Noda di Beranda Budaya Jogja

Rabu, 02 Januari 2019 - 07:32 WIB
Noda di Beranda Budaya Jogja
Noda di Beranda Budaya Jogja
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta

APA yang kita dengar, ketahui, dan saksikan tentang Jogjakarta? Saya ingin menyebut dua karakteristik. Pertama, Jogja pada masa lalu merupakan Kesultanan Mataram yang sampai sekarang kesenian, kebudayaan, dan peradabannya yang adiluhung tetap eksis dan dilestarikan.

Tradisi, nilai-nilai sopan santun, keadaban, dan tata krama yang penuh keagungan dan keanggunan masih tetap dan terus terperlihara di Keraton Jogja. Para sultan dan Keraton Jogja banyak kontribusinya pada masa perjuangan melawan penjajah Belanda dan peran besar ini berlanjut pada masa pembentukan NKRI.

Itulah sebabnya, pemerintah pusat memberikan status istimewa kepada Jogja dan disebut Daerah Istimewa Jogjakarta. Sultan Jogja tidak dipilih, tetapi ditetapkan berdasarkan sistem permusyawaratan dan kesepakatan internal keluarga Keraton.

Kedua, Jogja dikenal sebagai kota pelajar dan mahasiswa. Walaupun perguruan tinggi sudah banyak didirikan di luar Jogja dan di luar Jawa, namun Jogja tetap memiliki daya tarik tersendiri bagi para calon mahasiswa. Para (calon) mahasiswa dari luar Jogja dan dari luar Jawa masih menjadikan Jogja sebagai tujuan studi.

Mereka belajar di UGM, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah, Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Sanata Dharma, Universitas Cokroaminoto, dll. Jogja identik dengan kota pendidikan, pengembangan keilmuan, kebudayaan, dan peradaban. Jogja adalah ikon kebudayaan, peradaban, dan keadaban.

Jualan Kemesuman
Di Jogja segala sesuatunya menyenangkan, menenteramkan, dan memberikan senyum keramahan dan suasana kenyamanan. Tepat sekali kalau moto yang dipakai adalah ”Jogja Berhati Nyaman.” Di balik semua ini, citra peradaban dan keadaban Jogja terkena imbas tidak sedap dengan adanya praktik ”bisnis mesum” yang terjadi baru-baru ini.

Bisnis mesum ini terbongkar setelah polisi menggerebek pertunjukan hubungan seks yang digelar di salah satu losmen (home stay) di Condongcatur, Depok, Sleman, DIY. Bisnis mesum ini menampilkan pasangan pria dan wanita melakukan hubungan seks secara terbuka dan secara bersama-sama disaksikan oleh para penontonnya. Para penonton dan penikmat pertunjukan mesum ini membayar sebesar Rp1 juta per orang kepada pihak penyelenggara untuk melihat langsung pertunjukan hubungan esek-esek itu dari awal sampai selesai.

Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Direskrimum) Polda DIY menggerebek praktik bisnis mesum itu pada hari Selasa (12 Desember 2018) pukul 23.00 WIB. Direskrimum Polda DIY Komisaris Besar (Kombes) Hadi Utomo mengungkapkan, inisiator bisnis mesum ini berinisial AS dan HK dan telah menggelar pertunjukan mesum itu sebanyak empat kali di tempat yang sama.

Kombes Utomo mengatakan, kedua inisiator telah ditetapkan sebagai tersangka dan akan dikenakan pasal berlapis, yaitu pasal 298 KUHP tentang pencabulan dan Undang-Undang 21 tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia. Maksimal ancaman hukumannya selama 15 tahun penjara.

Sebelum melakukan penggerebekan, polisi menerima laporan masyarakat yang merasa risih dan resah dengan praktik cabul tersebut. Polisi juga melakukan pelacakan melalui internet untuk membongkar bisnis haram ini. Dalam penggerebekan tersebut, polisi menangkap 12 orang, yaitu AS dan HK (inisiator) dan 10 orang lainnya (rata-rata berusia 35 tahun) dan banyak dari mereka yang berstatus bukan suami istri.

Para penonton dan pelaku bisnis mesum ini menggunakan grup WhatsApp sebagai media berkomunikasi. Kedua inisiator, AS dan HK, memperoleh keuntungan dari bisnis mesum ini. Sebagai barang bukti, polisi menyita beberapa ponsel, kondom, minuman keras, uang tunai, dan beberapa pakaian. Media massa mengekspos peristiwa langka yang terjadi di kota budaya Jogjakarta ini sebagai “pertunjukan pesta seks.”

Pertunjukan hubungan seks secara terbuka dan disaksikan secara beramai-ramai oleh para penontonnya merupakan bentuk baru commersialization of sex (komersialisasi seks) di kota budaya Jogja. Seks, ketelanjangan, dan kemontokan tubuh wanita sering dikomersialisasikan, misalnya sebagai penari striptease, dipampang di majalah porno seperti Playboy dan Penthouse (di Amerika Serikat), atau melalui praktik prostitusi.

Pada masa lalu dan juga pada masa kini, prostitusi dilakukan dengan cara pria hidung belang mengencani wanita pekerja seks komersial (prostitute/pelacur) di lokasi pelacuran. Di era komunikasi yang canggih sekarang ini, prostitusi dilakukan secara online dan kencannya dilakukan di hotel berbintang dengan tarif bayaran yang mahal untuk sekali kencan.

Peristiwa mesum di kota budaya Jogja yang mempertontonkan hubungan seks atau persetubuhan secara terbuka dan disaksikan secara beramai-ramai oleh penontonnya merupakan bentuk baru komersialisasi seks. Sungguh sangat disayangkan, bisnis mesum ini terjadi di Jogja yang terkenal mempunyai peradaban dan keadaban yang adiluhung.

Nafsu Fulusiah
Godaan fulus membuat seseorang (sekelompok orang) menjadi lupa diri, lupa agama, dan lupa Tuhan. Godaan nafsu fulusiah merasuk ke dalam dirinya dan secara dominan mengalahkan kesadaran insaniah dan kesadaran ilahiahnya. Dari sinilah asal-muasal dan pangkal tolak seseorang (sekelompok orang) melakukan praktik-praktik yang dilarang agama yang disebut perbuatan haram itu.

Untuk menyebut sekadar contoh, bisa jadi ia adalah koruptor (kelas teri atau kelas kakap) yang mencuri uang negara dan uang rakyat. Bisa jadi ia adalah perampok yang merampok barang-barang milik orang lain. Bisa jadi ia (dan sindikatnya) adalah penjual dan pengedar narkoba yang merusak kesehatan, menghancurkan masa depan, dan bahkan mematikan ribuan korban penggunanya.

Bisnis mesum yang mempertontonkan pria-wanita berhubungan seks secara terbuka dan secara beramai-ramai disaksikan oleh para penontonnya yang pertama kali terjadi di Jogja sudah pasti merupakan perbuatan asusila. Nafsu fulusiah adalah motif utamanya. Inisiator, pelaku, dan fasilitator harus diusut tuntas, diproses hukum, dan diberikan hukuman sesuai pelanggaran hukum yang mereka perbuat.

Tidak bisa tidak, mereka pun harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka kepada Tuhan di akhirat kelak. Menanggapi bisnis haram ini, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengekspresikan keprihatinannya seraya mengatakan: ”Sedih aku. Saya malu, di Jogja kok bisa terjadi kejadian seperi itu. Jangan sampai terjadi lagilah yang begitu, tidak beradab, kan memalukan itu.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3562 seconds (0.1#10.140)