Ekspor vs Impor Komoditas Pertanian

Senin, 31 Desember 2018 - 08:55 WIB
Ekspor vs Impor Komoditas Pertanian
Ekspor vs Impor Komoditas Pertanian
A A A
Kuntoro Boga Andri
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementerian Pertanian RI

SEKTOR perdagangan internasional yang di dalamnya ada kegiatan ekspor dan impor sejatinya tidak secara langsung menjadi ranah kerja Kementerian Pertanian (Kementan). Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 45 Tahun 2015, Kementan punya tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Kenyataannya, dalam mengemban amanat perpres itu, Kementan mau tidak mau akan bersinggungan dengan isu dan kinerja ekspor-impor.

Semua pakar sepakat ekspor dan impor, termasuk juga pada komoditas pangan, merupakan aktivitas perdagangan internasional dan kegiatan ekonomi biasa. Ekspor akan mendatangkan devisa dari pengiriman komoditas, sebaliknya impor membeli produk asing untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang pangan merestui kegiatan impor asal memenuhi beberapa syarat. Produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri; dan produksi pangan dalam negeri serta cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Impor kemudian menjadi masalah karena berkait dengan hajat hidup petani hingga neraca perdagangan.

Pada 2018 ini impor beberapa komoditas pertanian mendatangkan polemik. Terutama komoditas gula mentah (GM) untuk gula kristal rafinasi (GKR) dan garam yang dinilai berada di atas kebutuhan dalam negeri. Tentunya evaluasi kebijakan perlu terus dilakukan oleh pemerintahan berjalan. Karena di sisi lain pemerintah juga wajib membela hajat hidup jutaan petani dan tujuan yang lebih besar, kedaulatan pangan.

Kementerian Pertanian memproyeksikan produksi gula 2019 mencapai 2,5 juta ton pada 2019. Proyeksi ini meningkat 11% dari target produksi gula 2018 sebesar 2,2 juta ton. Namun Asosiasi Gula Indonesia (AGI) mengatakan kebutuhan gula kristal putih (GKP) nasional akan terus meningkat sehingga kebijakan impor bahan baku masih dibutuhkan. Kebutuhan gula konsumsi nasional diperkirakan sebesar 2,9 juta ton pada 2019. Sementara total kebutuhan gula industri dan konsumsi mencapai 5,3 juta ton hingga 5,5 juta ton per tahun. Prediksi pertumbuhan industri makanan dan minuman 8–9% pada 2019 jadi dasar proyeksi.

Di lain sisi produksi gula para produsen BUMN masih di bawah produksi negara-negara produsen. Brasil masih duduk di posisi teratas penghasil gula terbesar dunia. Dengan tantangan berat ini pemerintah tekun menjaga asa menggapai cita-cita swasembada gula nasional. Program revitalisasi industri gula pemerintah yang sudah berjalan sejak 2016 berlanjut hingga 2019 dan diyakini dapat mengatasi masalah tersebut. Revitalisasi industri gula dilakukan dengan meremajakan fasilitas mesin-mesinnya dan insentif kepada petani tebu.

Menapaki Peta Jalan Kedaulatan Pangan

Dalam menapaki peta jalan menuju kedaulatan pangan, pembatasan impor bahan pangan menjadi pilihan. Kehati-hatian terlihat pada tiap langkah Kementan. Pengalaman sandungan ajuan banding Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru pada World Trade Organization (WTO) yang bersikeras ingin menjatuhkan sanksi pada Indonesia, menjadi pelajaran.

Kementan melalui Sekretaris Jenderal Syukur Iwantoro menegaskan, Indonesia sebagai bagian dari warga global akan terus konsisten mengikuti aturan yang berlaku di tingkat internasional seperti WTO. Namun ia memastikan usaha dan upaya untuk kemandirian dan kedaulatan pangan tidak boleh berhenti. Setelah mengkaji dan menghitung, pemerintah melalui Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di Bidang Perekonomian menentukan impor komoditas strategis tahun 2019. Sejumlah komoditas pangan seperti gula, garam, dan daging kemungkinan akan tetap diimpor dengan jumlah yang diperkirakan lebih sedikit.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memastikan, stok pangan bisa dijaga untuk tahun 2019 sampai akhir tahun dalam jumlah yang cukup. Khusus untuk gula dan garam ia menegaskan impor hanya diperuntukkan bagi industri yang membutuhkan bahan baku sesuai dengan spesifikasinya serta untuk kembali diolah.

