Ketahanan Pangan: Bedanya Jepang dan Indonesia

Rabu, 05 Desember 2018 - 07:10 WIB
Ketahanan Pangan: Bedanya Jepang dan Indonesia
Ketahanan Pangan: Bedanya Jepang dan Indonesia
A A A
ALI KHOMSANGuru Besar Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB

PEMERINTAH menyatakan data beras terbaru yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) telah menggunakan penyempurnaan metode perhitungan.Data BPS tersebut menyatakan bahwa produksi gabah kering giling pada 2018 diperkirakan 56,54 juta ton atau di bawah Kementan yang menyatakan 80 juta ton. Sementara itu, produksi beras versi BPS adalah 32,42 juta ton dan versi Kementan 46,5 juta ton.Kementan memperkirakan surplus mencapai 13,03 juta ton, namun BPS memperkirakan surplus hanya 2,85 juta ton.



Tingkat kebenaran data produksi pangan sangatlah penting karena menyangkut ketersediaan pangan, ketahanan pangan, dan impor pangan. Oleh sebab itu, keberanian pemerintah untuk mengoreksi data pangan patut diapresiasi. Gonjang-ganjing tentang perlu tidaknya impor beras bisa diredam, dan sinergi positif antarlembaga yang mengurusi soal pangan dapat semakin diperbaiki.

Bagaimana sebenarnya kita harus menyikapi impor pangan? Setiap negara tentu mempunyai kebijakan yang berbeda menyangkut urusan impor pangan. Ada negara yang memiliki keterbatasan sumber daya alam seperti Jepang, sehingga impor pangan mau tidak mau harus dilakukan. Sementara itu, Indonesia adalah negara agraris dan sekaligus negara bahari dengan potensi pertanian yang luar biasa.

Jepang adalah negara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang. Kesembadaan pangannya hanya sekitar 40% berdasarkan basis kalori, dan untuk biji-bijian sekitar 28%. Kesembadaan biji-bijian ini jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia (85%), India (91%), dan Bangladesh (97%).

Sebagai negara yang banyak mengandalkan impor pangan dari negara lain, Jepang telah membangun sistem manajemen ketahanan pangan dengan sangat baik. Monitoring suplai dan permintaan pangan dilakukan dengan mengandalkan data impor-ekspor dari Departemen Keuangan, data produksi-distribusi dari Bagian Statistik Departemen Pertanian, dan data konsumsi dari departemen lainnya. Mengingat Jepang juga sangat berkepentingan dengan impor pangan dari negara-negara lain, maka data-data yang relevan dari USDA (Departemen Pertanian AS) dan FAO juga dijadikan dasar untuk melihat suplai-permintaan pangan dunia. Dengan mengandalkan semua informasi tersebut, dibangunlah sistem dan kebijakan yang efektif untuk ketahanan pangan.

Sebagai negara yang semakin makmur, Jepang mengalami perubahan pola pangan yang menggeser pangan-pangan sumber kalori. Semula beras memberikan kontribusi 1090 Kalori, namun kini kontribusi beras hanya 600 Kalori. Turunnya kontribusi kalori beras, digantikan oleh pangan-pangan lain seperti produk-produk ternak, minyak/lemak, terigu, gula, ikan dll. Ini menunjukkan bahwa peran beras sebagai pangan pokok sebenarnya tidak tergantikan tetapi orang Jepang makan beras semakin sedikit, dan pangan lainnya dikonsumsi lebih banyak sehingga kecukupan kalori secara keseluruhan tetap terpenuhi.

Jepang mengandalkan impor produk-produk pertanian dari sejumlah negara. Impor pangan jelas bukan merupakan hal yang haram bagi negara Jepang. Dengan sumber daya lahan yang terbatas, sulit bagi Jepang untuk berswasembada dalam produk-produk pertanian.

