Alat Perang Hibrida Rusia dan Pilpres 2019

Selasa, 15 Januari 2019 - 07:01 WIB
Alat Perang Hibrida Rusia dan Pilpres 2019
Alat Perang Hibrida Rusia dan Pilpres 2019
A A A
Alto Labetubun

Lulusan Master of International Studies dari University of Queensland, Australia, Analis Konflik dan Konsultan Keamanan bekerja di Timur Tengah dan Afrika Utara, Sekarang Tinggal di Irak

PERBINCANGAN ten­­tang Firehose of False­hood: alat pe­­rang hibrida Ru­­sia dan bagaimana me­la­wan­­­nya di kompetisi Pilpres 2019 akhir-akhir ini, banyak sekali ber­seliweran di media daring. Ini tentang taktik pro­paganda dengan cara mem­ban­jiri target dengan infor­ma­si tidak benar atau infor­ma­si yang ada unsur kebe­na­ran­nya namun dibe­lok­kan. Metode propaganda ini dike­nal dengan sebutan Fire­hose of Falsehood.

Contoh yang banyak dipa­kai dalam unggahan daring itu adalah model kampanye Trump saat dia berkompetisi di Pilpres Amerika dan ber­hasil menjadikannya Pre­si­den Amerika ke-45 pada 2017 lalu. Firehose of False­hood sendiri bukan­lah mo­del propaganda yang dibuat dan/atau la­hir saat Trump mela­ku­kan kam­pa­nyenya. Se­bali­k­nya, Fire­hose of Fal­se­hood ini adalah sebuah alat perang yang dikem­bangkan Ru­sia sebagai senjata dalam era pepe­rangan modern alias Hybrid Warfare.

Hybrid Warfare bisa di­artikan sebagai sebuah model perang karena ke­kuatan dan karakter mi­liter itu sedemikian rupa disem­bu­nyikan dari lawan sehingga men­ciptakan ke­bingungan bagi musuh untuk merespons secara tepat. Agar hal ini bisa ter­jadi, maka in­formasi di­ma­ni­pulasi se­hing­ga target men­jadi bingung untuk mela­ku­kan per­la­wan­an, termasuk target merespons ke arah yang salah. Dalam pe­rang kon­­­ven­sional, mani­pu­lasi in­for­­masi biasanya dila­ku­kan dengan cara infiltrasi agen ke target, kemudian infor­masi yang sa­lah tersebut dise­bar­kan di da­lam untuk membuat target merespons ke sasaran salah. Tapi, infiltrasi itu butuh wak­tu lama dengan risiko tinggi.

Dalam era Hybrid Warfare, hal yang sama bisa dicapai tan­­pa harus melakukan infil­tra­si, yaitu dengan mema­ni­pu­lasi informasi dan kemu­di­an disebar dari luar. Di sinilah taktik propaganda Rusia, yaitu Firehose of Falsehood, itu men­jadi alat utama dalam Hybrid Warfare. Karak­te­ris­tik dari Firehose of Falsehood Ru­sia itu ada pada masifnya jum­lah saluran atau kanal yang dipergunakan, ba­nyak­nya jum­lah konten atau pesan di­fabrikasi dan disebarkan le­wat kanal-kanal tersebut, ser­ta ketiadaan rasa bersalah da­lam memberitakan informasi yang sudah difabrikasi.

Tu­juan­nya untuk menciptakan kebingungan bagi orang yang menerima informasi tersebut sehingga dia menjadi tidak percaya pada sumber-sumber informasi yang kredibel.

Propaganda Firehose of Fal­se­hood dalam kampanye poli­tik cukup bisa di­adap­tasi da­lam kontestasi poli­tik se­perti pemilihan pre­si­­den, DNA dari pro­pa­ganda ini bisa terlihat da­lam kon­testasi Pilpres 2019 di Indo­ne­sia.

Tak­tik ini sangat jelas ter­lihat di­pakai oleh tim kam­panye pa­sang­an 02. Per­ta­ma, ba­nyak­nya kanal atau sa­luran yang di­pergunakan. Di kubu 02, bukan hanya calon pre­si­den Pra­bo­wo Subianto saja men­jadi saluran infor­masi. Ada calon wakil pre­siden, ada to­koh-tokoh po­li­tik mewakili par­tai pen­du­kung 02, dan ada ka­nal-ka­nal nonpartai.

Ka­nal-kanal ini secara masif di­kem­bangkan lewat media da­ring dan jeja­ring sosial serta juga bu­letin-buletin dan me­dia cetak. Kedua, masifnya konten-konten setengah benar dan benar-benar bohong yang diproduksi atau direproduksi secara terus-menerus dan ber­ulang.

