Pentingnya Mengungkap Kerusuhan Mei 1998

Jum'at, 17 Mei 2019 - 08:29 WIB
Pentingnya Mengungkap Kerusuhan Mei 1998
Pentingnya Mengungkap Kerusuhan Mei 1998
A A A
Tom Saptaatmaja

Teolog dan Kolumnis

MEI 1998 sungguh me­nyimpan misteri dan teka-teki yang hingga kini belum terungkap. Kita tidak tahu siapa dalang atau koordinator la­pang­an sehingga ter­jadi ber­bagai kasus kekerasan pada Mei 1998. Setelah 21 tahun refor­masi, dengan berbagai tumbal­n­­ya, seperti para aktivis yang dihilangkan nyawanya, korban Tragedi Semanggi, Trisakti, dan puncaknya kerusuhan atau Tragedi 13-15 Mei 1998, tidak ada koalisi yang mau memihak para korban Mei 1998.

Apalagi jika sudah ada yang ber­pendapat “sudah saatnya kita me­lupakan yang lalu guna menatap masa depan”. Pada­hal, masa depan tidak bisa di­bangun dengan meng­abaikan persoalan masa lalu yang masih men­jadi “malum commune “ atau aib ber­sama, seperti kerusuh­an Mei 1998.

Hal yang memprihatinkan, se­jum­lah pihak justru berupaya mem­biarkan rentetan peris­tiwa pelang­gar­an HAM pada Mei 1998 itu tetap dalam misteri. Berbagai upaya terus dilakukan agar berbagai kasus ter­sebut tetap rapi tertutupi. Padahal, para korban atau keluarganya jelas amat menderita.

Simak apa yang terjadi pada salah satu korban ini. Kedua tangan­nya tak lagi berbentuk sempurna, dua daun telinganya rusak, bekas luka bakar terlihat jelas di hampir seluruh ba­gian tubuhnya. “Saya nyaris dibakar hidup-hidup,” kata Iwan Firman, salah satu korban selamat, dalam peringatan “21 Tahun Tragedi Mei 98” pada Senin (13/5).

Iwan mengaku ingin ber­temu Presiden Joko Widodo dan berharap presiden membantu mengungkap siapa dalang tra­gedi tersebut. Apa yang dialami Iwan dan korban lainnya jelas sangat getir. Namun, pen­deri­ta­an mereka kerap hanya men­jadi elegi yang tidak pernah di­tindaklanjuti.

Impunitas dan Amnesia Kolektif

Seharusnya kita berani mem­bantu agar para korban kerusuhan Mei bisa mendapat keadilan. Namun kenyataan­nya, dalam upaya mencari ke­adilan, para korban merasa mem­bentur “dinding tebal”. Dinding itu bernama impunitas, yakni sebuah fakta yang secara sah memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntut­an atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Kecuali itu, berbagai cara ditem­puh untuk melakukan gerakan yang membuat ter­jadi­nya amnesia kolektif, memin­jam istilah sejarawan Dr Baskara T Wijaya. Orang dibikin lupa akan masa lalu atau kalaupun ingat, ingatan­nya dibuat -par­sial atau sepotong-sepotong, demi me­layani kepen­ting­an pihak ter­tentu yang tampaknya tidak ingin tragedi ini diusut dan dituntaskan.

Simak saja, sejak lama selalu muncul ke publik pe­nilaian tidak ada bukti-bukti yang men­dukung kerusuhan Mei untuk dibawa ke peng­adilan, meski telah dibentuk beberapa Tim Pencari Fakta. Rekomendasi tim semacam itu sebenarnya bisa dijadi­kan bukti awal. Sayang­nya, dokumen berikut data-data asli dari Tim Gabung­an Pencari Fakta yang di­se­rah­kan kepada pemerintah (pada era SBY), justru telah hilang atau dihilangkan. Kini yang ter­sisa hanya fotokopi dari doku­men ter­sebut.

Hal yang menjengkelkan, jasad korban kerusuhan Mei juga kerap dikecilkan keber­ada­annya. Misal­nya, dengan me­nye­but potongan tubuh yang ditemukan hangus dalam pe­ris­tiwa terbakarnya Plaza Sentral Klender, Jakarta Timur, bukan orang, tapi maneken. Pada­hal, jika maneken pasti meleleh dan tidak hangus karena terbuat dari plastik. Demikian juga soal terjadi­nya perkosaan dalam ke­rusuhan Mei, kadang justru membuat para korban tambah men­derita karena diminta menunjukkan bukti telah diperkosa. Sungguh, me­mang tidak ada keadilan bagi para korban.

