Tak Mau Pecat ASN Koruptor, Pejabat Pembina Kepegawaian Disanksi

Jum'at, 01 Februari 2019 - 07:53 WIB
Tak Mau Pecat ASN Koruptor, Pejabat Pembina Kepegawaian Disanksi
Tak Mau Pecat ASN Koruptor, Pejabat Pembina Kepegawaian Disanksi
A A A
SURABAYA - Pemerintah meminta pejabat pembina kepegawaian (PPK) bersikap tegas kepada aparat sipil negara (ASN) koruptor yang belum diberhentikan atau dipecat. Jika tidak bertindak, maka PPK yang justru akan dikenakan sanksi.

Saat ini Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sedang menggodok sanksi bagi pejabat pembina kepegawaian (PPK) yakni menteri/kepala lembaga dan instansi serta kepala daerah yang tidak menjatuhkan sanksi pada ASN yang menjadi terpidana kasus korupsi dan sudah berkekuatan hukum tetap atau ikracht.

Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan, beberapa usulan sanksi bagi PPK, antara lain peringatan berupa teguran hingga impeachment atau pemakzulan. Sejumlah usulan itu masih dikaji.
“Dalam waktu dekat akan diterbitkan edaran bersama (BKN, Kemenpan-RB dan Kemendagri) tentang pemberian batas waktu tambahan bagi PPK untuk menerbitkan SK pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dan sanksi tegas bagi PPK yang tidak memberhentikan PNS tipikor berkekuatan hukum tetap (BHT),” katanya di Kanreg BKN Surabaya, Jawa Timur, kemarin.

Kesepakatan tersebut dirumuskan dalam pertemuan antara BKN, KemenPANRB, Kemendagri, BPK, BPKP, serta MA dan KPK pada 29 Januari 2019 guna menyikapi proses penegakan hukum terhadap PNS Tipikor yang belum optimal.

Berdasarkan data BKN, hingga 29 Januari 2019 total jumlah PNS terlibat tindak pidana korupsi (tipikor) berkekuatan hukum tetap mencapai 2.357 PNS. Dari jumlah tersebut, baru 478 PNS yang sudah dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat atau sebanyak 20,28%. Rinciannya, 49 PNS kementerian/lembaga dan 429 PNS daerah.

Di samping itu, BKN mengapresiasi PPK yang telah memberhentikan 673 PNS Tipikor BHT di luar data 2.357, dengan rincian 75 PNS K/L dan 598 PNS daerah.

“Memang masih banyak yang belum dijatuhi sanksi. Biasanya karena terhambat konsultasi hukum. Kemudian bisa juga karena rasa kemanusiaan,” kata Bima.

Diketahui, dalam UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) Pasal 87 ayat 4 huruf b, PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Tindak kejahatan yang dilakukan, terkait dengan jabatan dan atau tindak pidana umum. Salah satu tindak pidana kejahatan jabatan yang dimaksud adalah tipikor.

Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, seharusnya dalam proses pemberhentian tidak ada kesulitan apa pun. Menurut dia, PPK hanya tinggal memutuskan. Dia pun memastikan pusat tidak akan mengambil alih dalam penindakan ini.

“Tidak ada kesulitan apa-apa. Harusnya tinggal diputuskan saja. Tidak (diambil alih pusat), pokoknya harus di SK-kan oleh PPK,” katanya.

Dia meminta agar pemerintah daerah segera memberhentikan PNS-PNS korupsi yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini dikoordinasikan oleh BKN sebagaimana yang tertuang di dalam surat keputusan bersama (SKB) Menpan-RB, Mendagri, dan Kepala BKN.

“Jadi kan gini, di dalam SKB ada tim teknis. Tim itu sedang merumuskan. (Tim) itu gabungan yang dikoordinasikan oleh BKN. Hasil rumusannya dikeluarkan untuk harus dipatuhi,” ungkapnya.

Asisten Deputi (Asdep) Pembinaan Integritas dan Penegakan Disiplin SDM Aparatur Kemenpan-RB, Bambang Dayanto Sumarsono menambahkan, setelah SKB pada September 2018 banyak daerah yang sudah menjalankan pemberhentian. Namun, dia mengaku banyak daerah yang tidak melakukan eksekusi karena ada faktor keragu-raguan.

“Kemarin itu tersingkap hubungan-hubungan primordial. Itu yang ada saudara, di daerah kan banyak begitu. Entah saudara jauh, satu marga, apalagi dia saudara dan tim sukses,” ungkapnya.

Selain masalah primordialisme, daerah ragu melakukan pemberhentian karena berkaitan dengan kerugian negara. Pasalnya banyak PNS yang putusan inkracht-nya sudah bertahun-tahun, sementara gaji terus dibayarkan.

“Yang jadi persoalan kemarin itu kan, berlaku surut atau tidak pada saat inkracht. Ini menyangkut gaji dan kebijakan yang sudah dibuat PNS tersebut,” katanya.

Menurut dia, hasil rapat terakhir sudah diputuskan bahwa hal tersebut tidak berlaku surut. Dia meminta pemda tanpa ragu memberhentikan PNS-PNS tersebut. Pemerintah pusat pun akan menyiapkan paduan-paduan agar daerah bisa lebih leluasa mengimplementasikannya.

“Panduan supaya mereka tidak ragu-ragu lagi. Bahwa PTDH itu tidak berlaku surut. Karena apa? Banyak implikasinya. Misal dia sebagai kepala dinas, kalau berlaku surut, keputusan-keputusannya menjadi batal,” ungkapnya.

Dengan adanya penegasan tersebut, pemerintah daerah tidak boleh lamban. Dia menegaskan, akan ada sanksi yang diterapkan jika hal ini tidak juga ditindaklanjuti. Dia menyebut, untuk 2.357 PNS korupsi paling lambat diberhentikan pada Maret.

“Aturan itu sudah sangat clear. Justru kalau PPK-nya nanti lambat, berarti itu kelalaian. Nah (sanksi) nanti kerugian negara (sejumlah gaji yang dibayarkan sejak putusan inkracht) malah dilimpahkan kepada mereka (PPK). Kalau kepala daerahnya lalai dan tak segera mengambil keputusan itu, ganti rugi dilimpahkan ke dia,” tegasnya. (Lukman Hakim/Dita Angga)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6536 seconds (0.1#10.140)