Penegak Hukum Perlu Asah Integritas dan Profesionalisme

Rabu, 14 November 2018 - 07:04 WIB
Penegak Hukum Perlu Asah Integritas dan Profesionalisme
Penegak Hukum Perlu Asah Integritas dan Profesionalisme
A A A
Eman SuparmanMantan Ketua Komisi Yudisial, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Universitas Komputer Indonesia

INTEGRITAS penegak hukum termasuk polisi, jaksa, dan hakim ditentukan oleh dua aspek: profesionalisme dan moral. Tak cukup hanya memiliki integritas profesional apabila penegak hukum tak bermoral; begitu pun sebaliknya. Yang paling ideal adalah penegak hukum yang memiliki integritas profesional dan sekaligus juga memiliki integritas moral. Tapi, banyak penegak hukum belum memiliki integritas yang ideal seperti itu.Pertanyaannya, apa yang menyebabkan sehingga para penegak hukum juga sering melanggar hukum? Pertanyaan seperti ini sering kita dengar. Tapi, sebetulnya ada sebuah ungkapan dari ahli hukum Amerika yang mengatakan: Berikan kepada kami hakim, jaksa, pengacara, dan polisi yang baik; dengan perangkat hukum yang buruk pun, putusannya diharapkan akan bisa baik dan adil. Tapi, meskipun hukumnya baik, kalau mereka yang menjalankannya itu tidak baik, itu yang celaka.Sebenarnya negara sudah menyediakan perangkat yang cukup. Kendati demikian, integritas manusianya itulah yang memang harus diperbaiki. Karena itulah, mengapa kemudian negara mengupayakan membuat lembaga-lembaga atau badan-badan yang memelihara integritas itu seperti Komisi Yudisial. Saya katakan “memelihara” karena apa? Pada dasarnya mereka memiliki integritas, tapi integritasnya itu sering sekali tergoda oleh berbagai macam godaan.Jadi, sebenarnya yang harus dikawal terus adalah integritas orang di dalam mengerjakan tugasnya masing-masing. Kita tahu bersama di kalangan advokat juga ada kode etik advokat yang dikawal oleh majelis kode etiknya. Di Polri juga ada, di kejaksaan juga ada. Hakim juga ada lembaganya yang mengawal kode etik mereka.Sebetulnya apabila integritasnya ada, hukum yang buruk pun bisa menghadirkan kebenaran dan keadilan. Jadi, sampai segitunya orang membuat ungkapan, karena apa? Karena, pada dasarnya kata kuncinya adalah integritas individu.Kalau integritas individu sudah bergabung setiap individu memiliki integritas inshaAllah ini semua akan baik. Integritas itu ada dua: integritas moral dan integritas keilmuan. Kalau seorang penegak hukum itu ilmunya baik, moralnya baik, sempurnalah tindakan dia. Celakanya, kalau integritas moralnya baik, tapi kurang ilmunya, juga tidak sempurna. Ilmunya ada, tapi tidak berintegritas, malah lebih parah itu, lebih rusak dia.Dalam kondisi di mana seorang penegak hukum tidak memiliki integritas keilmuan dan integritas moral, tindakannya cenderung mencelakakan orang lain, padahal sebetulnya penegakan hukum itu tidak dimaksudkan untuk mencelakakan orang, melainkan menegakkan aturan dan sekaligus mendidik masyarakat untuk berbudaya sadar dan taat hukum.Karena integritas itu harus lengkap, integritas ilmu dan integritas moral. Ketika saya masih di Komisi Yudisial untuk mengawal mereka, saya selalu berpesan kepada para hakim: Hendaklah bapak, ibu, para hakim itu sekolah lagi untuk menambah integritas keilmuan.Karena kalau hakim memutus tanpa ilmu dan moral yang baik, keputusannya cenderung tidak menghadirkan kebenaran dan keadilan. Di situ dia bisa memindahkan kekayaan orang kepada yang tidak berhak, bisa mencabut nyawa orang hanya karena putusan hakim, bisa menzalimi orang, memasukan ke dalam penjara, padahal orang itu belum tentu bersalah.Atas dasar pemahaman seperti ini, saya ingin menyoroti putusan yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim Tipikor kepada mantan Ketua