%. Buktinya, wisatawan domestik yang berkunjung ke Nusa Tenggara Barat (NTB) yang baru mengalami recovery dari 25% menjadi 50% pascagempa malah merosot kembali hingga 35%. Imbas ini mau tidak mau mesti disikapi pemerintah. Pemerintah lewat Kementerian Perhubungan dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mestinya mengambil langkah cepat agar tidak mengganggu kinerja makroekonomi dan mengurangi devisa pariwisata. Jika pemerintah membiarkannya, bakal berimbas secara ekonomi politik, digoreng hingga dikaitkan dengan hasil Pemilu 2019.

Bagi masyarakat yang berkecukupan, kenaikan tiket pesawat bukan masalah berarti. Lain cerita bagi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Bakal enggan menggunakan jasa pesawat terbang. Substitusinya tinggal kapal laut milik Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) maupun swasta, kereta api, dan mobil pribadi. Namun, bagi yang bakal mudik ke Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Maluku Utara, dan Papua pilihannya cuma kapal laut.

Kapal Laut

Hingga 2018 jumlah armada laut milik PELNI yang mengangkut penumpang dan barang yang beroperasi di seluruh perairan Indonesia berjumlah 88 unit. Komposisinya terdiri atas kapal penumpang 26 unit, roro 2 unit, kapal barang 9 unit, dan perintis 52 unit. Semuanya menyinggahi 91 rute tetap pelabuhan di seluruh wilayah Indonesia. Pada akhir 2018 kapal-kapal PELNI telah mengangkut penumpang sebanyak 3,622 juta. Jumlah ini meningkat 2,86% dibandingkan pada 2017 sebanyak 3,43 juta.

Otomatis pada 2019 ini bakal meningkat akibat kenaikan tiket pesawat. Selain penumpang, kapal-kapal PELNI tersebut juga mengangkut barang, kendaraan, dan kontainer. Pada 2018 jumlah barang yang diangkut mencapai 88.290 ton meter kubik atau melonjak 118% ketimbang 2017. Kendaraan yang diangkut berjumlah 9.394 unit atau naik 135% dibandingkan 2017.

Sementara kontainer mencapai 15.568 teus atau naik 105% dibandingkan 2017. Beralihnya penumpang menggunakan kapal PELNI sejak awal 2019 dipicu oleh meroketnya harga tiket pesawat yang hingga kini belum juga turun. Kondisi ini bakal menggairahkan dan menjadi peluang bagi transportasi laut nasional. BPS merilis bahwa hingga Februari 2019 kapal-kapal PELNI telah mengangkut sebanyak 243.445 penumpang atau melonjak 42% dibandingkan periode yang sama pada 2018 yang hanya 171.243 penumpang. Perubahan ini tentu menjadi angin segar bagi pemerintah untuk memperkuat visi poros maritim dunia lewat pengembangan tol laut.

Problemnya adalah apakah armada kapal PELNI sekarang ini bakal mampu menampung jumlah penumpang yang tidak lagi menggunakan pesawat akibat kenaikan harga tiketnya? Pasalnya, kapal-kapal PELNI bertonase besar yang mengangkut penumpang dan barang jumlahnya tidak bertambah dan usianya lebih dari 30 tahun. Jika program tol laut berlanjut, apakah PELNI bakal menambah kapal penumpang bertonase besar untuk melayani dan memperkuat armadanya yang beroperasi di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur?

Kebijakan Peta Jalan

Sebagai negara kepulauan, kebijakan memperkuat armada transportasi laut terutama untuk mengangkut penumpang, barang, dan kontainer menjadi keniscayaan. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan transportasi udara seperti garuda Indonesia. Memang dua dekade terakhir, masyarakat dimanjakan oleh harga tiket pesawat yang relatif terjangkau sehingga kapal laut terkesan hidup enggan mati tak mau. Bahkan, beberapa kapal PELNI menghentikan jalur pelayarannya karena penumpang beralih menggunakan pesawat. Kini tatkala tiket pesawat melonjak, orang mudik Lebaran, tahun baru, dan libur panjang kembali memilih kapal laut, terutama di wilayah tengah dan timur Indonesia.

Pada tahun-tahun mendatang tiket pesawat bakal tetap tinggi terkecuali banyak maskapai yang beroperasi di Indonesia. Kondisi ini bakal mengikuti hukum pasar. Jika suplai pesawat banyak, otomatis harga akan turun. Asalkan, faktor bahan bakar dan maintenance -nya tidak mengalami perubahan signifikan. Mencermati hal ini, PELNI sebagai badan usaha milik negara (BUMN), mau tidak mau dalam 25 tahun ke depan mesti membuat peta jalan pengembangan armadanya untuk mengantisipasi melonjaknya jumlah penumpang yang beralih ke kapal laut dan kian menuanya usia kapal-kapal yang kini beroperasi.

Khusus kapal penumpang bertonase besar, PELNI mesti mendatangkan kapal baru yang dilengkapi fasilitas-fasilitas memadai, termasuk mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi sehingga memberi kenyamanan penumpang. Misalnya, layanan internet gratis di kapal. Mengapa PELNI mesti melakukan hal ini? Alasannya, PELNI sebagai perusahaan negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menyediakan sarana transportasi laut karena menyangkut hajat hidup orang banyak (baca Pasal 33 UUD 1945).

Peta jalan pengembangan armada ini mestinya dirumuskan sesuai dengan kebutuhan selama 25 tahun ke depan, kondisi geografis, dan tingkat kepadatan lalu lintas pelayaran barang dan jasa. Dalam peta jalan ini, PELNI mesti memproyeksikan kebutuhan jumlah kapal penumpang, roro, kapal barang, dan kapal perintis dalam 25 tahun ke depan. Pengembangan armada ini juga mesti dibarengi pembangunan dan perbaikan infrastruktur serta manajemen kepelabuhanan yang terbaik dan modern di daerah-daerah yang disinggahinya. Pengembangan ini tak akan berjalan efektif, tanpa dibarengi dukungan sumber daya manusia yang profesional dan kebijakan politik anggaran memadai.

Sumber daya manusia yang profesional berperan dalam menjalankan tata kelola dan manajemen kepelabuhanan yang memenuhi standar nasional maupun internasional. Apalagi, pengembangan armada kapal penumpang diintegrasikan dan disinergikan dengan pengembangan wisata bahari yang sebagian besar berlokasi di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur seperti Kepulauan Raja Ampat, Bali, NTB, Wakatobi, Bunaken di Menado dan Pulau Komodo. Mau tidak mau kapal-kapalnya mesti menyediakan standar pelayanan yang prima, profesional, dan nyaman bagi penumpang.

Pasalnya, kapal-kapal tersebut bakal menyinggahi destinasi wisata atau setidaknya pelabuhan-pelabuhan terdekatnya. Misalnya, di Kepulauan Raja Ampat bisa saja kapal berlabuh di Sorong. Atau, berlabuh langsung ke pelabuhan yang tersedia seperti di Bali. Hal inilah yang bakal mendorong kembali melonjaknya kunjungan wisatawan domestik maupun asing tanpa merisaukan kendala tingginya harga tiket pesawat. Mendorong pengguna jasa transportasi pesawat menyubtitusi dengan kapal laut akibat mahalnya harga tiket pesawat jadi pilihan alternatif bagi penumpang yang hendak bepergian di masa datang. Semoga.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.9130 seconds (0.1#10.140)