Target Partisipasi Pemilih Sebanyak 77,5% Terancam Tak Tercapai

Rabu, 10 April 2019 - 23:45 WIB
Target Partisipasi Pemilih Sebanyak 77,5% Terancam Tak Tercapai
Target Partisipasi Pemilih Sebanyak 77,5% Terancam Tak Tercapai
A A A
JAKARTA - Target tingkat partisipasi pemilih yang dipatok oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 77,5% terancam tidak tercapai.

Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH) dan Pendiri Sindikasi Pemilu Demokrasi Dian Permata mengatakan, dari riset yang dilakukannnya menggunakan teknik pertanyaan terbuka, diketahui sebanyak 94% pemilih sudah mengetahui adanya pelaksanaan pemilu. Namun dari jumlah itu, hanya 57% yang dapat menyebutkan secara tepat tanggal dan pelaksanaannya.

"Umumnya, pengetahuan pemilih soal elemen teknis tidak menggembirakan. Ini menjadi catatan serius jelang beberapa hari pelaksanaan pemilu 2019,” papar Dian dalam diskusi “Cacatan Kritis Pemilu 2019: Proyeksi, Partisipasi, dan Potret Pengetahuan Pemilih” di Jakarta, Rabu (10/04/2019).

Padahal, kata Dian, 17 April 2019 sebagai tanggal pelaksanaan sudah mulai disosialisasikan sejak 25 April 2017. Kemudian, DPR menindaklanjuti dengan disahkannya UU 7/2017 pada Agustus 2017. Lalu, KPU merespon hal tersebut dengan menerbitkan sejumlah tahapan Pemilu 2019 dengan mengesahkan PKPU 32/2018 soal tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan Pemilu 2019.

“Dari sini kan sudah terlihat. 17 April 2019 sudah dimulai disosialisasikan 1,5 tahun lalu. Kemudian DPR dan KPU merespon dengan mengeluarkan sejumlah instrumen peraturan pendukungnya. Semestinya angka pengetahuan pemilih soal 17 April 2019 sudah tinggi. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan polarisasi dukungan capres-cawapres," jelasnya.

Dian juga memaparkan data beberapa provinsi yang angka tingkat pengetahuannya rendah soal adanya pelaksanaan pemilu seperti Jambi, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Papua. Sedangkan provinsi yang pemilihnya banyak tahu soal tanggal dan bulan pelaksanaan dengan tepat itu Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Maluku Utara.

Secara detail hasil riset menunjukkan responden mengetahui coblos adalah teknis penggunaan surat suara sebesar 7,42%; mengetahui ada lima (5) jenis warna yang digunakan 37,5%. Untuk pengetahuan soal regulasi pemilu UU 7/2017, jumlah kursi DPR RI yang diperebutkan caleg, metode suara menjadi kursi, jumlah Dapil Caleg RI, besaran angka parliament treshold, serta besaran Presidential Treshold hanya di bawah l5%.

Terkait pengetahuan surat suara dengan teknik pertanyaan terbuka menunjukkan 9,5% yang tahu bahwa surat suara warna Hijau digunakan untuk pemilihan DPRD kabupaten/kota; 8,25% yang tahu bahwa surat suara warna Biru digunakan untuk pemilihan DPRD provinsi: 10,08% yang tahu bahwa surat suara warna Kuning digunakan untuk pemilihan DPR RI; 6,08% yang tahu bahwa surat suara warna merah digunakan untuk pemilihan DPD; 19,25% yang tahu bahwa surat suara warna abu-abu digunakan untuk pemilihann presiden.

“Pengetahuan pemilih itu makin rendah apabila pertanyaan di atas tadi di balik dan menggunakan teknik pertanyaan terbuka. Seperti warna surat jenis pemilihan DPRD kabupaten/kota warna apa?” terang Dian.

Bahkan Dian memperkirakan untuk yang menjawab dengan benar sesuai warna dan jenis pemilihan sangat kecil bisa lebih kecil, yaitu 7,25% menjawab warna hijau untuk pemilihan DPRD kabupaten/kota; 6,42% menjawab warna biru untuk pemilihan DPRD provinsi; 8,33% menjawab warna Kuning untuk pemilihan DPR RI; 3,5% menjawab warna Merah untuk pemilihan DPD; 16,25% menjawab warna Abu-abu untuk pemilihan presiden.

“Jika demikian maka pekerjaan rumah para calon legislatif makin besar. Selain mereka harus meningkatkan popularitas, mereka harus menanggung beban kerja sosiaslisasi penyelenggara pemilu yang tidak baik. Bisa ditebak, para caleg akan ngos-ngosan di lapangan.”

Senada dengan Dian, Direktur Eksekutif SPD August Mellaz, menyatakan, persoalan rendahnya pengetahuan pemilih menambah daftar pekerjaan rumah penyelenggara pemilu. Sebelumnya, sudah ada daftar masalah seperti daftar pemilih dan dana kampanye. Akibatnya, banyak pemerhati pemilu yang menilai bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 tidak lebih baik dari Pemilu 2014.

“Uang sudah diberikan lebih besar sampai Rp30 triliun. Waktu juga disiapkan lebih lama. Namun hasilnya yang didapat tidak siginifikan,” ungkap Ausgust.

Survei ini dilaksanakan pada Januari-Maret 2019 dengan menggunakan metodologi multistage random sampling. Jumlah respoden sebesar 1.200 dengan kriteria sudah punya hak pilih atau sudah pernah menikah dan bukan TNI/Polri aktif. Tingkat kepercayaan 95% dengan margin of error sekitar 2,8. Survei dilakukan dengan wawancara tatap muka dengan bantuan kuisioner.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.8216 seconds (0.1#10.140)