DPD RI Irman Gusman. Putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap dan terhadap putusan tersebut tidak dilakukan upaya banding, baik oleh jaksa maupun terpidana.Tapi, pada 10 September 2018 di Yogyakarta berkumpul sejumlah profesor dan doktor ahli hukum dan sosiologi yang melakukan eksaminasi terhadap putusan tersebut dari sudut pandang ilmiah yaitu dalam bentuk focus group discussion untuk menelaah kembali aspek kepantasan penghukuman tersebut.Dari diskusi yang berkembang di sana dapat saya simpulkan bahwa ada yang tidak pas atau tidak pantas dalam putusan yang dijatuhkan tersebut, mulai dari terjadinya penangkapan terhadap Irman Gusman sampai proses praperadilan yang digugurkan di tengah jalan hingga tahap akhir di mana terdakwa dihukum empat tahun enam bulan ditambah hukuman pencabutan hak politiknya selama tiga tahun terhitung sejak ia menyelesaikan masa pidana pokoknya.Ada yang bertanya kepada saya, apakah hukuman yang dijatuhkan kepada Saudara Irman Gusman itu sudah cukup adil dan seimbang? Irman dihukum seperti itu dalam sebuah kasus yang kontroversial dan mengandung banyak pertanyaan.Sebab titik start dari kasus ini sebetulnya bukanlah yang dikatakan sebagai kasus suap itu, tetapi ada sebuah peristiwa penting yang mendahuluinya, yaitu ketika mantan ketua DPD RI itu, sebagai senator Sumatera Barat, berupaya menghubungkan kenalannya bernama Memi, seorang saudagar penyalur gula di provinsi tersebut, dengan Kepala Bulog ketika itu Saudara Djarot Kusumayakti.Tujuannya adalah menjawab keluhan masyarakat di sana tentang kelangkaan gula yang menyebabkan harga gula melambung tinggi. Bulog akhirnya menyalurkan gula ke sana melalui penyalur tersebut karena tak ada perusahaan lain di sana yang cukup mampu sebagai mitra Bulog. Ini adalah peristiwa awal dari kasus dimaksud.Peristiwa ikutannya adalah penyalur tersebut mendatangi kediaman Irman Gusman dan memberinya oleh-oleh berupa uang Rp100 juta yang tidak diketahui dan bahkan tidak diharapkan sebelumnya oleh Irman Gusman. Tapi, Irman Gusman kemudian ditangkap dengan tuduhan menerima suap setelah telepon genggamnya disadap selama berbulan-bulan.Jadi, ada dua peristiwa yang terjadi, tetapi peristiwa pertama itu tidak diperhatikan oleh penegak hukum; hanya peristiwa kedua itulah yang dijadikan dasar untuk menangkap dan menghukum Irman Gusman.Menurut saya, ini sangat tidak adil. Kenapa urusan Rp100 juta yang bukan uang negara itu kok ditangani KPK? Sementara tagarnya KPK itu "mengembalikan aset negara." Lha, aset negara yang mana? Cuma seratus juta. Bukan uang negara pula.Dana negara yang dipakai menangani Irman Gusman itu pasti jauh lebih besar dari uang Rp100 juta itu. Saya yakin seyakin-yakinnya, biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk para penyidik KPK sampai proses persidangan dan diperolehnya putusan yang inkrach dari Pengadilan Tipikor itu lebih dari Rp100 juta.Persoalannya, kalau betul Irman mendapatkan pemberian dari seseorang, itu bukanlah uang negara dan tidak merugikan negara kalau mau dipersempit bahwa korupsi itu merugikan negara. Tapi, karena definisi korupsi juga memperkaya diri dan orang lain, ya persoalannya menjadi lain juga.Tapi, kalau pertanyaannya apakah ini adil atau tidak, ya tidak adil. Nyatanya juga dalam penanganan Irman itu para penegak hukum itu tidak berhasil. Hanya dengan Rp100 juta malah menghabiskan uang negara lebih dari Rp100 juta. Saya yakin itu.Jadi, bagaimana di sini, pekerjaan kok lebih besar modal daripada untung? Kalau bisnis kan seharusnya lebih sedikit modal [tapi] dapat banyak untung. Labanya lebih banyak. Yang ini labanya tak ada. Yang ditangani Rp100 juta, dia habiskan misalnya Rp400 juta. Jadi, negara dirugikan