Pembayaran Elektronik dan Pertumbuhan Ekonomi

Rabu, 13 Februari 2019 - 09:00 WIB
Pembayaran Elektronik dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembayaran Elektronik dan Pertumbuhan Ekonomi
A A A
Akhis R Hutabarat
Principal Economist pada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia

MASYARAKAT kini dimanjakan dengan beragam pilihan pembayaran elektronik. Untuk pembelian nonkredit, kita bisa pakai uang yang tersimpan di rekening bank atau uang elektronik yang diterbitkan bank atau lembaga selain bank.Cara membayarnya pun kian mudah. Pembeli cukup mendebet rekeningnya di bank ketika berbelanja. Bisa melalui kartu debit atau aplikasi (apps) pada perangkat bergerak (mobile devices) seperti ponsel, tablet, dan jam cerdas.Pilihan yang sama jika berbelanja pakai uang elektronik: dengan kartu uang elektronik atau mobile apps. Kartu uang elektronik kini semakin populer terutama setelah Bank Indonesia menerapkan elektronifikasi pembayaran jalan tol.Tetapi, uang elektronik pada mobile apps juga kian digemari. Hingga November 2018, dua pertiga pengguna uang elektronik memakai jenis uang elektronik ini. Pembayaran elektronik melalui mobile apps, apakah menggunakan uang rekening di bank atau uang elektronik, semakin mudah dan cepat jika pakai QR code, yaitu kode balok hitam putih yang dapat dibaca kamera mobile devices.
Keamanan Pembayaran

Pembayaran dengan debet rekening bank menggunakan uang yang tersimpan pada rekening giro atau tabungan. Sebagai dana masyarakat yang terhimpun di bank, keamanan jenis uang ini dan layanan pembayaran yang menggunakannya, disangga surveilans sistem keuangan Bank Indonesia dan surveilans mikroprudensial Otoritas Jasa Keuangan.

Bank Indonesia juga mengawasi bank dan lembaga selain bank yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran dengan uang elektronik. Penerbit uang elektronik diwajibkan menempatkan seluruh nilai uang elektronik yang dikelolanya sebagai aset likuid di dalam negeri.Sebagian di bank domestik. Itu pun tidak bisa di semua bank. Hanya boleh di bank yang termasuk dalam kategori bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4, yaitu bank yang memiliki modal inti minimal Rp30 triliun. Sebagian lagi dapat ditempatkan pada surat berharga atau instrumen keuangan yang diterbitkan Pemerintah Indonesia atau Bank Indonesia. Seluruh dana uang elektronik yang ditempatkan di bank atau di Bank Indonesia hanya boleh dipakai untuk memenuhi kewajiban penerbit kepada pengguna dan penyedia barang atau jasa.
Melalui kewajiban itu, Bank Indonesia ingin memastikan penerbit uang elektronik mampu memenuhi kewajibannya kepada pengguna dan penyedia barang/jasa untuk bertransaksi. Juga agar penerbit mampu mengembalikan saldo uang elektronik, jika pemiliknya ingin menukarnya kembali dengan uang kertas dan logam atau dengan uangnya di rekening bank.

