Surplus NPI Berkat Kenaikan Pajak Impor?

Selasa, 16 Oktober 2018 - 04:08 WIB
Surplus NPI Berkat Kenaikan Pajak Impor?
Surplus NPI Berkat Kenaikan Pajak Impor?
A A A
Para pejabat tinggi yang membidangi perekonomian sedikit bernapas lega menyusul rilis Badan Pusat Statistik (BPS) seputar neraca perdagangan Indonesia (NPI), yang menunjukkan perkembangan kinerjapositif sepanjang periode September 2018. Berdasarkan publikasi BPS yang diterbitkan pertengahan Oktober ini tercatat NPI mengalami surplus sebesar USD227 juta pada bulan lalu. Angka surplus tersebut didasarkan pada nilai realisasi ekspor sebesar USD14,83 miliar dibanding realisasi nilai impor sebesar USD14,60 miliar. Kinerja NPI selama September 2018 yang menghasilkan surplus membuat Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani senang karena arah perkembangan perekonomian nasional sudah mulai membaik. Hal itu menunjukkan sektor ekspor nonmigas tetap dalam teritori positif meski mencatat penurunan dari bulan sebelumnya. Kinerja ekspor pada September 2018 terkikis sekitar 6,58% dibandingkan periode Agustus 2018. Sebaliknya, kinerja ekspor September 2018 dibandingkan periode yang sama tahun lalu naik sekitar 1,7%. Sementara kinerja impor pada September 2018 turun sekitar 13,18% dibandingkan periode Agustus 2018.

Adapun perkembangan NPI sepanjang tahun ini (Januari – September)tercatat mengalami surplus untuk sejumlah negara di antaranya India, Amerika Serikat (AS), dan Belanda. Rinciannya, realisasi perdagangan dengan India tercatat surplus sebesar USD6,4 miliar, menyusul perdagangan unggul terhadap AS dengan surplus sebesar USD6,3 miliar, dan Belanda surplus sekitar USD2,03 miliar. Sebaliknya, kinerja NPI masih defisit terutama kepada China sebesar USD13,9 miliar, lalu Thailand sekitar USD3,18 miliar, Australia USD2,11 miliar. Ketergantungan terhadap Negeri Tirai Bambu itu untuk sejumlah komoditas belum bisa diminimalkan.

Sementara itu, realisasi nilai ekspor pada September 2018 yang tercatat sebesar USD14,83 miliar ternyata turun sekitar 6,58% dibandingkan bulan lalu walau sejumlah komoditas ekspor nonmigas mencatat peningkatan. Berdasarkan data publikasi BPS terungkap ekspor komoditas nonmigas secara bulanan tergerus 6,58%, terutama pada komoditas mesin, perhiasan permata, pakaian jadi. Dan,komoditas migas turun sekitar 15,81%. Pola penurunan kinerja ekspor sudah terjadi sejak tiga tahun terakhir.

Bagaimana dengan realisasi impor? Masih berdasarkan publikasi BPS, nilai impor pada September 2018 tercatat sebesar USD14,60 miliar atau terjadi penurunan sekitar 13,18% dibandingkan periode bulan lalu. Dari rilis BPS terungkap impor untuk kategori baik migas maupun nonmigas mengalami penurunan masing-masing sekitar 25,2%dari sebesar USD3,05 miliar menjadi sebesar USD2,28 miliar dan 10,52% dari sebesar USD13,77 miliar menjadi sebesar USD12,30 miliar. Penyebab turunnya impor migas dipicu nilai minyak mentah turun sekitar 31,9% yang diikuti penurunan volume sebesar 30,01%.

Tercatat, produk impor nonmigas yang terkikis meliputi mesin, peralatan listrik, pesawat mekanik, perhiasan, hingga besi dan baja. Penurunan angka impor terbesar berasal dari China yang mencapai USD253,9 juta terutama untuk komoditas plastik dan mesin. Lalu, dari Negeri Matahari Terbit sebesar USD210,1 juta terdiri atas komoditas pesawat mekanik, besi dan baja, serta Australia sebesar USD169,2 juta antara lain komoditas gandum, binatang hidup, dan daging beku.

Sebaliknya, untuk golongan buah-buahan mencatatkan angka impor yang meningkat tinggi sebesar USD42,2 juta atau 66,46%, menyusul cokelat sekitar 50,58%, dan serealia jagung sebesar 15,31%. Adapun negara pemasok terbesar diduduki China dengan kontribusi sekitar 27,83%, disusul Jepang sekitar 11,4%, dan AS sebesar 5,87%.

Pemerintah mengklaim, sebagaimana diungkapkan Menkeu Sri Mulyani, penurunan nilai impor kali ini tidak terlepas dari penyesuaian atas pajak penghasilan (PPh) Pasal 2 atau Pajak Impor. Penyesuaian pajak impor dikenakan untuk sebanyak 1.147 barang impor. Memang kebijakan tersebut diterbitkan untuk mengatasi transaksi berjalan yang terus mengalami defisit dan sebagai upaya untuk menahan laju pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Benarkah penurunan nilai impor berkat penyesuaian pajak impor? Boleh jadi. Namun, ada juga pertanyaan kritis bahwa penurunan nilai impor merupakan sebuah indikator pertumbuhan ekonomi nasional sedang melambat? Tentu untuk mengetahui jawaban pasti tinggal menunggu laporan pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun nanti.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8189 seconds (0.1#10.140)