Beragam dan Seragam: Catatan Bali Democracy Forum 2018

Rabu, 05 Desember 2018 - 07:23 WIB
Beragam dan Seragam: Catatan Bali Democracy Forum 2018
Beragam dan Seragam: Catatan Bali Democracy Forum 2018
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

KARENA Indonesia melihat demokrasi sebagai bagian dari identitas diri, maka menyebarluaskan nilai-nilai dan praktik demokrasi adalah bagian dari cara Indonesia menjaga tatanan dunia yang ramah bagi alam pikir insan-insan yang demokratis. Itulah secara singkat niat dari dilangsungkannya acara tahunan Bali Democracy Forum (BDF) yang tahun ini memasuki tahun ke-11.

Tahun 2017 dan 2018 tergolong istimewa sekaligus juga menantang. Istimewa karena dalam dua tahun Indonesia berhasil membuka dua cabang BDF, satu untuk Afrika di Tunisia dan satu untuk Eropa di Berlin, Jerman.

Dua cabang ini dibentuk karena ketertarikan negara-negara di Afrika dan Eropa pada dialog seputar tantangan demokrasi masa kini yang ternyata meningkat, tetapi jenis penanganan masalah tidak bisa seragam karena tiap benua punya sejarah masalah yang berbeda-beda.

Dengan Eropa misalnya, di mana saya ikut terlibat membuka dialog di sana, kesepakatannya adalah mengulas tantangan migrasi masa kini dan bagaimana nilai-nilai demokrasi dapat mengedepankan kemanusiaan dan HAM meskipun biaya politik dan sosial tak bisa sepenuhnya diprediksi. Dengan Afrika yang mengemuka adalah isu tata kelola pemerintahan yang adil.

Reaksi dari negara-negara lain secara umum positif, tetapi yang menarik adalah respons yang saya terima dari sejumlah diplomat negara-negara ASEAN. “Wah, Indonesia terus mengekspor demokrasi ya?” Komentar ini menarik karena di satu sisi terdengar memuji, tetapi bagi yang memantau pergerakan diplomasi di dalam ASEAN akan dapat mendengar sisi lain dari reaksi tersebut yakni pertanyaan “Mengapa kau lakukan itu?”

ASEAN adalah contoh ekosistem yang menarik untuk dicermati BDF. Negara-negara anggota ASEAN secara fisik berbagi perbatasan, berbagi toleransi untuk penyelesaian berbagai masalah harian mulai dari perlindungan pekerja migran dan kerja sama ekonomi dan investasi.

Seperti yang dihadapi Indonesia dengan Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura, kejahatan pencurian ikan, penyelundupan satwa liar, dan isu perbatasan dengan Thailand, hingga masalah investasi produk infrastruktur. Tak hanya itu, juga ada isu perumahan, turisme, dan ekspor obat dengan Kamboja, masalah perbatasan, konektivitas antarpulau, kerja sama ekonomi dengan Filipina, serta upaya kerja sama ekonomi sosial budaya dengan Myanmar, Laos, dan Vietnam.

Secara teoretis negara-negara ini seharusnya konsisten dengan kesepakatan bahwa demokrasi dan nilai-nilai hak asasi manusia adalah bagian dari identitas mereka sebagaimana termaktub dalam Piagam ASEAN.

Kenyataan di lapangan ternyata belum berbanding lurus dengan komitmen kepala negara. Di level kerja sehari-hari antarwakil negara di Komisi HAM ASEAN (AICHR, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights) saja dapat dilihat betapa seringnya kata demokrasi dipinggirkan.

Mereka mengucap demokrasi, tetapi alergi pada demokrasi. HAM kerap dicoba untuk diceraikan dari demokrasi, padahal keduanya sebenarnya kembar siam.
Ini cerminan dari perkembangan praktik sejumlah negara besar yang juga ingin menceraikan HAM dari demokrasi. Itulah sebabnya kita harus mengingatkan mereka di BDF.
Mereka mengira bahwa ada yang bisa disebut hak dasar, dan selama hak-hak itu dipenuhi oleh negara meskipun penguasanya tidak menjalankan demokrasi, maka mereka sudah menegakkan HAM. Padahal, esensi dari penegakan HAM adalah memberikan pemahaman; perlindungan HAM bagi siapa pun yang wujudnya manusia meskipun mereka dianggap menentang pemerintah dan menyuarakan ihwal yang seharusnya tidak disuarakan secara lantang.