Divisi Perencanaan Kebijakan Pangan Jepang setiap bulan melakukan pertemuan untuk membahas situasi pangan dunia berkaitan dengan produk-produk yang banyak diimpor. Ini adalah upaya antisipasi dalam rangka mencegah ketidaktahanan pangan. Kestabilan dan keterjaminan impor pangan menjadi sangat penting bagi Jepang.

Survei untuk memahami struktur pertanian dilakukan secara kontinu untuk memahami aspek tenaga kerja, infrastruktur dll. Ketenagakerjaan sektor pertanian menjadi hal penting yang harus diperhatikan sebab pemerintah Jepang juga ingin mengetahui tren pekerja baru di sektor ini.

Pembangunan infrastruktur pertanian menjadi syarat penting untuk mendukung pertanian yang maju. Untuk itu, pemerintah Jepang menganggap perlu survei infrastruktur ini yang dapat menjamin kelancaran distribusi produk pertanian. Perbaikan infrastruktur harus dilakukan terus-menerus sehingga tidak menjadi kendala penyaluran produk pertanian.

Jepang tidak meninggalkan usaha pertaniannya, meski produk yang dihasilkannya tidak akan pernah mencukupi seluruh kebutuhan penduduk. Sebagai negara industri, Jepang tidak melupakan cikal bakal kehidupan masa lalu yang ditopang oleh sektor pertanian.

Indonesia sebagai negara agraris dengan jumlah penduduk miskin masih cukup banyak harus menitikberatkan pada dua ketahanan pangan sekaligus, yaitu ketahanan pangan wilayah dan ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan wilayah dicerminkan dari aspek produksi, sedangkan ketahanan pangan rumah tangga diwujudkan oleh kemampuan penduduknya mengakses dan mengonsumsi makanan sesuai syarat gizi untuk mencapai derajat hidup sehat.

Konsep ketahanan pangan rumah tangga mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Saat daya beli merosot, maka akses terhadap pangan akan terancam. Meningkatkan daya beli adalah hal utama yang harus dilakukan untuk terpenuhinya ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan makro di tingkat nasional yang ditunjukkan oleh surplus produksi beras atau pangan lainnya belum menjamin tercapainya ketahanan pangan mikro atau ketahanan pangan rumah tangga.

Rumah tangga miskin pasti akan mengalami ketidaktahanan pangan, tetapi mereka yang rawan pangan belum tentu hanya dari golongan miskin. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena banyak rumah tangga di Indonesia meski bukan tergolong miskin, namun sesungguhnya sudah nyaris miskin sehingga daya belinya tidak cukup kuat untuk mengakses pangan secara cukup.

Ketahanan pangan menyangkut upaya-upaya pemerintah untuk menyediakan pangan secara cukup. Isu pangan akan selalu menarik perhatian karena pangan merupakan hajat hidup orang banyak. Kebutuhan pokok yang paling utama dan harus dipenuhi oleh setiap orang adalah pangan. Instabilitas penyediaan pangan dapat mengakibatkan ketidakstabilan politik. Persoalan pangan kerap muncul pascabencana banjir, kekeringan, dan serangan hama.

Produktivitas pangan negara kita sama saja dengan negara-negara lain. Namun, petani di negara lain menikmati sarana prasarana yang lebih baik untuk mendukung kehidupan pertaniannya. Ini yang menyebabkan mereka dapat bertani secara lebih efisien. Pembangunan sarana jalan, yang digalakkan di era pemerintahan Presiden Jokowi, jelas akan sangat membantu kelancaran distribusi produk-produk pertanian. Hal ini membuat tata niaga menjadi lancar. Kelambatan pembangunan infrastruktur akan menyebabkan pemborosan dalam segala bidang. Ongkos angkutan menjadi lebih mahal dan akhirnya berdampak pada harga produk pertanian yang semakin mahal.

Membangun ketahanan pangan dapat dilakukan dengan perbaikan sarana fisik dan juga peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, terbukanya lapangan kerja dan berkurangnya jumlah pengangguran menjadi langkah penting untuk mendukung ketahanan pangan, utamanya di tingkat keluarga.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3895 seconds (0.1#10.140)