DPR Pertimbangkan Rancangan Undang-Undang Penggunaan Medsos

Jum'at, 18 Januari 2019 - 07:56 WIB
DPR Pertimbangkan Rancangan Undang-Undang Penggunaan Medsos
DPR Pertimbangkan Rancangan Undang-Undang Penggunaan Medsos
A A A
JAKARTA - DPR menyambut baik usulan regulasi atau Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penggunaan Media Sosial (Medsos) agar para pengguna medsos lebih bertanggung jawab dan tidak sembarangan menyebarkan berita bohong (hoax).

Usulan ini diajukan oleh Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) saat bertemu Ketua DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, kemarin.

“Jika ini (penggunaan medsos yang sembarangan) terus dibiarkan, bisa-bisa bangsa kita hanya sibuk saling memfitnah satu sama lain. Memang sudah waktunya ada aturan yang jelas untuk membuat pengelola serta pengguna media sosial lebih bertanggung jawab,” tandas Bambang Soesatyo saat menerima para pengurus Dewan Pers, PWI, dan IJTI di ruang kerjanya di lantai 3 Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.

Bambang mencontohkan, Jerman sudah memiliki UU tentang medsos yang dinamakam Enforcement on Social Networks (NetzDG) yang dibentuk pada akhir Juni 2017. Keberadaan UU tersebut salah satunya bertujuan untuk memerangi maraknya ujaran kebencian di medsos. “Bahkan, situs dan platform yang menyajikan berita hoax bisa di denda hingga 50 juta euro,” ujarnya.

Selain itu, politikus Partai Golkar ini juga mendukung langkah PWI yang membentuk Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (MAPILU). Dengan bersama-sama memantau proses dan tahapan pemilu secara aktif, maka akan berdampak positif terhadap perkembangan demokrasi di Tanah Air.

“Pers yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, bahkan sampai ke pelosok desa, merupakan kekuatan sosial yang harus dimanfaatkan dalam memantau jalannya pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu menjalin kerja sama dengan pers,” ujar Bambang.

Menurut dia, selain KPU dan Bawaslu, masyarakat juga bisa memanfaatkan pers sebagai “mata elang” yang bisa melihat bagaimana pelaksanaan pemilu di lapangan. Dengan demikian, para peserta pemilu maupun kandidatnya akan menjalankan kampanye sesuai aturan.

“Di sisi lain, pers juga harus memperkuat independesi dirinya dalam menyajikan pemberitaan. Jangan ada hoax di antara kita. Yang benar katakan benar, yang salah katakan salah. Jangan ada framing dengan narasi yang bombastis sehingga mengaburkan fakta dan membuat masyarakat bingung dalam menilai sebuah kejadian,” ungkapnya.

Sebagai mantan wartawan, dirinya juga memahami betul bahwa ada tekanan bahkan ancaman yang dihadapi insan pers. Dia mengakui bahwa ada saja pihak-pihak yang menggunakan berbagai kekuatannya untuk mengintervensi sebuah pemberitaan. Namun, dia berharap, insan pers bisa tetap menjaga marwahnya.

“Pers harus senantiasa memegang teguh prinsip bahwa menyajikan sebuah fakta lebih penting ketimbang mengembangkan bisnis media. Pers harus senantiasa menjadi watchdog untuk menjaga iklim demokrasi tetap kondusif. Bukan malah menjadi bagian yang merongrong demokrasi,” harapnya.

Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain, Ketua Umum PWI Pusat Atar Depari, Sekretaris Jenderal PWI Pusat Mirza Zulhadi, Ketua PWI Pusat Bidang Luar Negeri Abdul Aziz, Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana, Wakil Ketua IJTI Ratna Komala, anggota Dewan Pers Agus Sudibto serta Ketua Bidang Diklat, Kompetensi, dan Sertifikasi IJTI Jamalul Insan.

Sedangkan dari DPR ada juga anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR Masinton Pasaribu dan anggota Fraksi Partai NasDem DPR Ahmad Sahroni. Sementara itu, Komisi I DPR mendesak agar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) untuk lebih gencar lagi dalam menangkal hoax. Hal itu disampaikan sejumlah anggota Komisi I dalam rapat kerja (raker) bersama Menkominfo.

“Komisi I DPR mendesak Menkominfo untuk mengoptimalkan program-program yang terkait dengan penanganan konten bermuatan negatif atau konten yang mengandung informasi atau berita kebohongan (hoax) di media sosial, sehingga tidak memicu keresahan dalam masyarakat,” kata Wakil Ketua Komisi I Satya Widya Yudha membacakan salah satu simpulan raker, kemarin.

Menkominfo Rudiantara menjelaskan bahwa hoax di medsos itu biasanya disebarkan lewat layanan pesan whatsapp dan twitter. Namun, seringkali akun yang menyebarkan hoax nonaktif setelah menyebarkan. “Yang menyebarkan hoax itu biasanya lewat WA walaupun awalnya di twitter dan biasanya langsung mati juga akunnya yang di twitter,” kata pria yang akrab disapa Chief RA itu.

Selain itu, Chief RA berujar, pihaknya juga memiliki kerja sama dengan KPU dan Bawaslu untuk melakukan kampanye mengajak masyarakat untuk mengikuti perkembangan di setiap tahapan pemilu dan tidak golput. “Yang kami lakukan adalah menyosialisasikan kepada masyarakat serta mengajak masyarakat untuk mengikuti pemilu,” tandasnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4986 seconds (0.1#10.140)