Pendidikan yang Melampaui Perubahan

Selasa, 08 Januari 2019 - 08:35 WIB
Pendidikan yang Melampaui Perubahan
Pendidikan yang Melampaui Perubahan
A A A
Fathur Rokhman
Rektor Universitas Negeri Semarang

PENDIDIKAN dan perubahan adalah dua konsep yang tak terpisahkan. Jauh-jauh hari kaitan keduanya telah ditegaskan Nelson Mandela dalam ungkapan monumentalnya: pendidikan adalah alat yang paling kuat untuk mengubah dunia. Hampir setiap definisi pendidikan yang ada juga menyertakan konsep “perubahan” di dalamnya. Persoalannya, bagaimana pendidikan harus berubah di zaman yang perubahannya begini radikal?

Perubahan mendasar yang terjadi belakangan ini telah membawa kabar gembira sekaligus kecemasan. Perkembangan teknologi membuat manusia terpesona dengan masa depan yang benar-benar baru dan belum terbayangkan sebelumnya. Di sisi lain, perubahan akan menggerus nilai-nilai yang selama berabad-abad diyakini kebenarannya.

Ada banyak kabar gembira yang ditawarkan perubahan. Misalnya perubahan teknologi akan membuat manusia ke gerbang aplikasi teknologi nano yang membuat pengobatan terhadap penyakit mematikan bisa lebih mudah dilakukan. Selain itu, tidak lama lagi manusia akan bisa mengintegrasikan organ bioniknya sehingga memiliki kemampuan tubuh dan pikiran berkali-kali lipat.

Di sisi lain, PricewaterhouseCoopers memprediksi akan ada jutaan pekerjaan yang tidak lagi relevan. Jenis pekerjaan yang selama ini digeluti manusia akan segera digantikan robot. Akibatnya, akan muncul jutaan pengangguran baru yang mengancam bukan saja kehidupan ekonomi bangsa, tetapi juga aspek sosial dan budayanya. Kalaupun tidak, pekerjaan itu akan mengalami pergeseran.

Perubahan yang terjadi hari-hari ini terbukti tidak hanya mengubah bentuk sesuatu dan cara manusia menggunakannya. Lebih jauh dari itu, perubahan juga membawa kita pada pergeseran makna. Perubahan telah menyentuh aspek hakikat sehingga membuat sesuatu yang pada era sebelumnya terasa bermakna tiba-tiba menjadi tidak bermakna lagi.

Pendidikan Terdisrupsi
Bagi masyarakat pendidikan, perubahan disruptif juga menggembirakan sekaligus mencemaskan. Ia menyenangkan karena perubahan merupakan kondisi yang diidamkan pendidikan, tetapi ia juga mencemaskan karena perubahan radikal juga mengancam pola dan nilai dasar pendidikan. Dengan kata lain, perubahan yang diupayakan dunia pendidikan pada saat yang bersamaan telah mengancam eksistensi pendidikan itu sendiri.

Tentu saja masyarakat pendidikan bisa tetap optimis karena bagaimana pun perubahan terjadi dalam masyarakat pendidikan tetap dibutuhkan. Kondisi bahkan menunjukkan, semakin modern masyarakat akan semakin memprioritaskan ilmu pengetahuan sehingga akan semakin membutuhkan pendidikan. Namun, masyarakat pendidikan juga harus siap karena bentuk dan pola pendidikan lama mungkin tidak lagi relevan.

Dalam pola pendidikan lama, pertemuan fisik dianggap penting. Inilah yang membuat murid dan guru rela menempuh perjalanan dan mahasiswa rela merantau jauh meninggalkan kampung halamannya. Tetapi, ketika komunikasi jarak jauh menyemai efektivitas pertemuan tatap muka, orang mulai mempertanyakan urgensi pertemuan fisik. Kondisi ini kemudian melahirkan konsep hybrid/blended learning yang berupaya memadukan pembelajaran tatap muka dan komunikasi jarak jauh.

Dalam pendidikan hari ini, evaluasi etik dari guru atau dosen dianggap perlu karena kedua pihak itu dianggap punya otoritas akademis. Anggapan itulah yang melahirkan berbagai jenis bentuk ujian, rapor, dan konsep indeks prestasi. Kelak, paradigma bisa saja bergeser, pembelajarlah yang dianggap paling otoritatif. Dengan begitu, tes dan laporan akademik tidak lagi diperlukan. Pembelajarlah yang harus merefleksikan hasil belajarnya dan menentukan tindak lanjut untuk memastikan hasil belajarnya bermakna dalam kehidupannya.

