Batas Usia Perkawinan Minimal 16 Tahun Dinilai Rawan Benturan

Rabu, 13 Maret 2019 - 06:26 WIB
Batas Usia Perkawinan Minimal 16 Tahun Dinilai Rawan Benturan
Batas Usia Perkawinan Minimal 16 Tahun Dinilai Rawan Benturan
A A A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan batas usia perkawinan dinaikkan jadi minimal 16 tahun sebagaimana diatur Ayat (1) Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, hal itu dinilai masih dilematis karena rawan benturan dengan adat dan agama.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto saat diskusi “Hari Perempuan Internasional: Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi dan Sinergitas dalam Pencegahan Perkawinan Anak” di Jakarta kemarin. Menurut dia, penentuan batas usia minimal perkawinan itu harus benar-benar dilakukan secara seksama karena dapat menimbulkan persoalan yang berbenturan dengan adat dan agama.

“Penentuan batas usia perkawinan itu harus hati-hati. Tidak boleh gegabah. Kami berhati-hati soal berapa usia tepat, apakah 18, 19, atau sekian tahun karena dalam menetapkan usia minimal pernikahan harus mempertimbangkan banyak hal seperti aspek kesehatan, pendidikan, fikih keagamaan, kebijakan, dan lain-lain,” ungkap Susanto.

Dia menambahkan, penetapan usia minimal pernikahan harus dapat menjawab berbagai persoalan sesuai kebutuhan, yaitu melindungi anak, terutama bagi perempuan. Susanto menyebut bahwa penetapan batas usia tinggi juga akan memberikan ruang yang luas bagi upaya dispensasi usia pernikahan di pengadilan agama dan negeri. Tercatat, angka dispensasi pernikahan sekitar 12.000 tahun.

”Dengan kata lain, pernikahan dilakukan dalam usia yang sangat muda. Idealnya usia pernikahan itu sesuai masa tumbuh kembang anak, tapi dengan usia yang terlalu tinggi akan banyak ruang dispensasi. Di sisi lain, jika usia pernikahan terlalu rendah, maka bisa membahayakan kesehatan seseorang yang belum sempurna masa tumbuh kembangnya baik secara fisik maupun mental,” tegasnya.

Susanto mengatakan, ketika usia dinaikkan, akan terjadi dispensasi usia pernikahan dan aturan yang berlaku dapat disalahgunakan masyarakat. “Dispensasi usia nikah sering disalahartikan bukan lagi darurat. Apalagi di sejumlah daerah, praktiknya masih banyak dispensasi pernikahan. Namun, mirisnya sejumlah dispensasi pernikahan yang seharusnya darurat dalam praktiknya justru dilakukan pada kondisi yang bukan keadaan terpaksa.”

Dia mencontohkan, ada pernikahan anak di bawah umur di Bantaeng, Sulawesi Selatan pada 2018 di mana terjadi praktik dispensasi perkawinan yang tidak sesuai prosedur. Saat itu dispensasi diberikan oleh pengadilan atas permohonan dengan alasan calon laki-laki ingin menikah lantaran takut tidur sendirian.

Itu hanya contoh kasus bagaimana dispensasi pernikahan tidak dipraktikkan sesuai peruntukannya. “Dengan temuan kasus-kasus serupa, tentu menjadi peluang perkawinan di bawah umur dapat terjadi melalui dispensasi,” ungkapnya.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny Rosalin mengatakan, perkawinan anak di bawah umur merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan menghambat pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM).

“Jangan mimpi punya IPM tinggi jika kawin anak masih tinggi. Perkawinan anak dapat menghambat Wajib Belajar 12 Tahun, yakni pemenuhan hak anak atas pendidikan, gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan terhadap kesehatan, angka kematian ibu melahirkan, serta munculnya pekerja anak, dan upah rendah atau menurunnya ekonomi," ungkap Lenny dalam kesempatan yang sama.

Penghapusan perkawinan anak tidak hanya berpengaruh untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perkawinan anak menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan di mana 1 dari 4 atau 23% anak perempuan menikah pada usia anak. Jadi, bisa dilihat jika setiap tahun sekitar 340.000 anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun.

Sementara pada 2017, persentase perkawinan anak sudah mencapai 25,17%. Jika dilihat dari sebaran wilayah, terdapat 23 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas angka nasional. Jadi, keputusan MK diharapkan akan membawa angin segar bagi upaya negara dalam memberikan perlindungan anak yang optimal.

“Kami ingin mengupayakan memberikan perlindungan maksimal kepada anak. Pemenuhan hak-hak anak oleh negara juga bisa diwujudkan dengan melindungi setiap anak sehingga langkah yang dilakukan adalah usia perkawinan harus disesuaikan Undang-Undang Perlindungan Anak,” tegas Lenny.

Sementara itu, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum menilai harus ada intervensi pemerintah agar praktik pernikahan anak di bawah umur bisa ditekan. Apalagi, pernikahan anak menutup kesempatan bagi mereka untuk mengakses pendidikan lebih lanjut.

Padahal, pendidikan bisa menjadi salah satu sarana seseorang meningkatkan taraf hidupnya, terutama dari sisi ekonomi. Menurut Woro, pendidikan akan memberi kontribusi kepada pembangunan. Dengan menikah lebih dini, akan membuat akses pendidikan anak menjadi terbatas.

Perkawinan anak akan mengurangi penghasilan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sehingga diharapkan pendidikan menjadi bekal Indonesia agar tidak terjebak sebagai negara dengan masyarakat berpenghasilan menengah. “Perkawinan anak terutama bagi perempuan juga tidak membuka kesempatan bagi perempuan untuk semakin berkontribusi pada ekonomi,” ungkap Woro.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5351 seconds (0.1#10.140)