Urgensi Disahkannya RUU PKS

Sabtu, 09 Maret 2019 - 08:31 WIB
Urgensi Disahkannya RUU PKS
Urgensi Disahkannya RUU PKS
A A A
Anita Karolina

Ketua Bidang Hubungan Internasional Kopri PB PMII 2017-2019



SETIAP 8 Maret di­peringati sebagai Hari Perempuan Internasional atau biasa dikenal dengan Inter­national Women’s Day (IWD). Peringatan ini dires­mi­kan oleh PBB pada 1977 dan masih terus diperingati hingga hari ini. IWD menjadi momen milik perem­puan di seluruh pen­juru dunia tanpa terke­cuali. IWD juga di­jadikan mo­mentum untuk me­refleksikan pencapaian serta melakukan berbagai aksi demi terwujud­nya kesetaraan gender dan ke­sejahteraan perempuan. Hari ini menjadi penting diperi­ngati oleh perempuan di selu­ruh dunia sebagai momentum untuk terus mewujudkan ke­setaraan gender, memenuhi hak-hak perempuan, dan meng­hapuskan kekerasan ter­hadap perempuan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual terhadap perempuan.

UN Women, sebagai bagian dari PBB, mencatat sebanyak 35% perempuan telah meng­alami kekerasan seksual. Data tersebut tidak mengagetkan mengingat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sudah seperti fenomena gunung es di mana kasus yang diketahui hanya sebagian kecil saja. Di Indonesia kasus ke­kerasan terhadap perempuan menjadi momok tersendiri bagi para perempuan. Bagai­mana tidak, catatan tahunan 2018 mengenai kasus kekeras­an seksual terhadap perem­puan oleh Komnas Perempuan me­nunjukkan hal yang baru dan sangat mengejutkan. Catat­an tersebut menun­juk­kan angka kekerasan seksual terhadap pe­rempuan dan anak meningkat dan menempati posisi kedua setelah kekerasan fisik, yaitu sebesar 31%. Yang paling me­ngejutkan adalah tingginya angka kekerasan seksual di ranah privat yang dilakukan oleh orang-orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga dengan korban, yaitu se­banyak 1.210 kasus. Menem­pati posisi kedua adalah kasus pemerkosaan sebanyak 619 kasus, kemudian persetu­buh­an/eksploitasi seksual seba­nyak 555 kasus. Dari total 1.210 kasus incest (pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga), sejumlah 266 kasus (22%) dilaporkan ke po­lisi dan yang masuk dalam proses peng­adilan sebanyak 160 kasus (13,2%).

Kecilnya angka kasus keke­ras­an seksual yang dilaporkan, dari jum­lah kasus yang dite­mukan, menunjukkan bahwa masih banyak di luar sana kasus serupa yang tidak terlaporkan dan akhirnya tidak ditangani pihak yang berwajib. Ting­ginya kasus yang tidak terlapor­kan ini disebabkan beberapa faktor.

Pertama, kurangnya pema­haman masyarakat mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan. Sering kali keke­ras­an seksual hanya dianggap sebagai pelecehan biasa saja dan dimaklumi, setelah itu diang­gap bisa diselesaikan secara kekeluargaan, bahkan tanpa mempertimbangkan kondisi fisik maupun psikis korban.

Kedua, korban pelecehan seks­ual tidak tahu-menahu harus melakukan apa dan bah­kan kebingungan harus meng­adukan hal yang baru saja dialaminya kepada siapa. Hal ini sering terjadi karena tidak se­dikit korban dan keluarga meng­anggap ini adalah aib se­hingga keluarga akan menang­gung malu jika sampai kasus­nya diketahui oleh orang lain.

Ketiga, jikapun korban berani melaporkan kepada pihak ber­wajib, siap-siap saja korban akan berhadapan dengan sederet pertanyaan yang menyu­dut­kan seperti “sedang di mana?”, “ber­sama siapa dan sedang melaku­kan apa?”, atau bahkan “mema­kai baju apa?”, yang sama sekali tidak ada hubung­annya dengan kejahatan pelaku.

Tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak menjadi permasalah­an besar di berbagai belahan negara karena kasus ini tidak mengenal apakah itu negara maju atau berkembang, yang akhirnya isu ini menjadi isu bersama. Salah satu concern UN Women atas perlindungan bagi korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak adalah de­ngan mengesahkan dan meng­implementasikan hu­kum dan kebijakan yang efek­tif. Beberapa tahun belakang­an, beberapa negara mendapat tun­tutan untuk segera mem­bentuk undang-undang baru ataupun merevisi undang-undang yang dirasa diskrimi­natif terhadap korban kekeras­an seksual.

Negara yang akhirnya ber­hasil merevisi undang-undang­­nya, setelah beberapa tahun, adalah Tunisia, Yordania, dan Lebanon. Ketiga negara ini, pada tahun 2017 lalu, sama-sama merevisi undang-undang yang diskriminatif terhadap korban, yaitu jika sebelumnya ada pasal yang mengampuni pelaku pe­merkosa jika me­nikahi korban, pasal tersebut dihapuskan dan diganti dengan memberikan hu­kuman kepada pelaku. Terbaru adalah di Swedia, pada Juli 2018, Swedia mem­ber­lakukan undang-undang baru, yaitu seks tanpa persetujuan me­rupakan pe­mer­­kosaan. De­ngan adanya undang-undang tersebut, jaksa penuntut tidak boleh meminta bukti be­rupa kekerasan atau memper­tanya­­kan kondisi korban da­lam upaya mem­buk­ti­kan bentuk pe­mer­kosa­an tersebut.

Usaha negara-negara ter­se­but untuk bisa me­nge­sahkan undang-undang perlindungan perempuan terhadap keke­ras­an sek­sual tentu me­nemui bebe­rapa pole­mik. Seperti halnya di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Keke­ras­an Seksual (RUU PKS) juga me­nemui jalan terjal dan ber­liku. Untuk mendorong disah­kan­­nya RUU PKS ini dibutuh­kan du­kungan dari berbagai ele­men, berbagai multi-stakeholder. Tidak sedikit instansi/lembaga yang menjadikan RUU PKS ini menjadi concern kelembagaan. Bahkan dalam Munas Alim Ulama-Konbes NU di Banjar, bulan Februari lalu, RUU PKS turut menjadi pembahasan da­lam forum, yang menye­butkan bahwa NU menyepakati men­du­kung terbitnya RUU terse­but dengan beberapa catatan. Catat­an yang dimaksud antara lain merekomendasikan ada­nya perubahan nama RUU itu men­jadi RUU Pencegahan Ke­ke­ras­an Seksual dengan alasan agar aspek preventif lebih men­jadi perhatian.

Dari tingginya angka keke­rasan seksual terhadap perem­puan di Indonesia, penulis me­nilai bahwa keberadaan RUU PKS memiliki urgensi yang tinggi dan bisa menjadi solusi yang paling memungkinkan untuk menekan bahkan mem­berantas kekerasan seksual yang hingga saat ini masih merajalela terjadi di Indonesia. Dengan berhasilnya penge­sah­an RUU PKS di Indonesia, pe­nulis menilai nantinya Indo­nesia dengan segala komplek­sitasnya akan bisa menjadi role model bagi negara-negara yang belum memberlakukan undang-undang serupa. Kopri PB PMII melalui Bidang Hubungan Inter­nasional sebagai organi­sasi perempuan intelektual yang memiliki basis kader tersebar dari Sabang sampai Merauke, juga concern ter­ha­dap isu-isu perempuan dan anak, pada momentum International Women’s Day ini, turut men­dorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS agar kepastian hukum terha­dap perlindungan perempuan dapat terjamin di Indonesia.

Hasil musyawarah Konbes NU tersebut menjadi bukti dukungan terhadap terbitnya RUU PKS, di antara dukungan-dukungan lain yang terus mengalir dari berbagai segmen. Menurut pandangan penulis, Indonesia sebagai negara yang turut menyepakati Suistainable Development Goals (SDGs) 2030, semestinya segera me­nge­sahkan RUU PKS ini sebagai komitmen dalam menjalankan program SDGs, goal kelima, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Dan, terakhir, satu kasus dari ribuan kasus yang berhasil mencuat ke per­muka­an adalah kasus Baiq Nuril yang gagal memperjuangkan haknya sebagai korban pelecehan sek­sual di ranah hukum menjadi gambaran betapa pentingnya RUU PKS ini untuk segera disahkan. Terakhir Kopri PB PMII mengajak kader Kopri di seluruh Indonesia untuk turut mendorong disahkannya RUU PKS.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3994 seconds (0.1#10.140)