Meski Tak Signifikan, PKH Dianggap Bisa Turunkan Angka Kemiskinan

Kamis, 04 April 2019 - 22:50 WIB
Meski Tak Signifikan, PKH Dianggap Bisa Turunkan Angka Kemiskinan
Meski Tak Signifikan, PKH Dianggap Bisa Turunkan Angka Kemiskinan
A A A
BEKASI - Kementerian Sosial (Kemensos) terus mengencarkan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai yang dianggap mampu menekan angka kemiskinan serta ketimpangan di wilayah Indonesia. Hal itu mengacu kepada data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga September 2018, angka kemiskinan secara nasional turun dari Maret 9,82 persen menjadi 9,66 persen.

Sedangkan, tahun 2018 pemerintah juga berhasil menekan angka ketimpangan dari 0.389 pada bulan maret menjadi 0.384 pada bulan september.

"Jadi tidak serta merta ketika angka kemiskinan turun, rasio gini juga turun," kata Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita saat memberikan bantuan PKH dan BPNT di Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Kamis (4/4/2019).

Menurutnya, data BPS itu terbukti bisa terjadi, meski penurunan rasio gini tidak signifikan tapi merupakan hal yang baik. Tahun ini, Kemensos telah meningkatkan anggaran bantuan sosial di Jawa Barat menjadi Rp3.906.482.020.000. Jumlah tersebut terbagi atas Rp3.088.631.800.000 untuk PKH yang diberikan pada 1.701.667 keluarga.

Kemudian Rp755.163.750.000 untuk BPNT kepada Rp2.288.375 serta beras sejahtera senilai Rp62.686.470.000 untuk 189.959 keluarga. "Jumlah penerima ini ditargetkan perekonomianya meningkat, jadi dari total penerima itu di akhir nanti delapan persennya perekonomiannya meningkat atau kami menyebutnya graduasi," ujarnya.

Secara nasional, kata dia, dari 10 juta penerima, delapan persen di antaranya ditargetkan graduasi. Sementara di Jawa Barat, rasio gini berada di angka 0,405 atau turun 0,407 dari data Maret 2018. Namun, jumlah tersebut masih lebih tinggi 0,021 poin dari angka nasional yakni 0,384. "Ketimpangan di Jawa Barat masih menjadi persoalan," ungkapnya.

Agus menjelaskan, rasio gini merupakan ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan secara keseluruhan dengan skala 0 sampai 1. Semakin tinggi angka rasio gini, makin tinggi pula tingkat ketidakmerataan yang terjadi. Secara nasional, tingkat ketidakmerataan Jabar menjadi yang tertinggi ketiga secara nasional setelah Yogyakarta dan Sulawesi.

Terdapat sejumlah indikator yang memengaruhi ketidakmerataan ekonomi, di antaranya geliat perekonomian kelas menengah, inflasi hingga pendapatan. Khusus pendapatan, Jabar menjadi daerah dengan upah minimum kabupaten/kota tertinggi sekaligus terendah. Kabupaten Karawang dengan UMK Rp4.234.010 pada 2019 tertinggi se-Indonesia.

Sedangkan Kota Banjar dengan Rp1.688.217 menjadi salah satu yang terendah di Pulau Jawa. UMK Banjar hanya lebih besar Rp78.217 dari Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Diungkapkan Agus, perlu ada peningkatan program kesejahteraan di Jabar untuk mengendalikan ketimpangan yang terjadi.

Sementara Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos, Harry Hikmat menambahkan, program yang digelar tersebut diharapkan dapat menekan kemiskinan sekaligus angka ketimpangan. Namun demikian, untuk menunjang program agar tepat sasaran, perlu peran pemerintah daerah agar selalu memerbaharui data.

"Jadi datanya itu mulai dari desa, kecamatan, kabupaten hingga kami terima. Data penerimanya ini harus senantiasa diperbaharui sehingga tepat sasaran. Selain meningkatkan jumlah bantuan, updating data pun terus dilakukan," paparnya. Di tahun ini, Kemensos mendorong 800 ribu KPM dapat lulus PKH sebagai KPM Graduasi yang sudah mandiri.

Tahun 2018, kata dia, Kemensos berhasil meluluskan 600.000 KPM, maka pada tahun ini ditargetkan minimal 800.000 KPM sehingga keluarga-keluarga atau ibu-ibu lain yang masih hidup pra-sejahtera dan dibawah garis kemiskinan yang masih mengantri agar bisa ikut masuk ke dalam Program Keluarga Harapan ini.

Berbagai cara unik dilakukan di berbagai daerah untuk meningkatkan graduasi KPM. Di banyak daerah di Jawa Tengah, mereka menempelkan list nama-nama KPM di kantor kelurahan maupun di kantor desa sehingga masyarakat umum bisa melihat nama-nama yang dapat bantuan PKH atau BPNT.

Menariknya, banyak KPM yang mengundurkan diri di daerah-daerah yang menginisiasikan gerakan tersebut, entah karena tidak sadar bahwa mereka sebenarnya sudah harus keluar dari program itu karena tidak lagi tergolong sebagai keluarga pra-sejahtera atau memang secara sukarela lulus sebelum ada opini dari publik.

Selain melalui informasi terbuka, ada juga daerah yang masyarakatnya berinisiatif menempel stiker di masing-masing rumah KPM. Tentunya ini merupakan bentuk pengawasan antara masyarakat dengan kelurahan, desa, dan KPM yang patut diapresiasi.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5173 seconds (0.1#10.140)