Kencangnya laju perubahan dewasa ini bukan hanya memaksa guru dan siswa menempuh cara-cara belajar baru. Lebih radikal lagi, pada akhirnya perubahan akan membuat masyarakat mempertanyakan hakikat dan urgensi sekolah dan pendidikan itu sendiri. Jika pengetahuan dan keterampilan bisa diperoleh melalui sumber lain, apakah sekolah benar-benar masih diperlukan? Bagaimana jika karakter unggul juga bisa disemai oleh lingkungan lain di luar lingkungan pendidikan?

Kondisi itulah yang membuat pendidikan juga harus mendisrupsi diri. Sekolah dan perguruan tinggi perlu melakukan perubahan mendasar agar krisis eksistensial yang mengancamnya bisa diatasi. Tapi, perubahan yang dilakukan pendidikan tidak sekadar mengikuti perubahan yang ada, tetapi justru melampauinya.

Kata melampaui pada konteks ini tidak bermakna kuantitatif dalam arti lebih cepat atau lebih banyak, tetapi bermakna kualitatif dalam arti lebih mendasar. Artinya, ketika masyarakat berubah demikian cepat, pendidikan perlu memberi arah baru yang relevan dengan visi manusia dan kemanusiaan. Dengan cara itu, pendidikan tidak dalam posisi menghambat atau mempercepat perubahan, tetapi memastikan perubahan tersebut berjalan pada jalur kebaikan universal.

Harari (2018) mengungkapkan peradaban manusia banyak yang berkembang dalam ketelanjuran. Pilihan-pilihan yang keliru dalam hidup manusiamemaksanya hidup pada era baru yang tidak lebih baik dari era sebelumnya. Ketika manusia telanjur memasuki fase baru, tidak seorang pun bisa membawanya kembali ke fase sebelumnya. Akibatnya, meski hidup dalam kondisi tidak ideal manusia harus tetap menjalaninya.

Ia mencontohkan perkembangan senjata telah menimbulkan rasa tidak aman melebihi ketika manusia belum memiliki senjata. Teknologi perang membuat manusia berada di tubir kehancuran jika sewaktu-waktu terjadi perang nuklir, tetapi tidak seorang pun bisa mencegah perkembangan senjata. Meski dunia relatif damai, negara-negara tetap memproduksi alat pembunuh yang lebih canggih dari hari ke hari.

Hari ini kita menikmati teknologi komunikasi yang begitu canggih. Setelah euforia dalam beberapa dekade, kita mulai merasakan bahwa teknologi komunikasi bukan membuat kita lebih terhubung, tetapi justru semakin terasing satu sama lain. Jika dibiarkan terus, teknologi itu mungkin akan menghancurkan sendi-sendi sosial yang kita warisi dari proses evolusi sosial ribuan tahun. Tetapi saat kesadaran itu muncul, tak seorang pun bisa membawa manusia kembali ke era prainternet.

Literasi Baru
Saat memberi kuliah umum di hadapan ribuan mahasiswa Unnes, Rabu (2/1), Menristek Dikti M Nasir menyampaikan agar mahasiswa menguasai tiga literasi baru. Ketiganya adalah literasi data, literasi teknologi, dan literasi kemanusiaan. Pesan itu diberikan dalam konteks mahasiswa sebagai calon pendidik yang akan menentukan wajah pendidikan pada masa depan.

Literasi data berkaitan dengan kemampuan menggunakan, menggali makna, mengaplikasikannya dalam berbagai bidang kehidupan. Literasi teknologi berkaitan dengan kemampuan menggunakan teknologi sekaligus memahami dampaknya. Adapun literasi kemanusiaan berkaitan dengan kemampuan memahami sifat dan sikap manusia sebagai subjek dengan banyak karakter.

Literasi kemanusiaan diletakkan di akhir, bukan karena menempati prioritas akhir. Sebaliknya, literasi kemanusiaan adalah landasan dasar yang mewadahi dua jenis literasi lain. Artinya, baik data maupun teknologi harus dipahami dalam konteks sosial, kultural, dan filosofis yang relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Bagi masyarakat pendidikan yang bidang utamanya adalah “memanusiakan manusia”, literasi kemanusiaan adalah konsep yang sangat penting. Perubahan dalam bidang pendidikan idealnya tetap selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan cara seperti itulah manusia pendidikan akan tetap berarti di tengah kencangnya perubahan yang terjadi.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4600 seconds (0.1#10.140)