Populisme Islam, Jalan Menuju Istana

Sabtu, 03 November 2018 - 05:24 WIB
Populisme Islam, Jalan Menuju Istana
Populisme Islam, Jalan Menuju Istana
A A A
Pangi Syarwi Chaniago

Analisis Politik, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting

POPULISME Islam men­­jadi perbin­cang­an di tengah menguatnya fenomena gerakan politik Islam di berbagai negara, ter­masuk Indonesia. Populisme Islam pada dasarnya adalah varian dari “populisme politik” yang berkembang pesat di negara-negara Eropa dan Amerika dan telah merambah Asia. Gerakan ini menemukan momentum­nya dengan ter­pilihnya Donald Trump se­bagai presiden Ame­rika Serikat dan kejadian Brexit di Inggris.

Gerakan politik populis pada dasarnya adalah per­lawan­an terhadap kemapanan sebagai akibat dari eksklusi sosial dan marginalisasi yang menimpa sebagian kelompok dan kelas sosial tertentu yang berujung pada ketidakadilan dan ketimpangan sosial (Hadiz, 2016).

Ketidakadilan dan ketim­pangan sosial ini adalah pemicu utama munculnya konflik dan gerakan politik yang mem­bentuk aliansi antar­kelas/ kelompok (cross-class alliance) untuk menentang musuh, baik secara ideologi maupun politik.

Populisme Islam pada dasar­nya hanyalah bentuk res­pons terhadap perkembangan ekonomi dan politik yang terus berubah dan cenderung me­rugi­kan atau bahkan meng­eksklusi sebagian kelompok. Para aktor yang terlibat cende­rung diikat oleh persamaan rasa ketertindasan dan ke­tidak­adilan sistem atau rezim yang berkuasa.

Populisme Islam meng­orga­nisasi diri dalam bentuk aliansi antarkelompok di ba­wah panji-panji Islam sebagai alat pemersatu paling efektif. Dalam konteks Indonesia, populisme Islam menemukan momentumnya pada gelaran Pilkada Jakarta 2017 lalu. Beragam kelompok dan ormas Islam berhasil menyatukan diri dalam sebuah gerakan yang pada mulanya menuntut ke­adilan (penegakan hukum) atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Seiring perjalanan waktu gerakan yang menamakan diri Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama ini terus aktif menyuarakan ke­tidak­adil­an, ketimpangan dan kezalim­an rezim berkuasa sehingga gerak­an ini terus mereproduksi isu yang dapat mempersatukan dan men­delegitimasi rezim de­ngan menggambarkan kegagal­an, ketidakadilan di sisi yang lain. Maka tidak diragukan lagi se­bagian aktor dari gerakan ini juga gencar menyuarakan rege­nerasi pimpinan nasional me­lalui tagar #2019GantiPresiden.

Populisme Islam yang telah menjelma menjadi salah satu kekuatan politik juga ikut me­mainkan peranan yang cukup strategis dalam rangka meng­galang kekuatan untuk men­dukung atau tidak ter­hadap poros koalisi yang sudah ter­bentuk, Ijtima Ulama GNPF 212 adalah bentuk aksi nyata dari gerakan ini dengan me­ngeluar­kan paket nama pasang­an calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres).

Rekomendasi yang dike­lua­r­­kan oleh gerakan ini menjadi pertimbangan penting yang dijadikan daya tawar (bargaining position) dan lobi politik di tengah semakin dinamisnya pergerakan dan peta politik di kedua poros koalisi yang telah terbentuk.

Rekomendasi dari ulama yang tergabung dalam GNPF ini adalah bentuk dukungan pada poros Prabowo Subianto agar rekomendasi ini diper­tim­bangkan jika ingin menda­pat­kan dukungan penuh dari gerakan ini.

Namun sepertinya gerakan populisme Islam ini akan me­lalui jalan terjal yang berliku dan bisa saja kehilangan mo­men­tum. Aliansi yang telah berhasil melahirkan gerakan fenomenal dengan sebutan gerak­an 212 ini mulai digem­bosi dan mulai muncul bibit-bibit perpecahan.

Agenda #2019GantiPresiden akan menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk diwujudkan pada pemilu nanti. Ada beberapa pertimbangan yang mendasari argumentasi ini. Pertama, fragmentasi gerak­an. Terpecahnya gerakan 212 ke dalam tiga organisasi terpisah (Presidium 212, Persaudaraan 212, dan Garda 212) akan me­nurunkan tensi dan daya tekan gerakan yang berujung pada menurunnya efektivitas dalam mobilisasi dukungan.