Sementara untuk beras, Darmin mengungkap tidak ada impor beras karena pasokan di gudang Perum Bulog dinilai sudah cukup banyak. Direktur Utama Bulog Budi Waseso bahkan memastikan tidak akan ada lagi gejolak harga beras tahun depan (2019), apalagi kekurangan beras.

Lompatan Produksi dan Ekspor Pertanian

Optimisme pemerintah ini tentu didasari perkiraan produksi bahan pangan yang menjanjikan. Sepanjang 2018, jejaknya tercatat lengkap pada kontribusi pangan dalam menurunkan angka inflasi bahan pangan. Terkendalinya harga pangan akibat pasokan produksi dalam negeri yang sangat memadai, menyebabkan inflasi bahan makanan pada 2018 sebesar 1,26 persen. Jauh lebih rendah dibandingkan inflasi bahan makanan 2013 (sebelum pemerintahan Jokowi-JK) sebesar 11,35 persen. Target peningkatan produksi yang dicanangkan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman sejak Oktober 2014, agaknya menampakkan bukti nyata.

Kementan meyakini ini semua tak lain buah dari kebijakan yang fokus terhadap kepentingan petani, salah satunya melalui refocusing anggaran yang telah dilakukan sejak 2015 hingga kini. Pada tahun anggaran 2018 Kementan mengalokasikan 85 persen dari total anggaran Rp22,65 triliun untuk memenuhi kebutuhan petani dalam hal peningkatan produksi seperti belanja sarana dan prasarana pertanian ataupun pembangunan infrastruktur pertanian di berbagai daerah.

Catatan gemilang kinerja sektor pangan empat tahun terakhir terus memberikan kabar baik berupa prestasi pembangunan pertanian. Peningkatan produksi diikuti kenaikan ekspor pertanian secara keseluruhan. Pada 2017, ekspor pertanian meningkat Rp441 triliun atau 24 persen dibandingkan 2016. Tahun ini hingga September 2018, nilai ekspor pertanian sudah mencapai Rp330 triliun. Jumlah itu merupakan rangkaian dari total target yang dicanangkan Kementan yakni Rp499,30 triliun.

Peningkatan ekspor ini salah satunya disebabkan banyaknya pengusaha yang mulai melakukan ekspor, terutama di sektor hortikultura. Juga ekspor lain yang berperan besar dalam meningkatkan neraca perdagangan seperti beras, bawang, daging ayam, jagung, buah tropis, dan sejumlah komoditas perkebunan seperti kopi dan sayur-mayur. Mengacu pada data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), volume nilai ekspor pada sektor pertanian juga mengalami kenaikan mencapai 4,8% per tahun. Jumlah itu terus bertambah seiring laju ekspor yang tetap berjalan.

Peluang Ekspor 2019 Kian Terbuka

Iklim ekspor bertautan dengan iklim perdagangan internasional. Bersyukur Amerika Serikat (AS) dan China bersepakat menahan diri dalam rivalitas perang dagang. Ini diyakini akan memberikan angin segar untuk perekonomian global. Ekonom Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, kinerja ekspor Indonesia berpotensi kembali normal. Di sektor pangan, harga beberapa komoditas seperti minyak sawit bisa terangkat lagi. Kesepakatan dihasilkan dari pertemuan 2,5 jam antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di sela-sela pertemuan negara G-20 di Buenos Aires, Argentina, Sabtu (1/12).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan, hampir seluruh kepala negara yang hadir dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 menginginkan faktor-faktor yang selama ini memengaruhi perekonomian global dan perang dagang antarnegara besar dapat diredam. Dengan begitu masalah itu tidak berdampak besar kepada negara lain.

Peluang-peluang yang kian terbuka ini memompa semangat dalam memuluskan jalan pada upaya Kementan bersama seluruh pemangku kepentingan pertanian untuk meningkatkan produksi dan ekspor di 2019. Upaya yang mengarah pada satu muara: kemandirian pangan dan kesejahteraan petani.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.0090 seconds (0.1#10.140)