Hapus Jabatan Wakil Kepala Daerah

Senin, 10 Desember 2018 - 08:00 WIB
Hapus Jabatan Wakil Kepala Daerah
Hapus Jabatan Wakil Kepala Daerah
A A A
Jamaludin Ghafur

Dosen Hukum Tata Negara, Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII, dan Kandidat Doktor FH UI Jakarta

SEJAK mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengundurkan diri pada 9 Agustus 2018 sampai saat ini penggantinya masih misteri. Partai Gerindra dan PKS sebagai partai yang memiliki hak mengusulkan dua nama kandidat wagub baru untuk dipilih melalui DPRD DKI Jakarta belum bersepakat hingga saat ini.

Kekosongan posisi wagub dalam waktu yang lama dan dibiarkan tanpa kejelasan seperti saat ini mengindikasikan satu hal, yakni secara ketatanegaraan posisi wakil kepala daerah sesungguhnya tidak penting. Setidaknya ada tiga alasan yang dapat dijadikan parameter bahwa posisi wakil kepala daerah tidak begitu urgen. Pertama, tidak terdapat dampak apa pun dari kekosongan kursi wagub DKI yang cukup lama. Artinya, hanya dengan seorang gubernur roda pemerintahan tetap bisa berjalan normal.

Kedua, UU Pilkada sama sekali tidak mengatur batas waktu pengisian jabatan wakil kepala daerah apabila terjadi kekosongan. Kalaulah posisi itu dianggap penting dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, pastilah hal tersebut akan diatur sedemikian rupa sebagaimana bila terjadi kekosongan jabatan kepala daerah di mana UU mewajibkan harus sudah ada penggantinya maksimal dalam waktu 10 (sepuluh) hari.




Ketiga, apa yang menjadi tugas dan kewenangan wakil kepala daerah juga tidak jelas selain hanya dikatakan sebagai pembantu kepala daerah. Ketidakjelasan tugas ini menyebabkan apa yang akan menjadi tugas dan kewenangan wakil kepala daerah sepenuhnya bergantung pada “budi baik” kepala daerah. Hal ini kemudian tidak jarang menjadi sumber konflik bila wakil kepala daerah merasa dirinya tidak diberdayakan dengan hanya sedikit tugas dan kewenangan.

Jabatan “Terlarang”

Jika merujuk pada konstitusi, jabatan wakil kepala daerah bukan hanya tidak penting, tetapi juga merupakan jabatan yang “haram dan terlarang” karena Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 secara tegas hanya mengamanatkan pemerintahan daerah di level eksekutif dipimpin oleh kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota). Konstitusi sama sekali tidak memerintahkan pemilihan kepala daerah satu paket dengan wakilnya.

Hal ini berbeda dengan jabatan wakil presiden di mana Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden. Bahkan 6A ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Selain tidak ada dasar konstitusional, keberadaan sebagian wakil kepala daerah dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah justru menimbulkan persoalan, yaitu terjadi keretakan hubungan dengan kepala daerah karena sang wakil merasa hanya dijadikan “ban serep” dan tidak difungsikan secara maksimal. Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, 95% kepala daerah dan wakilnya akhirnya pecah kongsi di tengah jalan.

Beberapa contoh ketidakharmonisan antara lain antara Bupati Kabupaten Kuantan Singingi di Riau, Sukarmis melawan wakilnya, Zulkifli, yang terjadi pada Februari 2016. Kemudian, antara Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie dengan wakilnya, Udin Hianggio, pada Oktober 2017. Terbaru, Bupati Tolitoli Mohammad Saleh Bantilan melawan wakilnya, Abdul Rahman H Buding, pada akhir Januari 2018.

Konflik ini tentu sangat berpengaruh terhadap efektivitas dan produktivitas kinerja pemda sehingga pasti akan berdampak buruk terhadap pelayanan masyarakat. Seringkali disharmoni ini membuat birokrasi pemerintahan menjadi tidak satu komando. Padahal, dalam konsideran huruf b UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan tugas pemda sangat berat, yaitu mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa ada kekompakan pemimpinnya, maka tentu sangat sulit untuk merealisasikan cita-cita tersebut.

Proyeksi ke Depan

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada, gubernur sebagai pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat (elected official), juga tidak memiliki wakil yang sama-sama dipilih. Menurut Jimly Asshidiqie (2015), kebutuhan teknis akan ada wakil dipenuhi dengan cara pengangkatan wakil gubernur yang di sebut “Leutenant Governor” (Deputy atau Vice Governor) sebagai “orang kedua” atau wakil dalam kekuasaan pemerintahan negara bagian. Akan tetapi, jabatan wakil gubernur ini tidak diisi melalui pemilihan umum, melainkan melalui pengangkatan atas usul gubernur.

Berdasarkan berbagai pengalaman buruk yang terjadi akibat pecah kongsi antara kepala daerah dan wakilnya dan merujuk pada pengalaman di berbagai negara tersebut serta tidak ada dasar hukum dalam konstitusi, sudah saatnya kita melakukan evaluasi terhadap jabatan wakil kepala daerah yang saat ini sama-sama dipilih dalam satu paket pencalonan dengan kepala daerah. Ke depan kalaupun jabatan wakil kepala daerah tetap akan dipertahankan, mekanismenya bukan dengan dipilih secara langsung, tetapi cukup ditunjuk oleh kepala daerah sehingga akan tercipta chemistry antar keduanya yang diharapkan akan semakin meningkatkan kualitas pelayanan publik.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4767 seconds (0.1#10.140)