Mempersoalkan Unicorn

Rabu, 20 Februari 2019 - 05:18 WIB
Mempersoalkan Unicorn
Mempersoalkan Unicorn
A A A
ISTILAH unicorn mendadak menjadi perbincangan, terutama di media sosial, setelah dua calon presiden menjadikannya pembahasan pada debat capres yang digelar Minggu, 17 Februari 2019. Saat itu capres petahana Joko Widodo (Jokowi) melontarkan pertanyaan kepada capres Prabowo Subianto soal infrastruktur apa yang akan dibangun dalam pengembangan perusahaan-perusahaan rintisan (startup) di Indonesia.

Saat ini ada empat perusahaan startup berstatus unicorn yang berasal dari Indonesia, yaitu Go-Jek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia. Go-Jek dan Traveloka berbasis transportasi, sedangkan Bukalapak dan Tokopedia merupakan marketplace e-commerce yang merajai pasar Indonesia. Unicorn adalah perusahaan startup yang nilai valuasinya mencapai USD1 miliar atau setara sekitar Rp14 triliun.

Ketika menjawab pertanyaan Jokowi, Prabowo sempat bertanya balik: "Yang Bapak maksud unicorn maksudnya yang apa? Yang online-online itu?". Dialog dua capres ini lantas jadi perdebatan, terutama oleh pendukung masing-masing capres. Banyak yang memaknai Prabowo tidak memahami pertanyaan Jokowi tersebut.

Namun, sesungguhnya ada yang lebih penting dari sekadar memperdebatkan apakah Prabowo mengerti atau tidak dengan istilah unicorn. Ini sama pentingnya dengan pertanyaan, apakah kita perlu merasa bangga dengan empat unicorn yang kita miliki saat ini?

Pertanyaan ini layak diajukan karena faktanya empat unicorn yang ada, sahamnya dikuasai asing. Meski pendirinya orang Indonesia, modal usaha empat unicorn kini dikuasai investor dari luar negeri.

Mengapa bisa demikian? Jawabannya, karena investor dalam negeri masih sulit memberikan suntikan dananya. Butuh banyak pertimbangan sebelum mereka bersedia menanam saham ke startup. Sementara bagi investor asing, Indonesia adalah pasar yang menggairahkan karena transformasi negara ini ke digital begitu pesat, dengan pasar yang juga besar.

Tengoklah Go-Jek yang mendapatkan suntikan dana dari Google yang berasal dari Amerika Serikat, JD.com dan Tencent asal China. Bukalapak belum lama ini juga mendapat injeksi dana asing dari Mirae Asset Daewoo-Naver Asia Growth Fund, perusahaan investasi asal Korea Selatan.

Sementara Tokopedia disokong antara lain Alibaba Group, Softbank Group, dan Sequoia Capital yang masing-masing berasal dari China, Jepang, dan India. Adapun deretan investor Traveloka adalah Expedia, GFC dan Sequoia Capital dari AS, Hillhouse Capital dan JD.com dari China.

Bahwa unicorn penting untuk ekonomi digital Indonesia, banyak orang bisa sepakat. Mengapa penting? Karena tidak ada yang bisa menahan laju perkembangan digital saat ini. Semua sektor pada akhirnya akan terdigitalisasi. Lebih cepat memiliki unicorn, tentu lebih baik bagi ekonomi digital Tanah Air.

Namun, kekhawatiran ketika startup unicorn kita dikuasai asing juga hal yang wajar? Kekhawatiran yang selalu dikemukakan adalah soal potensi penyalahgunaan data. Karena menguasai modal, investor asing dikhawatirkan bisa seenaknya menguasai dan menyalahgunakan data pengguna yang dikumpulkan startup unicorn tersebut.

Data-data pengguna ini kemudian bisa diolah untuk banyak kepentingan, termasuk menggempur pasar Indonesia. Perwakilan investor di manajemen bisa saja melakukan ini untuk kepentingan jangka panjang pemilik modal. Jika itu terjadi, kita harus siap-siap hanya jadi pasar untuk produk asing yang membanjiri.

Masyarakat kita akhirnya hanya konsumen yang disetir sesuai dengan kampanye dan propaganda yang dibuat perusahaan. Ini tidak bertujuan menakut-nakuti karena semua mafhum bahwa dalam bisnis digital urusan data adalah segalanya. Apalagi, kita termasuk negara yang belum cukup baik dalam mengelola dan melindungi data warganya.

Hal lain yang membuat kita tidak perlu terburu-buru bangga dengan status unicorn adalah kenyataan bahwa produk yang dipasarkan di bisnis e-commerce Tanah Air masih didominasi produk asing. Sekitar 90% produk yang diperdagangkan adalah hasil impor. Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih menyebut bahwa meski industri e-commerce tumbuh pesat, namun perdagangan produk lokal ternyata masih kecil yakni hanya 10%.

Ke depan, pemerintah perlu memikirkan bagaimana ada jaminan data-data masyarakat yang dihimpun unicorn tidak disalahgunakan. Investor asing bisa saja menguasai saham, tapi tidak berarti bisa seenaknya mengakses data masyarakat secara ilegal.

Selain itu, menjadi tugas pemerintah pula agar produk UMKM kita bisa bersaing di bisnis e-commerce. Selama ini, alasan mengapa belum banyak produk UMKM yang masuk market place yakni karena pengetahuan pemasaran masyarakat kita melalui digital platform yang masih rendah. Hal inilah yang harus diubah. Masyarakat harus dirangsang agar siap beradaptasi dengan perubahan dan memiliki kepedulian dengan pemasaran digital.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4319 seconds (0.1#10.140)