Konten-konten itu antara lain, Jokowi PKI, Jo­ko­wi anti-Islam, Jokowi antek asing, serbuan tenaga kerja asing di Indonesia, harga-harga jauh lebih mahal dari­pa­da negara luar, Ratna Sa­rum­paet dipukul, 70 juta kertas suara sudah tercoblos, selang transfusi darah dipakai ber­ulang kali, dan banyak lagi kon­ten yang diproduksi.

Ketiga, ketiadaan rasa ma­lu dalam memfabrikasi kon­ten, baik setengah benar atau­pun betul-betul merupakan kebo­hongan. Konten Ratna Sa­rum­paet dipukul, 70 juta kertas suara yang sudah ter­coblos, dan transfusi darah, adalah konten-konten nyata­nya ke­bo­hongan, tetapi sama sekali tidak ada maaf atau rasa ber­salah untuk berhenti mem­­pro­duksi kebohongan.

Strategi Perlawanan

Kasus serbuan tenaga ker­ja asing adalah contoh di­sin­for­ma­si karena fakta bah­wa me­mang ada tenaga kerja asing di Indo­nesia difabrikasi se­akan-akan mereka sudah men­jadi an­cam­an bagi keter­se­diaan la­pa­ngan ker­ja bagi orang Indo­ne­sia. Bagai­ma­na melawan tak­tik ini?

Taktik Hybrid Warfare yang dikembangkan Rusia dan di­apli­kasikan dalam kon­testasi po­litik seperti pilpres ini me­mang tidak gampang dilawan. Hal ini karena tujuan dari pi­hak yang memakai taktik ini da­lam konteks pilpres adalah men­cip­takan ketidak­per­ca­ya­an pe­mi­lih pada target, yang dalam kon­teks Pilpres 2019 adalah kubu Jokowi.

Apa yang direspons ku­bu Jo­kowi akan dianggap oleh orang yang percaya pada pro­­paganda tersebut sebagai pem­­belaan diri dari orang yang sa­lah. Akan tetapi, ada be­bera­pa ca­ra bisa dilakukan. Per­t­ama, pe­negakan hukum. Kubu Jo­ko­wi tidak perlu mem­balas kon­ten dengan kon­ten di ruang pub­lik karena itu akan memiliki dampak kec­il. Tetapi, mereka bisa mem­bawa atau meng­eska­la­si­kan konten yang difabrikasi ke­pada aparat penegak hu­kum sehingga pem­buk­tian­nya bisa dilakukan pihak ke-3, yaitu apa­rat keamanan.

Respons yang sudah di­la­ku­kan pemerintahan Jokowi ter­hadap kasus Ratna Sarum­paet dan kasus 70 juta suara yang ter­coblos adalah cara jitu dan sudah tepat. Se­makin ce­pat pe­me­rintah bertindak, se­makin me­­nu­run efek­ti­vi­tas pro­pa­ganda yang di­mainkan.

Kedua, dengan men­cip­ta­kan narasi sebelum kon­ten pro­paganda itu di­laku­kan. Ibarat orang me­non­ton film, antisipasi ter­ha­dap ba­gai­mana alur ce­ri­ta­nya itu akan hilang saat ending dari film tersebut su­­dah dice­ri­ta­kan oleh orang lain. Da­lam konteks pil­­pres, yang perlu dilaku­kan peme­rintahan Jo­ko­­wi adalah me­nye­bar­kan ke­pada ma­syarakat atau war­ning tentang model-mo­del kon­ten atau pro­pa­gan­da yang ke­mung­kin­an akan di­la­kukan la­wan. Dengan begitu, pada saat­nya mereka menge­luarkan kon­ten terse­but, ma­syarakat sudah tahu.

Misalnya, kubu Jokowi su­dah harus mengeluarkan war­ning bahwa saat Ahok keluar, pihak 02 sudah pasti akan me­manfaatkan isu ini untuk me­nyerang hubungan antara KH Ma’ruf Amin dengan kon­sti­tuennya. Kubu Jokowi juga su­dah harus mengeluarkan war­ning bah­wa sama dengan Pil­­kada DKI tahun 2017, akan ada mo­bi­lisasi massa ke TPS-TPS un­tuk melakukan teror psi­ko­logis kepada pemilih.

Intinya adalah meberi­ta­hu­k­an spoiler dari apa yang akan dilakukan kubu lawan se­belum mereka melakukan hal terse­but. Dengan demi­kian, saat me­reka mela­ku­kan­nya, target me­reka sudah tahu bahwa infor­masi yang mereka lakukan itu adalah pro­pa­ganda.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6441 seconds (0.1#10.140)