Defisit Moral Pejabat Publik

Rabu, 07 November 2018 - 08:30 WIB
Defisit Moral Pejabat Publik
Defisit Moral Pejabat Publik
A A A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

PENETAPAN Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan dana alokasi khusus (DAK) Kebumen sungguh ironis. Hal itu karena sebagai pejabat publik, dia sejatinya dapat hidup lebih dari cukup. Dia telah menerima begitu banyak fasilitas negara. Dia juga memperoleh kehormatan layaknya pejabat tinggi negara.
Tetapi, begitulah nasib manusia yang tidak pernah puas dengan pemberian fasilitas negara. Meski fasilitas negara berlimpah, dia masih tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power).

Jika mengikuti pemberitaan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, Taufik Kurniawan jelas bukan satu-satunya. Dia telah menambah panjang daftar pejabat publik yang terjerat kasus korupsi dengan segala ekspresinya. Kasus yang menimpa Taufik Kurniawan dan pejabat publik lain menunjukkan bahwa negeri tercinta sedang mengalami defisit moral. Pada konteks inilah pejabat publik harus menjalankan amanat dengan berlandaskan nilai-nilai moral keagamaan.

Komitmen pada nilai-nilai moral penting karena sudah tidak terhitung berapa banyak pejabat publik negeri ini yang terjerat kasus korupsi. Sebagian dari mereka bahkan masih mempertahankan posisinya dengan alasan menunggu putusan tetap pengadilan. Mereka juga seakan tidak menunjukkan penyesalan. Saat digelandang memasuki mobil tahanan, mereka bahkan masih melambaikan tangan seraya tersenyum. Padahal, tindakan korupsi yang dilakukan mereka merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa.

Defisit akhlak kepemimpinan juga tampak melalui kebiasaan pejabat publik mengumbar kemewahan dan kekayaan. Pola hidup mewah dapat diamati dari kepemilikan rumah, kendaraan, pakaian, dan pola hidup hedonis lainnya. Perilaku koruptif dan hidup mewah jelas menunjukkan bahwa mereka tidak berempati pada penderitaan rakyat. Padahal, pada saat berkampanye, para elite politik selalu mengumbar janji untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Faktanya tatkala kekuasaan sukses diraih, janji politik diabaikan begitu saja.

Dalam suasana kepemimpinan publik yang sedang mengalami defisit moral itulah, kita penting meneladani Nabi Muhammad. Dalam buku Hayatu Muhammad (2016), Husain Haekal menunjukkan salah satu kisah mengenai kemuliaan akhlak kepemimpinan Nabi Muhammad. Dikisahkan bahwa pada bulan Ramadan tahun kedua Hijriah, Nabi Muhammad memimpin pasukan Perang Badar. Pasukan Nabi berkekuatan 305 orang dengan 70 kendaraan unta. Dengan sarana transportasi yang terbatas, Nabi dan pasukannya bergerak meninggalkan Madinah menuju Badar. Jarak perjalanan antara Madinah dan Badar diperkirakan 150 kilometer.

Mengingat begitu sulitnya medan dan terbatasnya sarana transportasi, setiap ekor unta dinaiki tiga atau empat orang. Nabi pun mendapat bagian yang sama dengan sahabat lain. Selama dalam perjalanan, para sahabat beberapa kali menawari Nabi dengan kendaraan khusus satu ekor unta. Tetapi, tawaran itu ditolak Nabi dengan alasan bahwa pada masa sulit yang dibutuhkan adalah kebersamaan. Inilah teladan dari akhlak kepemimpinan Nabi yang menunjukkan satunya kata dengan perbuatan.

Nabi menunjukkan bahwa tidak sepantasnya pemimpin meminta fasilitas saat rakyat sedang mengalami kesulitan. Semua itu dilakukan Nabi dengan tulus untuk membangun kebersamaan. Bandingkan dengan budaya di negeri ini saat terjadi pergantian kepemimpinan. Mereka berebut untuk meminta fasilitas serbabaru, termasuk mobil dinas yang mewah. Padahal, mobil dinas lama masih layak pakai. Perilaku ini jelas tidak menunjukkan sikap berempati pada rakyat.

Dalam peristiwa Perang Badar juga diungkapkan betapa penting dukungan rakyat pada pemimpin yang mau berjuang untuk kepentingan bangsa. Dikisahkan bahwa tatkala pasukan muslim telah berhadapan dengan pasukan Quraisy yang berkekuatan hampir 1000 orang dengan fasilitas senjata dan transportasi unta yang berlimpah, Nabi sempat meminta pendapat sahabat. Nabi berseru dengan suara bergetar: “Wahai para sahabat, berikanlah padaku saran dan pertimbangan. Apakah kita terus maju melawan pasukan Quraisy atau sebaliknya?”

Seorang sahabat dari golongan Muhajirin bernama Miqdad bin Amr maju seraya berkata: “Rasulullah, teruskan apa yang diperintahkan Allah SWT. Kami akan tetap berjuang bersama tuan. Kami tidak akan bersikap seperti Bani Israil pada Nabi Musa yang mengatakan; Pergilah kamu sendiri bersama Tuhanmu dan berperanglah.” Komitmen serupa juga ditegaskan Sa’ad bin Mu’adz dari golongan Anshar. Dukungan sahabat terhadap Nabi penting menjadi teladan bagi rakyat.

Kisah tersebut memberikan pelajaran bahwa semua elemen bangsa harus memberikan dukungan pada pemimpinnya sepanjang berjuang untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya, rakyat harus mengingatkan pemimpin yang hanya berjuang untuk kepentingan keluarga, kelompok, dan partai pendukungnya. Pesan ini penting karena tatkala seseorang terpilih menjadi pemimpin, sejatinya dia merupakan milik semua warga. Dengan demikian, dia harus menjadi pelayan rakyat tanpa melihat perbedaan agama, ideologi, etnis, dan partai.

Bermodalkan dukungan yang kuat dari para sahabat, Nabi memimpin Perang Badar dengan penuh optimistis. Untuk menguatkan keyakinan dalam berjuang, sejenak Nabi menghadapkan wajah ke kiblat seraya bermohon pada Allah agar diberi pertolongan. Setelah merasa yakin doanya terkabul, Nabi dan para sahabat maju ke medan laga dengan semangat berlipat. Dengan perjuangan dan bantuan Allah, pasukan Nabi berhasil menaklukkan pasukan Quraisy (QS. al-Anfal: 9).

Peristiwa Perang Badar juga memberikan pelajaran bahwa untuk mengatasi problem yang dihadapi bangsa, pejabat publik negeri ini harus menjaga kedekatan dengan Tuhan. Kedekatan pada Tuhan penting karena dapat memberikan keyakinan dan energi positif untuk keluar dari berbagai persoalan. Bukankah kita sedang menghadapi berbagai persoalan sosial, politik, dan ekonomi? Kita juga menghadapi rentetan bencana alam dan bencana kemanusiaan.

Jika tidak sukses mengatasi berbagai problem, maka bangsa ini akan menjadi negara gagal (failed state). Apalagi jika perilaku pejabat publiknya jauh dari nilai-nilai moral keagamaan. Akhirnya, semoga para pemimpin negeri tercinta dan mereka yang sedang runningmenjadi pejabat publik dalam Pemilu 2019 benar-benar berintegritas. Syaratnya, sebagai pejabat publik harus pandai merawat kata. Menjaga satunya kata dengan perbuatan.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5751 seconds (0.1#10.140)