Akibatnya, sejarah masa­lah lalu kita, termasuk ber­bagai kasus ter­masuk kasus-kasus pada Mei 1998 kerap menjadi bias dan tidak pernah memihak pada kepentingan kor­ban atau ke­luar­ga­­nya.

Ja­nga­­n­­kan sejarah yang melibat­kan orang-orang kecil dalam keru­suh­an Mei 1998, yang melibatkan sosok Prokla­mator Bung Karno saja, para sejarawan kita bisa “diorder” untuk bersikap tidak objektif. Misalnya, ada yang ganjil ketika buku Pejuang dan Prajurit karya Nugroho Noto­susanto terbit pada 1984. Wajah Soekarno tak tampak dalam foto pengibaran Merah-Putih, 17 Agustus 1945. Hanya wajah Bung Hatta yang kelihatan. Sejarawan Abdur­rachman Surjo­mihardjo me­nelepon penerbit Sinar Harap­an. Menurut dia, tindakan itu merupa­kan peng­gelapan sejarah.

Upaya penggelapan sema­cam itu masih terus ber­lang­sung hingga saat ini, termasuk yang melibatkan raky­at jelata. Si­mak saja mi­sal­nya ka­sus pem­bunuhan Munir atau ber­ba­gai kasus kriminalisasi para aktivis lingkung­an hari-hari ini.

Terkait kerusuhan Mei 1998, jumlah korbannya sung­guh tidak sedikit. Pertama, data dari tim relawan terdapat 1.308 kor­ban. Korban mening­gal sebanyak 1.217 orang. Sementara itu, kor­ban yang luka-luka seba­nyak 91 orang. Kedua, data dari Polda Metro Jaya sebanyak 451 kor­ban meninggal, sedangkan kor­ban luka tidak tercatat. Data ketiga berasal dari Ko­dam me­nyata­kan terdapat 532 korban, rinci­annya, 463 kor­ban me­ning­gal dan 69 orang luka-luka. Ter­akhir, data dari Pem­prov DKI Jakar­ta menye­but­kan, seba­nyak 288 orang me­ninggal dunia dan 101 orang luka-luka (Kata Data, 13/5).

Rekonsiliasi

Kalau benar data yang dipubli­kasi­kan tersebut, jelas jum­lah korban ke­rusuhan Mei tidak se­pan­tasnya dikecil­kan de­ngan ber­bagai dalih. Maka pengung­kapan kasus ini jelas sangat penting. Bukan saja demi kor­ban, tapi juga demi re­kon­siliasi bangsa. Sayang­nya, se­lama ini rekon­siliasi nasional selalu dianggap sebagai wacana tak bermakna.

Padahal, Uskup Desmond Tutu, Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan pernah menulis, “rekonsiliasi sejati harus berani mengung­kap kekejaman, kekerasan, ke­pe­dihan, kebejatan, dan kebe­nar­an. Bahkan seolah upaya re­konsiliasi justru tampak mem­perburuk keadaan. Rekon­siliasi memang sangat riskan. Tetapi adakah di dunia ini satu tin­daka­n yang tidak menimbulkan risiko? Yang penting pada akhirnya rekonsiliasi sejati pasti mendorong terciptanya pemulihan nyata dan per­damaian sejati setelah melewati tahapan-tahapan sulit. Rekon­siliasi yang palsu hanya dapat meng­hasilkan pemulihan yang palsu,” (Buku No Future Without Forgivenes, 1999).

Rekonsiliasi sejati, inilah yang harus kita upayakan. Re­ko­­nsiliasi ini perlu diupayakan sebagai bukti kita mau belajar dari masa lalu. Di Atlanta City, Georgia, Amerika Serikat, terdapat makam Martin Luther King Jr dan museumnya. Di sana biasa diputar film-film bagai­mana warga “Afro-Amerika” yang berkulit hitam didiskriminasi atau disiksa oleh warga kulit putih karena hukum segregasi pada masa silam. Ke­beradaan makam atau museum itu hanya salah satu bukti betapa Amerika Serikat tidak malu mengakui masa lalunya yang buruk.

Jadi, kita perlu memiliki ke­beranian serupa untuk berani menerima dan mengakui per­nah terjadi beberapa peristiwa buruk pada masa lalu, seperti kerusuhan Mei 1998. Sudah cukup penolakan atau pe­nyang­kalan selama ini. Jangan me­nyangkalnya lagi di masa depan. Pengakuan dan peng­ungkapan kerusuhan ini penting untuk memulai rekonsiliasi demi masa depan bangsa yang lebih baik.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5070 seconds (0.1#10.140)