Pengamat Hukum Pidana: Kriminalisasi Ulama Bukan Istilah yang Benar

Sabtu, 11 Mei 2019 - 12:36 WIB
Pengamat Hukum Pidana: Kriminalisasi Ulama Bukan Istilah yang Benar
Pengamat Hukum Pidana: Kriminalisasi Ulama Bukan Istilah yang Benar
A A A
JAKARTA - Tokoh-tokoh yang terjerat hukum dan kebetulan menjadi pendukung calon presiden Prabowo Subianto tidak bisa dinilai sebagai bentuk kriminalisasi. Apalagi penegak hukum mampu membuktikan kasus hukum terhadap seseorang memenuhi unsur pidana dengan dua alat bukti permulaan yang cukup.

Karena itu, penetapan tersangka terhadap Ustad Bachtiar Nasir, misalnya, tidak bisa serta merta dikatakan sebagai bentuk "kriminalisasi ulama". Demikian juga kepada tokoh-tokoh yang lain yang merupakan pendukung Prabowo, seperti Eggi Sudjana, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Buni Yani, dan Permadi.

“Kriminalisasi ulama bukanlah sebuah terminologi benar. Kriminalisasi atau dekriminalisasi harus suatu perbuatan, bukan profesi atau status,” kata pengamat hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksamana, Sabtu (11/5/2019).

Khusus tentang Bachtiar Nasir yang kini dijerat dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Ganjar berpendapat, kendati belum mengetahui secara persis materi perkaranya, yang pasti dalam TPPU harus ada tindak pidana asal (predicate crime) yang menjadi asal muasal harta kekayaan yang dicuci.

"Apakah dari kejahatan itu ada hasil yang memang kemudian dicuci dengan cara-cara sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU?" tutur Ganjar.

Lantas, bagaimana menentukan tindak pidana asal untuk kasus yang menjerat Bachtiar? Sebagaimana yang telah dijelaskan Kepolisian, sebelum penetapan Bachtiar Nasir sebagai tersangka TPPU, penyidik terlebih dahulu menjerat Ketua Yayasan Keadilan Untuk Semua, Adnin Armas dengan Pasal 70 Undang-Undang (UU) tahun 2001 tentang Yayasan jo Pasal 5 ayat 1 UU tentang Perubahan atas Yayasan tahun 2004 serta Pasal 374 jo 372 KUHP. Ancaman pidana terhadap Adnin Armas berdasarkan UU tentang Yayasan adalah pidana 5 tahun penjara.

Dikatakan Ganjar, merujuk kepada TPPU, tindak pidana asal yang diatur pada Pasal 2 tidak kurang dari 25 jenis. Semua jenis tindak pidananya disebutkan dengan jelas satu per satu. Sementara yang ke-26 disebut "dan tindak pidana lain yang diancam pidana 5 tahun penjara atau lebih."

Lalu, mungkinkah menjerat Bachtiar Nasir dengan TPPU merujuk kepada tindak pidana asal pidana pelanggaran UU tentang Yayasan? "Bisa. Memenuhi atau tidak, saya kurang tahu karena tidak mengikuti kasusnya dari awal dan perkembangannya. Tapi, secara formil, bisa saja terdapat TPPU-nya," kata Ganjar.

Sedangkan alasan Kepolisian menjerat Bachtiar Nasir dengan TPPU karena mengalihkan aset Yayasan Keadilan Untuk Semua. Bukti permulaan yang dimiliki kepolisian antara lain keterangan Ketua Yayasan Keadilan untuk Semua, Adnin Arman. Juga keterangan pegawai BNI Syariah, Islahudin Akbar.

Alat bukti lainnya adalah rekening yayasan yang telah diaudit. Bachtiar disebut mencairkan uang sebesar Rp 1 miliar dari rekening yayasan dan menggunakannya untuk keperluan lain. Dana umat dan dana masyarakat itu diperuntukkan untuk kegiatan lain bukan untuk bantuan.

"Pengalihan kekayaan adalah cara melakukan pencucian uang. Bukan tindak pidana asal," kata Ganjar.

Meski Kepolisian telah memaparkan proses hukum dan dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menjerat Bachtiar Nasir, selalu saja muncul tudingan akan kriminalisasi. Bahkan Prabowo Subianto ikut mengipasi tudingan tentang “kriminalisasi ulama” terhadap Bahctiar Nasir.

Khusus penggunaan istilah “kriminalisasi”, menurut Ganjar sudah dijelaskan sebelumnya sebagai upaya meluruskan istilah tersebut. Lalu, mengapa kubu Prabowo masih saja mempersoalkannya dan bahkan menempuh jalan di luar koridor hukum? "Saya tidak punya kapasitas dan kompetensi untuk menjawab ini," tutup Ganjar.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3763 seconds (0.1#10.140)