Dialog dengan diplomat, penggiat HAM di Eropa pun, mencerminkan hal yang serupa. Mereka sulit sekali keluar dari cara berpikir bahwa HAM yang universal itu memang harus diuji saat jenis kelompok orang-orang yang tidak kita sukai pun membutuhkan perlindungan HAM.

Ketika negara-negara Uni Eropa mengampanyekan produk ramah HAM dengan alasan semua perusahaan harus bertanggung jawab pada produk yang dihasilkannya, maka mereka pun harus menunjukkan ramahnya mereka pada manusia-manusia non-Uni Eropa yang dipersekusi di negaranya dan tidak punya bekal cukup untuk berasimilasi mulus dengan penduduk Eropa.

HAM tidak bisa diceraikan dari demokrasi karena HAM otomatis membawa kita pada pertanyaan tentang siapa penentu keberagaman cara pikir, bagaimana suatu komunitas menerima pihak lain yang berbeda pandangan, bagaimana suatu pemerintahan dapat secara konstruktif mengolah perkembangan benturan sosial antarmasyarakat dengan cara-cara dialog dan melakukan pemilu.

Bagi negara-negara yang keberagamannya tinggi dan jumlah penduduknya cukup besar misalnya Indonesia, Myanmar, Filipina, atau yang basis tata kelola pemerintahannya adalah mengelola keberagaman antar ras secara berimbang seperti di Malaysia, maka kata demokrasi menjadi hal yang tak bisa diceraikan dari HAM. Suka tidak suka negara-negara ini sebenarnya harus sering berbagi pengalaman tentang penanganan keragaman cara pandang dalam menyelesaikan masalah bangsa. Forum yang tepat adalah di ASEAN.

Ironisnya, upaya berbagi pengalaman ini dianggap ancaman bagi negara-negara yang tidak merasa keberagaman adalah sesuatu yang perlu diangkat sebagai keunggulan. Terkait isu Rohingnya misalnya, meskipun dunia sudah menyorot tajam ke ASEAN, hanya dua negara yang tekun menyuarakan bahwa ini masalah yang juga perlu menjadi perhatian ASEAN: Indonesia dan Malaysia.

Ketika akhirnya para pemimpin ASEAN sepakat untuk turun tangan bersama-sama, yang berhasil diangkat sebagai konsensus barulah dimensi bantuan kemanusiaan (humanitarian). Segala upaya mengangkat dari dimensi HAM masih ditepis terus.

Akibatnya jelas, Myanmar yang masih miskin ilmu tentang penanganan keberagaman antarkelompok, termasuk antara kalangan sipil dan militer, tidak bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain di kawasan.

Dalam rapat AICHR yang sifatnya tercatat, ada negara-negara yang tegas menolak Myanmar bicara apa pun merespons permintaan Indonesia dalam forum AICHR dengan alasan bahwa mereka tidak mau mendengar sehingga negara lain tidak boleh menggunakan forum AICHR untuk berdialog dengan Myanmar. Sungguh malang Myanmar karena awalnya Myanmar khususnya kalangan sipil sebenarnya cukup mau berdialog. Mereka juga mencari formulasi kebijakan.

Kesimpulannya, sejumlah negara di ASEAN mengusung prinsip keseragaman. Semakin seragam, semakin mudah diatur. Padahal, mereka perlu tahu bahwa manusia pada dasarnya tidak mungkin seragam. Meskipun negaranya sedikit jumlah penduduknya, mereka tidak mungkin bisa seragam dalam segala sesuatu atau dalam waktu yang panjang.

Pengalaman berbagi tentang cara mengolah keberagaman inilah yang menjadi esensi BDF. Inilah esensi BDF yang perlu disuarakan lebih lantang saat ini. Mustahil pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bisa terwujud tanpa perhatian pada cara mengelola keberagaman manusia yang menyokong ekonomi tersebut.

Democracy Disfigured and the Prospect for Prosperity (Demokrasi yang Rusak; Prospeknya bagi Kesejahteraan) adalah tema BDF 2018. Tema yang tepat waktu mengingat bahwa demokrasi menjadi kerap direduksi oleh banyak kalangan, termasuk negara-negara besar, sebagai alat semata untuk mencapai kesejahteraan. Padahal, kesejahteraan yang sejati selalu mencari harmoni antarkeberagaman dan keberagaman tidak bisa dipaksa untuk seragam.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4424 seconds (0.1#10.140)