Kedua, kegagalan men­defi­nisikan musuh utama. Gerak­an 212 sebagai salah-satu repre­sen­tasi dari populisme Islam Indonesia secara elitis akan mudah menerima posisi yang berseberangan dengan peme­rin­tah saat ini, tetapi pada basis akar rumput pemilih akan gagal mendefinisikan dan menerima simpulan yang sama. Hal itu disebabkan oleh upaya serius yang dilakukan poros Joko Widodo (Jokowi) untuk merangkul kalangan Islam dengan pendekatan intensif kepada para ulama, santri, cendekiawan muslim, dan ormas Islam.

Jokowi ingin mengambil posisi tidak berseberangan de­ngan kekuatan Islam sehingga perlahan tapi pasti Jokowi ber­hasil memperluas basis du­kung­annya yang tidak hanya dari kalangan ceruk segmen­tasi nasionalis.

Ketiga, kombinasi nasionalis-religius. Kombinasi nasionalis-religius adalah pilihan paling ideal untuk meredam kete­gang­­­an po­litik dan berkem­bang­nya politik SARA dan pecah-belah. Kubu Jokowi membuat keputusan stra­tegis dengan mengambil ula­ma sebagai calon wakil presi­den­nya sebagai bentuk respons serta menjawab isu SARA, men­ghapus stem­pel yang me­ngesankan mereka anti-Islam.

Jokowi menunjukkan ke­berpihakan nyata ke­pada umat Islam, bahkan calon wakil presiden pilih­annya adalah ulama besar yang memegang posisi strategis sebagai rais aam NU dan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (se­belum mengun­dur­kan diri).

Di sisi lain kubu Prabowo justru memilih Sandiaga Uno rekan separtainya yang jauh dari representasi gerakan po­pulisme Islam. Bahkan pe­milih­an Sandiaga Uno menun­juk­kan kesan Partai Gerindra seolah tidak mau berbagi dan memborong semua jabatan strategis mulai dari capres-cawapres hingga ketua tim pemenangan.

Situasi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi kubu oposisi, yaitu akan sulit mem­bangun soliditas koalisi, bahkan yang terpenting adalah sulit membangun argumentasi un­tuk para pendukungnya, ter­utama kelompok Islam, yang rekomendasinya tidak menjadi pertimbangan dalam penentu­an calon wakil presiden.

Keempat, kebijakan pro-Islam. Pemerintahan Jokowi sadar bahwa ada kelompok yang terus berupaya untuk mem­beri­kan label dan stigma negatif ter­hadap diri dan pemerin­tahan­nya. Stigma ini terus dibangun seolah-olah pe­merintahan yang dipimpinnya tidak berpihak kepada umat Islam. Namun sepertinya kelom­pok pembuat stigma ini harus berpikir ulang karena semua tuduhan ini terbantahkan de­ngan kerja nyata dari peme­rin­tah. Hal ini bisa dibuktikan de­ngan berbagai data dan fakta yang menunjukkan hal yang sebaliknya.

Banyak hal yang telah dan akan dilakukan pemerintah yang mungkin oleh sebagian orang belum tahu. Di antaranya adalah program 1.000 balai kerja pesantren dan pem­bangun­an ekonomi pesantren, penetapan Hari Santri Nasional, kunjung­an rutin ke 60 pesantren selam 3 tahun (termasuk ritme inten­sitas kunjungan yang tinggi), komite nasional keuangan syariah, pendirian universitas Islam internasional yang sudah dimulai pembangunannya, lem­­baga keuangan mikro sya­riah, peresmian beberapa pe­santren baru dan bahkan baru-baru ini Presiden Jokowi dino­batkan sebagai Top 50 tokoh muslim berpengaruh di dunia dengan menduduki pering­kat ke-16.

Membaca dinamika dan peta politik terkini, sangatlah tidak tepat jika sentimen ke­agamaan terus dimainkan dan digoreng menjadi komoditas politik, apalagi digunakan un­tuk mendiskreditkan kelom­pok lain, terutama pemerin­tah. Argumen politik semacam ini sudah tidak relevan untuk menyerang pemerintah jika berkaca pada apa yang sudah dilakukan pemerintahan Jokowi dalam empat tahun terakhir.

Keberpihakan dan per­hati­an Jokowi terhadap Islam, ulama, pesantren, dan kiai sudah hampir tak ada jarak dan terkesan sangat dekat dengan umat.Adu gagasan dan program harus menjadi roh dari per­de­batan politik ke depan, bukan hanya mengedepankan perde­bat­an yang tidak produktif se­hingga masyarakat sebagai pe­milih rasional diberi sajian pilihan-pilihan politik tanpa harus melukai dan mendis­kre­ditkan pilihan politik kelom­pok lainnya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9191 seconds (0.1#10.140)