Rp300 juta.Sebetulnya, kelemahan KPK dari sudut pandang saya adalah KPK itu terlalu over-confident, padahal dia bekerja itu tergantung pada subjek-subjek dari lembaga lain. Over-confident itu karena dia merasa bahwa dia lembaga yang digdaya, padahal dia sebetulnya punya penyidik dari Polri, punya penuntut dari kejaksaan. Lha kalau kepolisiannya seperti dulu, mutung, tidak mau kasih penyidik, kan nyatanya KPK juga tidak bisa bekerja.Jadi, KPK itu semestinya tidak terlalu over-confident dengan segala perangkat yang dimiliki karena pada dasarnya dia masih bergantung pada perangkat profesionalisme dari tempat lain; agar lembaga tempat asal mereka tidak menjadi jealous: "Itu kan anak buah kami, perangkat-perangkat, subjek-subjek dari kami; kenapa setelah itu KPK-nya yang merasa paling hebat?" Kelemahan KPK sebetulnya di situ.Artinya, ada persoalan gengsi kewenangan antarlembaga di situ. Padahal, KPK bisa seperti itu karena dukungan dana juga. Kata para penyidik di Mabes Polri dan para JPU di Kejaksaan Agung, "Lha, kalau kami di Kejaksaan Agung dan di Mabes Polri dikasih duit sebesar yang dikasih ke KPK, kami juga bisa kok bekerja lebih profesional. Persoalannya, kami ini kan tidak cukup dana. Bagaimanapun tuntutan profesionalisme tidak bisa ditujukan kepada kami karena kami tidak memiliki dana yang cukup seperti di KPK". Di situlah persoalannya.Agar supaya cara KPK bekerja itu benar-benar adil dan tidak menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, saya mempunyai dua usul sebagai berikut: Pertama, KPK tidak boleh tebang-pilih. Kedua, KPK tidak boleh merasa "kami berhasil karena operasi tangkap tangan (OTT)". KPK itu harus mengedepankan proses pencegahan. Selama ini KPK tidak gencar melakukan pencegahannya. KPK seakan-akan mengedap-ngedap, mengintip orang, siapa yang bersalah, tangkap!Itu tidak benar, menurut saya, karena kalau keberhasilan diukur karena dia melakukan OTT, orang bisa memfitnah. Nyatanya sudah terjadi orang kena fitnah: Hakim di Medan ditangkap KPK melalui OTT, ternyata tidak cukup bukti dan dilepaskan kembali. Apakah itu tidak menyebabkan orang dipermalukan?Saya juga sering ditanya, "Apakah KPK dinilai berhasil kalau jumlah buruan dan tangkapannya semakin banyak ataukah semakin sedikit?" Sebenarnya menurut saya, semakin sedikit yang ditangkap KPK, maka KPK berhasil karena proses yang dikedepankan adalah proses pencegahan. Bukan proses mempermalukan orang!Kalau KPK ingin memanusiakan manusia, ingin lebih berpihak kepada human being, kepada kehidupan manusia yang bermartabat, KPK seharusnya mencegah terjadi penyalahgunaan wewenang, mencegah terjadi korupsi. Jadi, upaya pencegahan harus dikedepankan.Saya menilai bahwa terlalu banyak yang harus dibenahi, semuanya harus dibenahi: orangnya, sistemnya, semua harus diperbaiki. Karena, sistem diperbaiki, tapi kalau orangnya tidak diperbaiki juga, tidak bisa. Orangnya diperbaiki, tapi kalau sistemnya tetap, sama saja. Jadi, secara komprehensif harus semua dibenahi, baik orang maupun sistem.Untuk memperbaiki kondisi penegakan hukum yang karut-marut ini, maka pesan saya kepada semua penegak hukum adalah: Jagalah integritas keilmuan dan moral; jangan gadaikan integritas keilmuan dan moral Anda hanya karena kepentingan sesaat yang belum tentu besar; karena di akhirat lebih berat hukuman Anda karena putusan Anda itu diawali dengan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".Sandaran vertikal Anda kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Kalau Anda mengkhianati itu, Anda ditunggu oleh hukuman Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang lebih berbahaya itu.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8957 seconds (0.1#10.140)