Betapa Sulit Mencegah dan Memberantas Korupsi di Indonesia

Selasa, 16 Oktober 2018 - 04:18 WIB
Betapa Sulit Mencegah dan Memberantas Korupsi di Indonesia
Betapa Sulit Mencegah dan Memberantas Korupsi di Indonesia
A A A
ROMLI ATMASASMITA Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas

PENCEGAHAN korupsi sejak era reformasi hingga kini telah gagal. Terbukti angka korupsi khusus di kalangan penyelenggara negara lebih banyak dibandingkan dengan swasta. Akhir-akhir ini, korupsi berjamaah terjadi di badan legislatif Sumatera Utara, Jambi, dan Malang. Bahkan pada kasus korupsi e-KTP, terdapat fakta dan bukti keterlibatan anggota DPR RI (pusat). Tidak tanggung-tanggung, pengurus inti partai politik tertentu diduga terlibat.

Jika dirunut, angka kerugian negara karena kasus korupsi lebih signifikan pada era Reformasi ini dibandingkan dengan era Orde Baru. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut nilai kerugian negara yang timbul akibat kasus korupsi meningkat signifikan sejak 2016 ke 2017. Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah mengatakan, sepanjang 2017 terdapat 576 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp6,5 triliun dan suap Rp211 miliar. Total kerugian negara Rp6,711 triliun dalam satu tahun anggaran.

Jika kerugian negara tersebut berturut-turut terjadi dalam lima tahun anggaran itu lebih dari cukup untuk menambah angka kemiskinan, masalah kesehatan dan gizi buruk. Pemerataan pendidikan juga jadi terhambat bagi kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia. Keadaan dan masalah tersebut di atas tidak disadari oleh sekalipun kalangan intelektual. Penyebabnya antara lain karena seiring dengan masalah tersebut kita selalu disuguhi Inpres Pencegahan dan PemberantasanKorupsi oleh kepemimpinan nasional setiap tahun. Namun, itu tidak pernah efektif mencegah dan mengikis habisbirokrasi dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Bahkan, sebaliknya yang terjadi, bertentangan secara diametral dengan cita-cita awal reformasi yang bertujuan menyapu bersih KKN. Korupsi awalnya dalam bentuk suap-menyuap swasta dan penyelenggara negara, kini telah berubah total menjadi korupsi oligarki. Pelaku tanpa rasa malu dan tak peduli aib. Korupsi seolah menjadi “budaya bangsa” (a nation culture), “budaya kita” atau “corruption of us”.

Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 dan menyelesaikan perubahan undang- undang (UU) tindak pidana korupsi (Tipikor) yang diperkuat UU Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang, UU penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN, serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ternyata masih maju-mundur ketika arah panah tertuju kepada the powerfull, tapi maju pesat ketika berhadapan dengan the powerless.

Kini semakin jelas baik pencegahan maupun pemberantasan korupsi berjalan kurang efektif dan efisien. Hal ini terbukti dari fakta angka pengembalian uang negara baik dari kepolisian, kejaksaan, dan KPK tidak mencapai lebih dari 50% angka totalkerugian negara. Selain itu, dampak samping yang selama ini tidak diperkirakan sekalipun oleh lembaga penegak hukum khususnya kejaksaan sebagai pelaksana eksekusi dan hakim sebagai pengawas terpidana di lapas, adalah kepadatan penghuni lembaga yang telah mencapai lebih dari 100%. Akibatnya telah terjadi ekses negatif, yaitu munculnya kelas sosial barudi lapas: the rich and the poor yang tercipta sejak berbaurnya napi korupsi dan narkoba, sehingga terjadi efek negatif lanjutan saat lapas menjadi sarang narkoba dan “safe house” bagi napi yang bersangkutan.

Itu terjadi antara lain karena tidak sebandingnya antara jumlah narapidana dan pegawai lapas. Stagnasi moralitas dan integritas juga jadi penyebab suburnya korupsi yang terjadi mulai hulu sampai hilir. Tren saat ini sejak perencanaan anggaran proyek pembangunan telah diintervensi oleh “sistem ijon” yang melibatkan pihak swasta dengan birokrasi penyelenggara negara dan didukung oleh oknum elite parpol di badan anggaran DPR RI.

Pertanyaan mendasar, bagaimana solusi dari keadaan dan masalah tersebut senyatanya jika aparatur birokrasi dan aparatur hukum sampai kepada pegawai lapas telah terkontaminasi oleh virus korupsi. Bicara soal public trust dan etika dan moral tanpa panutan dari penyelenggara negara, jelas ini melawan “akal sehat” karena kenyataan sebaliknya seakan dihadapkan kepada situasi “hopeless but not desperate”.

Merujuk janji-janji kampanye, pada setiap pemilu kita selalu disuguhkan janji kosong semata. Itu hanya dijadikan bujuk rayu oleh parpol baik dari pihakpetahana ataupun oposisi yang tujuannya adalah agar pemilih tergiur. Apa yang terjadi kemudian di luar perkiraan masyarakat, yakni janji kampanye tersebutdihadapi dengan pil pahit, wani piro. Soal visi dan misi calon anggota legislatif (caleg) telah diabaikan sama sekali. Tidak disadari bahwa akibat perilaku pemilih tersebut telah melahirkan generasi penerus korup yang terbukti telah melilit beberapa anggota badan legislatif di pusat dan daerah.

Pembaca akan sepaham dengan penulis bahwa kita semua telah memasuki “lingkaran tidak berujung” dan ketidakwaspadaan dapat membuat kita terlena ikut serta dalam stagnasi moralitas dan integritas yang telah mencapai titik nadir. Jika pemerintah lima tahun ke depan, yakni sejak 2019, bersungguh-sungguh memberantas korupsi maka ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan. Pertama, stop setiap campur tangan terhadap lembaga penegak hukum yang sedang melakukan tugas dan wewenangnya memberantas korupsi.

Kedua, hapuskan setiap ketentuan UU dan setiap putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menyisakan ruang toleransi terhadap sekecil apapun perbuatan tercela tanpa kecuali.

Ketiga, sikap politik pemerintah dan pemimpin nasional termasuk elite parpol harus siap mundur segera ketika diduga atau telah menjadi tersangka tanpa kecuali, sekalipun demi prinsip praduga tak bersalah. Soalnya ini terbukti telah dijadikan “safe house” untuk mencegah dan menghentikan langkah hukum baik oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK.

Sumpah jabatan dan pakta integritas hanya sebatas seremonial layaknya “tong kosong nyaring bunyinya”, layaknya seekor singa yang bergaung tapi tidak tampak tajam giginya alias gagal secara moral mencegah perbuatan tercela.

Keempat, jika elite parpol dan sistem birokrasi merupakan salah satu sumber masalah korupsi maka sistem pemilihan umum dan pilkada perlupenyederhanaan berkaitan jumlah parpol. Pasalnya, sistem demokrasi liberal terkait hak setiap orang untuk berpolitik tidak selamanya benar dan sudah terbukti tidak memberikan nilai tambah dalam sistem demokrasi Pancasila, bahkan telah mengakibatkan degradasi moralitas masyarakat pada umumnya.

Kelima, sistem penganggaran pemilu khusus bagi setiap parpol peserta pemilu seharusnya ditingkatkan seoptimalnya tanpa kecuali sehingga mencegah kesempatan untuk korupsi. Last but not least, lembaga kontrol sosial masyarakat antikorupsi harus dapat mencegah dan menolak dolar untuk berpihak kepada koruptor dan bakal calon koruptor.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4444 seconds (0.1#10.140)