54 Tahun Lemhannas RI, Kualitas Demokrasi dan Ketahanan Nasional

Senin, 20 Mei 2019 - 08:30 WIB
54 Tahun Lemhannas RI, Kualitas Demokrasi dan Ketahanan Nasional
54 Tahun Lemhannas RI, Kualitas Demokrasi dan Ketahanan Nasional
A A A
Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo
Gubernur Lemhanas

LEMBAGA Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) bermula dari gagasan sejumlah perwira tinggi di staf keamanan nasional. Cita-cita pembentukan lembaga pertahanan nasional waktu itu bukan lagi sekadar wacana. Perlu diketahui pada 13 Desember 1962 telah dilantik panitia interdepartemental yang bertugas mempersiapkan pembentukan sebuah lembaga pertahanan nasional. Panitia inilah yang bertugas mempersiapkan suatu lembaga pendidikan tinggi pertahanan untuk membentuk dan mengembangkan tenaga-tenaga pembina, baik sipil maupun militer, pada tingkat politik strategi dan pertahanan nasional.

Melalui proses waktu, pemikiran, dan konsepsi yang cukup panjang dan berliku, akhirnya bertepatan dengan momentum Hari Kebangkitan Nasional, Lemhannas diresmikan pada 20 Mei 1965. Kala itu sebutan “pertahanan nasional” mengandung arti ketahanan dari suatu bangsa yang sedang berevolusi.Lemhannas yang dicita-citakan adalah sebuah institusi yang mengorientasikan dirinya pada pencapaian tujuan nasional Indonesia. Selain itu Lemhannas dirancang dan dipersiapkan sebagai pusat pendidikan dan pengkajian masalah-masalah strategis yang berkaitan dengan pertahanan negara dalam arti luas, termasuk dalam pengendalian keutuhan bangsa. Dengan demikian terlihat betapa penting dan strategisnya keberadaan Lemhannas RI.

Hal itu diperkuat dengan pidato Presiden Soekarno ketika meresmikan Lemhannas di Istana Negara Jakarta. Presiden mengatakan bahwa dalam pertahanan nasional dimasukkan unsur-unsur dari seluruh bagian rakyat Indonesia.

Dalam amanatnya Presiden juga menyampaikan perkataan “pertahanan” dalam Lembaga Pertahanan Nasional. Pertahanan yang dimaksud adalah pertahanan dari seluruh Tanah Air, seluruh natie, seluruh bangsa. “... Kita punya pertahanan, cara pertahanan sendiri...,” kembali ditegaskan Presiden Soekarno saat itu.

Dinyatakan juga “…perang modern bukan sekadar perang militer, melainkan peperangan yang menyangkut seluruh yang dimiliki rakyat. Dengan demikian tidak hanya militer yang memperhatikan dan menyempurnakan ketahanan Indonesia, tapi juga orang sipil.”

Seusai upacara peresmian dan pembukaan Kursus Reguler Angkatan I pada 1965, Presiden memberikan kuliah pertama tentang geopolitik. Inilah juga mengapa Lemhannas saat ini menjadi pusat studi ilmu geopolitik.

Berdasarkan semangat tentang kesemestaan sebagai ciri perang yang disampaikan Presiden Soekarno, Lembaga Pertahanan Nasional diubah menjadi Lembaga Ketahanan Nasional dengan singkatan tetap Lemhannas. Hal tersebut dikukuhkan dengan Keppres RI No 4 Tahun 1994 tentang Lembaga Ketahanan Nasional.

HUT Ke-54 Lemhannas RI

Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei, pada tanggal itu pula Lemhannas RI memperingati hari ulang tahun ke-54. Peringatan ulang tahun kali ini dilakukan di bulan suci Ramadan 1440 Hijriah. Momentum ini bagi keluarga besar Lemhannas RI dapat dimanfaatkan untuk melakukan introspeksi sehingga menjadi manusia yang lebih baik dalam segala hal. Dengan demikian kepercayaan dan amanah pendiri bangsa dalam memelihara semangat kebangkitan nasional serta nilai-nilai kebangsaan dapat dijaga.

Inilah mengapa Lemhannas RI diresmikan bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1965. Secara tersirat, jiwa dan semangat perjuangan Lemhannas RI adalah semangat kebangkitan nasional yang mampu mendorong bangkitnya kesadaran bersama untuk hidup bersatu dalam kebinekaan dan sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat.

Pada tahun ini serangkaian acara menyambut ulang tahun digelar, dimulai sejak 22 April hingga 20 Mei sebagai puncaknya. Rangkaian acara terdiri atas berbagai perlombaan, olahraga bersama, bakti sosial, ziarah, jam pimpinan hingga acara yang berpuncak pada upacara parade.

Kebersamaan dalam Bhinneka Tunggal Ika

Tahun 2019 merupakan tahun kontestasi politik yang menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan. Pada 17 April 2019 lalu telah dilaksanakan pemungutan suara pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif DPR RI, DPD RI, dan DPRD kabupaten/kota. Karena itu pula “Kebersamaan dalam Bhinneka Tunggal Ika Pasca-Demokrasi Tahun 2019” diangkat menjadi tema hari ulang tahun Lemhannas RI. Ini sesungguhnya merupakan bentuk komitmen dan tanggung jawab moril Lemhannas RI untuk mengawal pesta demokrasi.

