Pencapaian Spiritual Tertinggi dari Para Wali Songo

Senin, 06 Mei 2019 - 06:52 WIB
Pencapaian Spiritual Tertinggi dari Para Wali Songo
Pencapaian Spiritual Tertinggi dari Para Wali Songo
A A A
Beduk merupakan salah satu alat tabuh tradisional yang digunakan sejak ribuan tahun lalu dengan memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Di Nusantara, beduk biasa ditabuh untuk memberitahukan tentang tibanya waktu salat.

Bunyi beduk menggema sebelum dikumandangkannya suara azan. Tak heran, beduk yang erat kaitannya dengan kegiatan beribadah. Maka itu, alat komunikasi tradisional ini sarat akan makna dan filosofis. Begitu pula di salah satu masjid yang menjadi ikon Purwakarta, Jawa Barat, yakni Tajug Gede Cilodong, beduk memiliki tempat istimewa.

Bahkan, jumlah beduk berukuran raksasa itu tidaklah satu melainkan sembilan. Penempatan beduk dengan jumlah begitu banyak itu tentu bukan tanpa maksud. Terdapat pesan-pesan bijak yang harus dipahami setiap jemaah yang beribadah di masjid itu.

“Kalau di Masjid Cipta Rasa Cirebon beduknya kan ada tujuh. Nah, di Tajug Gede ini ada sembilan. Angka itu angka tertinggi. Saya berangkat dari kosmologi Wali Sembilan atau Wali Songo, baik, khatib, muazin, dan imam di sini menggunakan pakaian khas Sunda,” kata Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Tajug Gede Cilodong, Dedi Mulyadi.

Menurutnya, beduk tersebut dibuat khusus dengan kulit sapi pilihan agar menghasilkan suara bagus. Warna hitam yang dipilih pada kayu beduk tampak sangat kontras dengan ornamen putih pada sisi kiri kanannya. Penempatan sembilan beduk secara berjejer berada di dalam ruangan masjid pun menambah tingginya nilai-nilai estetika.

Makna dan nilai rupanya tidak hanya terletak pada sembilan beduk itu. Pihak DKM menitikberatkan pada kesehatan batiniah jemaah dan diharapkan tercipta kesehatan lahir. Dengan begitu, berbagai fasilitas olahraga pun dibangun di sekitar masjid. Sementara untuk penamaan Masjid Tajug Gede Cilodong, Dedi menjelaskan, tajug dalam bahasa Sunda bermakna masjid, sementara gede bermakna besar.

Sesuai namanya, masjid ini terletak di sebuah area tanah seluas 10 hektare. Satu hektare digunakan untuk masjid dan sisanya sebagai fasilitas penunjang. Ihwal filosofi di balik pembangunan masjid tersebut, menurut dia, nama daerah dipilih menjadi nama masjid sebagai penegas unsur kultur lokal. Mengikuti kebiasaan para kiai sepuh Nahdlatul Ulama, mereka memiliki kebiasaan menamai pesantren dengan nama daerah.

“Nama masjid ini tidak meninggalkan identitas. Karena terletak di Cilodong, ya sudah namanya Cilodong saja. Kiai memberikan nama untuk pesantrennya, kan selalu menggunakan nama daerah. Ada Tebu Ireng, ada Lirboyo, kalau di Purwakarta ada Cipulus, Cikeris, dan lain-lain. Ini sesuai dengan khitah para kiai,” katanya.

Selain itu, bagian dalam masjid dihiasi berbagai ukiran khas Jawa Barat. Ukiran tersebut terbuat dari kayu jati pilihan dan sengaja didatangkan dari Gunung Jati Cirebon. Hal ini mengingat penyebaran Islam pertama kali terjadi di daerah timur Jawa Barat itu. Secara pribadi, Dedi menerima amanah sebagai ketua DKM juga merupakan pengamalan dari amanat Sunan Gunung Jati.

“Kanjeng Syekh (Sunan Gunung Jati) di akhir hidupnya mengatakan titip tajug dan fakir miskin. Ini terus terang saja menjadi spirit saya. Karena itu, selain untuk kegiatan religi, tajug ini ke depan akan digunakan untuk pemberdayaan masyarakat miskin. Sisa lahan 9 hektare sebentar lagi dibangun area urban farming dan kawasan agrowisata. Saya kira, ini positif ya,” katanya.

Tajug tersebut memiliki dua lantai dengan daya tampung sekitar 4.000 jemaah. Karena itu, dia berani mengatakan bahwa Tajug Gede Cilodong merupakan masjid terbesar di Purwakarta. “Lantai satu bisa menampung 2.000 jamaah. Lantai dua juga bisa masuk 2.000 jamaah. Tajug Gede ini menjadi masjid terbesar di Purwakarta,” ujarnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4539 seconds (0.1#10.140)