Selamatkan Kreativitas Musisi

Rabu, 06 Februari 2019 - 07:30 WIB
Selamatkan Kreativitas Musisi
Selamatkan Kreativitas Musisi
A A A
PRO-KONTRA mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan terus berlanjut. Penolakan dari kalangan musisi terus menggelinding dan membesar. Mereka menuntut agar sejumlah pasal kontroversial di dalam rancangan undang-undang itu dihapus.

Bahkan, ada yang meminta agar UU Musik tidak perlu ada. Alasannya, draf rancangannya pun memuat pasal yang berpotensi mengekang kreativitas seniman, termasuk pasal karet yang bisa mengebiri keberadaan seniman sebagai insan kreatif. (Baca Juga: Rancangan Undang-Undang Musik Dinilai Ancam Kreativitas Musisi )

Polemik RUU Permusikan ini bergulir hampir sepekan terakhir. Seiring mencuatnya kontroversi di media massa maupun media sosial, gelombang protes seniman juga kian membesar. Hingga Selasa (5/2) pukul 10.00, petisi daring yang dihimpun melalui www.change.org sudah mendapatkan 170.323 dukungan. Selain itu, kemarin 260 musisi yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan menegaskan penolakan mereka atas pengesahan draf rancangan undang-undang tersebut.

Sejak awal tujuan penyusunan rancangan undang-undang ini baik, yakni ingin mengatur tata kelola permusikan di Tanah Air. Apalagi, perkembangan teknologi di bidang permusikan kian berkembang sehingga menuntut adanya regulasi yang memadai dan sesuai dengan tuntutan industri musik. Belakangan, hal yang tampak dari rancangan itu kesan tata kelola kreativitas.

RUU Permusikan ini dimaknai ingin mengekang kebebasan seniman dalam berkarya, bahkan berpotensi mempersekusi proses kreasi. Padahal, semua tahu bahwa roh dari kesenian, termasuk musik, adalah kreativitas. Nah, ketika kreativitas ini dicoba untuk diatur sedemikian rupa melalui perangkat undang-undang, di sini masalah muncul.

Karena roh dari kesenian adalah kreativitas, maka sebuah rancangan undang-undang harus dijamin mampu membuat seniman bisa tetap kreatif dalam melahirkan karya-karyanya. Jangan sampai regulasi yang dibuat itu malah membatasi atau menghambat dukungan perkembangan proses kreasi. Bahkan yang lebih parah adalah merepresi para pekerja musik.

Polemik ini kemudian makin melebar, termasuk mempersoalkan lemahnya naskah akademik RUU Permusikan. Apalagi mencuat informasi miring bahwa salah satu landasan teori pada naskah akademik RUU Permusikan mengutip dari blog seorang siswa SMK. (Baca Juga: UU Permusikan Diharapkan Geliatkan Dunia Musik Tanah Air)

Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan ini menyebut rancangan undang-undang tersebut menyimpan banyak masalah fundamental. Beberapa pasal bermasalah yang dikritik antara lain Pasal 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, 51. Total ada 19 pasal yang bermasalah. Setelah dipelajari, pasal-pasal ini berbahaya karena bersifat karet: ada ancaman marjinalisasi dan diskriminasi terhadap musisi independen yang selama ini notabene bukan bagian dari label besar.

Dari seluruh pasal yang dipolemikkan, Pasal 5 termasuk yang paling disoroti. Pasal ini dinilai bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi yang dijamin UUD 1945. Larangan di pasal ini, yakni hal-hal yang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak; serta memprovokasi timbulnya pertentangan antarkelompok, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Aturan inilah yang dinilai banyak seniman represif dan berbau pengekangan ala Orde Baru.

Ada hal lain juga yang patut dicermati di Pasal 5 ini. Ini poin (f) tentang larangan bagi setiap orang dalam berkreasi dengan membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau (g) merendahkan harkat dan martabat manusia. Pasal ini jelas sangat karet karena akan sulit menilai yang mana masuk pengaruh negatif dari budaya asing. Karena bersifat karet ini membuka ruang bagi kekuasaan atau pihak mana pun yang tidak suka dengan seseorang atau kelompok akan mudah melakukan persekusi.

Urgensi RUU Permusikan menjadi wajar dipertanyakan oleh kalangan seniman. Apalagi, beberapa hal krusial yang hendak diatur, misalnya soal hak cipta, sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 28/2014 tentang Hak Cipta.

Namun, polemik atau kontroversi tidak harus melulu dipandang negatif. Dalam konteks RUU Permusikan, penolakan, diskusi yang terjadi itu semua bisa menjadi masukan yang bernilai untuk membuat penyusun draf mengatur kembali tata kelola permusikan yang ideal. Satu hal yang pasti, bahwa kehadiran UU Musik nanti harus berlandaskan pada upaya menata dan mengelola industri musik, bukan malah menata kreativitas musisi dalam menciptakan karyanya.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0130 seconds (0.1#10.140)