Banyak Tantangan, namun Relatif Stabil

Jum'at, 28 Desember 2018 - 08:31 WIB
Banyak Tantangan, namun Relatif Stabil
Banyak Tantangan, namun Relatif Stabil
A A A
Bambang SoesatyoKetua DPR RI

Meski memiliki banyak tantangan, namun memasuki tahun keempat pemerintahan Joko Widodo-Yusuf Kalla, situasi ekonomi, sosial, politik, dan keamanan relatif stabil. Menuju akhir 2018, dinamika politik di dalam negeri memang cenderung semakin memanas. Kendati demikian, pimpinan DPR memastikan bahwa stabilitas negara sangat kondusif, baik di pengujung tahun ini maupun sepanjang 2019 mendatang. Lebih dari itu, bersama TNI dan Polri, pemerintah serta DPR juga memastikan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2019 akan berlangsung aman dan damai. Pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) tetap akan menjadi pesta demokrasi sekaligus menjadi ruang bagi semua komponen masyarakat melaksanakan kedaulatannya.

Politik dan Hamkamnas
Aktivitas pemerintah dan DPR yang tetap fokus pada tugas-tugas kenegaraan maupun kegiatan pembangunan menjadi bukti bahwa Indonesia sangat stabil dan kondusif. Semua elemen masyarakat di semua daerah pun tetap menjalankan aktivitas masing-masing sebagaimana biasanya. Stabilitas keamanan dan kondusivitas negara terwujud karena TNI, Polri, dan semua unsur penegak hukum, tetap mengelola aspek keamanan dan ketertiban umum sebagaimana seharusnya.
Memang ada upaya mengeskalasi tensi politik dengan sejumlah gerakan, pernyataan provokatif, hingga penghinaan kepada Presiden RI. Namun, segala sesuatunya bisa dikelola sebagaimana mestinya oleh aparat keamanan maupun penegak hukum. Untuk menyejukkan suasana, pimpinan DPR mendorong semua kekuatan politik untuk lebih menahan diri.
Silakan berkampanye sambil menyuarakan kritik pada pemerintah. Namun, jangan sampai kebebasan mengemukakan pendapat itu disalahgunakan dengan melancarkan penghinaan pada bangsa dan negara, menghina lambang negara, atau memprovokasi publik.
Menuju pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2019, sangat ideal jika semua kekuatan politik lebih mengedepankan program-program realistis dan solutif. Para politisi diharapkan bisa menjadi panutan sehingga etika dan moral patut dijunjung tinggi.
Terkait aktivitas kedewanan sepanjang 2018 yang masih banyak menuai kritik, kami menerimanya dengan terbuka sebagai bahan koreksi untuk perbaikan ke depan. Namun, kami juga merasa perlu menyampaikan beberapa hal mengingat DPR/MPR RI dan DPD RI sesuai konstitusi adalah lembaga politik dan anggota di dalamnya merupakan para pekerja politik yang dipilih langsung oleh rakyat pemilihnya di daerah pemilihan masing-masing secara terus menerus melalui pemilu setiap lima tahun sekali, maka tidak bisa disamakan dengan para pekerja kantoran atau pabrik yang salah satu ukuran kedisiplinan dan kinerjanya berdasarkan absensi. Kita tidak bisa menilai para pekerja politik atau buruh rakyat itu hanya berdasarkan tingkat kehadiran mereka di parlemen tanpa melihat apa yang mereka kerjakan di luar parlemen. Kerja-kerja politik mereka sebagai anggota parlemen sekaligus sebagai anggota partai politik sesuai undang-undang dan sumpah jabatan mengharuskan mereka lebih dekat ke rakyat pemilihnya.
Jika mereka dianggap malas atau bolos, biarkan rakyat pemilihnya di daerah yang menilai, apakah mereka benar-benar bolos dan malas? Atau justru sebaliknya, mereka rajin bekerja turun ke bawah berpanas-panas ke desa-desa membantu konstituennya serta menjalankan tugas-tugas kedewanan, seperti sosialisasi atau menyerap aspirasi, meninggalkan kemewahan ruangan rapat yang dingin ber-AC. Tapi, jika ternyata mereka bolos dan malas, maka biarkan rakyat pemilih mereka menghukum dengan tidak memilihnya kembali karena mereka telah mengkhianati amanah yang diberikan.
Dinamika Global

Ada beberapa faktor pada tingkat global harus terus menjadi perhatian bersama. Untuk aspek politik luar negeri, Indonesia harus menunjukkan konsistensi dalam menyikapi isu kemerdekaan Palestina dan isu pemindahan ibu kota Israel ke Yerusalem. Tak kalah pentingnya adalah mencermati dinamika perekonomian global yang masih berselimut ketidakpastian.

Sektor ekonomi

Indonesia bersama banyak negara lain sedang menghadapi potensi ketidakseimbangan (disequilibrium ) baru akibat kebijakan pengetatan moneter di negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS) dan juga akibat perang dagang AS versus Cina serta sikap kurang bersahabat Presiden AS Donald Trump terhadap WTO (World Trade Organization). Akibatnya, ada beberapa risiko tak bisa dihindari Indonesia, antara lain terganggunya keseimbangan neraca transaksi berjalan, neraca pembayaran, neraca perdagangan, dan neraca jasa.
Masalah inilah harus dikelola dengan sangat hati-hati melalui penyesuaian kebijakan. Untuk mereduksi ekses dari ketidakseimbangan baru itu, Indonesia memang harus melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi.
Langkah bank sentral AS, Federal Reserve (Fed), menaikkan Fed Fund Rate (FFR) berdampak pada depresiasi rupiah. Nyaris sepanjang tahun ini masyarakat melihat penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Rupiah sempat mencapai level terendah dalam 20 tahun terakhir ketika pada hari transaksi Selasa 2 Oktober 2018 ditutup di level Rp15.042,05 per dolar AS. Di pasar spot Bloomberg, rupiah berbalik menguat terhadap dolar AS setelah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6%. Namun, rupiah masih berpotensi mendapatkan tekanan jika Fed menaikkan lagi FFR pada 2019.

Di sektor perdagangan, AS mengevaluasi 124 produk ekspor Indonesia yang menerima pemotongan bea masuk dalam Generalized System of Preferences (GSP). Produknya meliputi tekstil, kapas, dan beberapa hasil perikanan, seperti udang dan kepiting. GSP merupakan kebijakan perdagangan AS yang memberi pemotongan bea masuk terhadap produk ekspor negara tertentu.Namun, apresiasi patut diberikan pada pemerintah karena telah merampungkan perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) dengan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (European Free Trade Association/EFTA). Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menandatangani kesepakatan bersama Swiss, Liechtenstein, Islandia, dan Norwegia, pada Jumat, 23 November 2018, di Sekretariat EFTA, Jenewa, Swiss.
Isu Palestina
DPR juga memastikan bahwa sikap Indonesia untuk selalu mendukung Palestina merdeka tidak akan pernah berubah. Indonesia akan selalu menolak pendudukan Israel terhadap wilayah Palestina di jalur Gaza. Indonesia pun menolak rencana pemindahan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. DPR terus mendorong pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri terus membangun komunikasi dengan para menteri luar negeri di negara-negara Islam, terutama anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). (bersambung)
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0550 seconds (0.1#10.140)