Manfaat Ekonomi

Cara kita membayar ada pengaruhnya bagi pertumbuhan ekonomi. Paling tidak, ada tiga jalur manfaat pembayaran elektronik bagi perekonomian. Pertama, pembayaran elektronik mendukung pendanaan kredit perbankan. Tidak hanya melalui jenis simpanan di bank yang dapat sekaligus berfungsi untuk pembayaran, tetapi juga melalui uang elektronik.Sebab, bank secara agregat juga diuntungkan dengan ditempatkannya dana uang elektronik di bank sehingga liabilitasnya dapat terjaga. Uang elektronik, secara tak langsung, juga dapat membantu perbankan menjaring dana masyarakat yang masih enggan buka rekening di bank.Masyarakat pengguna pembayaran elektronik pun tak perlu lagi pegang uang kertas dan logam sebanyak dulu. Akibatnya, dana pihak ketiga bank bisa bertambah dan kapasitas penyaluran kredit perbankan membesar.Bank akan punya ruang gerak lebih leluasa untuk mempercepat penyaluran kredit karena didukung basis dana yang lebih besar dan lebih inklusif. Ini akan tercermin dari meningkatnya rasio kredit terhadap PDB Indonesia, yang kini masih sekitar 40%, sementara rasio kredit terhadap simpanan dapat terjaga relatif stabil.Muaranya, ekonomi berpeluang tumbuh lebih cepat dan inklusif tanpa harus mengorbankan stabilitas sistem keuangan. Kewajiban menempatkan dana uang elektronik di bank dan Bank Indonesia juga membuat otoritas moneter tetap dapat mengendalikan jumlah uang beredar yang mendukung stabilitas dan pertumbuhan.
Kedua, pembayaran elektronik lebih cepat. Proses membayar dengan uang tunai di toko sepertinya makan waktu tak jauh berbeda dengan membayar nontunai. Namun, pembeli perlu meluangkan waktu mengambil uang dari kantor bank atau ATM. Juga perlu menghitung uang sebelum membayar.Tak jarang, transaksi urung karena uang di dompet tidak cukup. Cara pembayaran elektronik memungkinkan keputusan membeli dan proses transaksi bisa terjadi segera dan cepat. Friksi bagi konsumsi berkurang atau bahkan hilang. Pembayaran elektronik juga mendukung pembelian barang dan jasa di toko online, yang umumnya tak menyediakan alternatif bayar tunai. Hasilnya, uang berputar lebih cepat, mendorong pertumbuhan konsumsi dan PDB.
Ketiga, pembayaran elektronik menghemat biaya. Pembayaran nontunai memang tak selalu gratis. Misalnya, pembayaran ke rekening bank lain biasanya dikenakan biaya. Tetapi, bukan berarti bertransaksi tunai lebih murah dari nontunai.Pembayaran tunai butuh uang kertas dan logam, yang biaya pembuatan dan pengelolaannya lebih mahal dari biaya perangkat pembayaran elektronik. Pengguna uang tunai mengeluarkan biaya transportasi untuk mengambil dan menyimpan uang.Belum lagi biaya yang sebenarnya dikeluarkan untuk potensi manfaat yang hilang karena menggunakan uang tunai, yang dikenal sebagai opportunity cost. Sebagian berupa biaya tenaga kerja untuk waktu perjalanan ke loket bank atau ATM, yang tak diperlukan pada pembayaran elektronik.Sebagian lagi berupa biaya bunga dengan hilangnya kesempatan memperoleh pendapatan bunga jika dibandingkan dengan pembayaran elektronik melalui debet rekening di bank. Sebuah survei Bank Dunia pada 2018 menemukan biaya tahunan pembayaran tunai di Albania diperkirakan mencapai 1,7% dari PDB. Sementara biaya terkait pembayaran elektronik hanya 0,17%.Temuan dari negara berpendapatan menengah di Eropa itu memberi harapan potensi penghematan yang bisa diraih ekonomi Indonesia, jika pangsa pembayaran elektronik meningkat. Penghematan yang dapat dialihkan untuk kegiatan ekonomi produktif bernilai tambah lebih tinggi.Dan, potensi penghematan itu besar. Berdasarkan Survei Neraca Rumah Tangga oleh Bank Indonesia, 75,1% jumlah frekuensi transaksi pembayaran rumah tangga di Indonesia pada 2018 masih berupa transaksi tunai. Namun, ini perlu dukungan sistem pembayaran nontunai berbiaya murah yang dapat saling terhubung dan saling dapat dioperasikan antarpengelola layanan pembayaran.
Pembayaran elektronik tidak hanya dapat memperbesar kapasitas pembiayaan pembangunan, mempercepat aktivitas usaha, dan meningkatkan efisiensi perekonomian. Lebih dari itu, pembayaran elektronik berpotensi transformatif bagi perbaikan struktur ekonomi dan penciptaan sumber pertumbuhan.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.7176 seconds (0.1#10.140)