Melihat situasi dan kondisi sepanjang tahun ini, telah terjadi berbagai dinamika politik di masyarakat, sejak masa kampanye hingga menuju hari pemungutan suara, bahkan sampai menjelang batas akhir waktu rekapitulasi penghitungan suara pada 22 Mei 2019. Banyak konflik dan pertentangan politik yang terjadi di kalangan masyarakat terkait dengan pemberian dukungan politik kepada salah satu calon anggota legislatif, terutama calon presiden dan wakil presiden.

Mulai dari perdebatan formal dan nonformal, penyebarluasan berita bohong (hoaks), penggiringan opini yang dimungkinkan terjadi dalam era pasca-kebenaran seperti sekarang inidan politik identitas turut mewarnai kontestasi politik di Indonesia.

Dengan situasi politik yang demikian kompleks di era demokrasi ini, perlu diingat kembali bahwa prinsip dalam demokrasi adalah saling menghargai dan saling menghormati dalam perbedaan. Selain itu perlu diingat kembali proses sejarah terbentuknya bangsa dan negara Indonesia yang terlahir dan berdiri justru karena perbedaan dan kemajemukan.

Inilah yang seharusnya dipahami dan disadari berbagai komponen bangsa sebagai wujud dari semangat sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Melalui tema ulang tahun kali ini dan dengan berpedoman pada semangat kebangkitan nasional, Lemhannas RI melalui peran dan fungsinya ingin merajut kembali kebersamaan setelah sebelumnya memiliki perbedaan pendapat dalam kontestasi politik, yang telah memberi tanda-tanda polarisasi dalam masyarakat.

Keberhasilan Pemilu Serentak

Pelaksanaan pemilihan umum serentak yang baru lalu memang harus diakui telah mendapat apresiasi dari berbagai negara dan merupakan prestasi yang tidak mudah ditemukan di negara lain. Pengakuan dunia internasional yang memuji pelaksanaan pemilu serentak yang berjalan aman dan tertib seharusnya tidak perlu dinodai dengan berbagai bentuk konflik sosial (termasuk yang berkembang di media sosial) yang berpotensi menghasilkan disintegrasi sosial maupun disintegrasi nasional.

Karena masyarakat Indonesia bersifat paternalistik, hal yang sangat diperlukan untuk membangun situasi yang kondusif bagi ketenangan, perdamaian serta demi merajut kembali persatuan dan kesatuan bangsa adalah sikap para elite, terutama para pemimpin dari kedua kubu dalam pemilihan umum lalu.Tahapan ini memunculkan tantangan terbesar bagi kemampuan bermusyawarah, bergotong-royong masyarakat, serta sifat keikhlasan, kejujuran, dan kebesaran jiwa pada pimpinan kedua kubu. Mereka diharapkan mampu memberi sumbangan terbaik bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Namun penyelenggaraan pemilihan umum yang lalu tidak berlangsung tanpa cacat dan kekurangan. Tidak ada yang melarang untuk menyatakan temuan atas kekurangan ini, tetapi hendaknya pencarian solusi atas perbedaan dilakukan berdasarkan kaidah demokrasi di atas landasan kearifan para elite dan pimpinan untuk membangun kesepakatan berdasarkan musyawarah.

Di atas kearifan tersebut adalah trust yang kita berikan kepada lembaga fungsional untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai bagian dari pelaksanaan pemilihan umum. Selain itu perlu kedewasaan dan kesabaran semua pihak mulai dari elite sampai dengan akar rumput untuk tetap menjaga makna sesanti Bhinneka Tunggal Ika dengan terus memelihara dan merawat nilai dari kebangsaan kita yang didasari 4 konsensus dasar bangsa (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI).

Bangsa Indonesia dikenal dengan budaya musyawarah untuk mencapai mufakat. Sekarang inilah kita menghadapi ujian sesungguhnya bahwa memang bangsa Indonesia dapat menyelesaikan masalah kebangsaan yang sulit dalam bentuk polarisasi masyarakat yang tajam melalui kearifannya melakukan musyawarah untuk mufakat.Juga tidak boleh dilupakan bahwa bangsa Indonesia terbentuk melalui konsensus. Konsensus memberi nilai tambah bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa mencari solusi dari masalah kebangsaan yang bercirikan pertemuan dari hakikat kebinekaan.
Hal ini penting dilakukan semata-mata untuk tetap menjaga kualitas ketahanan nasional kita agar tetap tangguh menghadapi berbagai bentuk ancaman. Bangsa dan masyarakat kita tengah berada pada era menghadapi tantangan besar dan kita yakin dengan segala kekayaan pengalaman dan kearifan lokal yang dimiliki, bangsa ini mampu menghadapi tantangan ini dan keluar menjadi bangsa yang besar dengan tingkat peradaban yang lebih tinggi.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2734 seconds (0.1#10.140)