Penasihat Hukum SAT Nilai JPU Tidak Paham Proses Pemberian SKL

Senin, 17 September 2018 - 05:37 WIB
Penasihat Hukum SAT Nilai JPU Tidak Paham Proses Pemberian SKL
Penasihat Hukum SAT Nilai JPU Tidak Paham Proses Pemberian SKL
A A A
JAKARTA - Penasihat hukum mantan Ketua BPPN Syafrudin A Temengung (SAT) membeberkan ketidakpahaman Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK terhadap proses pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada pemilik Bank BDNI oleh SAT sehingga dakwaan dan tuntutan terhadap terdakwa menyesatkan.

Kuasa hukum menilai tidak satupun fakta hukum yang terungkap dalam persidangan bisa membuktikan bahwa pemberian SKL kepada Syamsul Nursalim (SN) sebagai pemegang saham pengendali BDNI tersebut melawan hukum.

“Fakta persidangan dan barang bukti sama sekali tidak menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum dan merugikan negara,” ujar Ahmad Yani, salah satu anggota tim penasihat hukum SAT, dalam keterangan tertulisnya.

Ahmad Yani menyebutkan, sifat melawan hukum dari tindak pidana yang dituduhkan kepada SAT termasuk unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, tidak terbukti dalam persidangan. JPU KPK dinilai tidak proporsional, bahkan membuat penyesatan dalam pembuatan tuntutan terhadap SAT, Ketua BPPN tahun 2002-2004 yang mengeluarkan SKL terhadap SN.

"JPU merekayasa tuntutannya dengan mencampuradukan peran SAT sebagai Sekretaris KKSK dan Ketua BPPN, padahal hal tersebut tidak memiliki kaitan dengan penerbitan SKL," ucapnya.

Menurut dia, pemberian SKL yang dikeluarkan Ketua BPPN terhadap SN tidak bisa dipidana karena SAT hanya melaksanakan perintah KKSK. Saksi yang dihadirkan dalam persidangan membenarkan bahwa Keputusan KKSK tanggal 17 Maret 2004 telah memerintahkan BPPN menerbitkan SKL untuk SN yang sebelumnya telah menyelesaikan kewajiban sesuai MSAA.

Pihaknya juga berpendapat JPU KPK telah membuat penyesatan dengan menempatkan posisi SAT lebih tinggi. Padahal secara hukum dan kelembagaan KKSK memiliki kewenangan lebih tinggi dibandingkan BPPN.Untuk itu, BPPN wajib melaksanakan apa pun keputusan KKSK.

Sebagai Ketua BPPN, SAT bisa mengajukan usul kepada KKSK, tapi diterima atau tidaknya usulan tersebut, sepenuhnya tergantung keputusan KKSK. “Itu artinya SAT tidak bisa dituntut telah melanggar hukum formil karena dia hanya melaksanakan perintah KKSK,” tandasnya.

Berbagai keputusan KKSK juga wajib disampaikan kepada obligor. Dalam kaitan itu, sebagai Ketua BPPN telah beberapa kali memanggil obligor untuk memberitahukan keputusan KKSK tersebut. Sidang tidak bisa membuktikan, pertemuan SAT dengan obligor tersebut memiliki kaitan dengan penerbitan SKL. Unsur melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain tidak dapat dibuktikan dalam persidangan.

Tekait dengan tuduhan JPU bahwa SN sebagai telah melakukan misrepresentasi utang petambak kepada BDNI sehingga tidak layak menerima SKL, menurut penasehat hukum, ini menyesatkan. Hal ini terjadi karena JPU tidak memahami bahwa utang petambak sebetulnya bukanlah aset yang diserahkan SN dalam melunasi kewajiban BLBI melalui perjanjian MSAA, tapi utang ini adalah aset kredit BDNI.

Sehingga sejak awal, BPPN sudah mengetahui kondisi utang tersebut dan juga utang ini dijamin oleh perusahaan inti yaitu PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira. Dengan demikian, SN sebagai pemegang saham BDNI dan pemegang saham DCD sudah melakukan kewajiban keterbukaan informasi.

Ini terbukti pada 25 Mei 1999, BPPN menyatakan bahwa SN telah memenuhi kewajibannya dalam perjanjian MSAA dan kemudian mendapat keterangan release and discharge. “Fakta persidangan membuktikan, SN tidak pernah melakukan misrep seperti yang dituduhkan oleh jaksa dalam surat dakwaannya,” kata penasihat hukum.

Begitu juga dengan tuduhan jaksa bahwa SAT telah merencanakan untuk menguntungkan SN dalam penyelesaian kredit petambak ini, dengan cara mengalihkan penyelesaian kredit senilai Rp4,8 triliun dari divisi ligitasi ke divisi restrukturisasi kredit. Fakta persidangan menunjukkan pengalihan ini dilakukan oleh Ketua BPPN sebelumya yaitu Putu Ary Suta dalam rangka mempercepat penyelesaian kredit yang ditangani BPPN.

Mengenai penghapusan hak tagih seperti yang tuduhkan jaksa, menurut panesihat hukum, hal ini juga tidak terbukti karena berdasarkan fakta persidangan baik keterangan saksi maupun dokumen hak tagih yang berasal dari dari kredit petambak ini senilai Rp4,8 triliun pada 11 Februari 2004 telah diserahkan ke Menteri Keuangan yang saat itu dijabat oleh Sri Mulyani.

Begitu juga tudingan bahwa SAT telah menguntungkan SN sebagai pemilik BDNI. Fakta persidangan membuktikan bahwa sejak 2001 KKSK yang saat itu diketuai oleh Menko Perekonomian Rizal Ramli memutuskan bahwa dalam penyelesaian kredit petambak ini, utang yang sustainable ditagihkan ke petani tambak, sedangkan unsustainable ditagihkan ke perusahaan inti dalam hal ini DCD, bukan kepada SN.

Seperti diketahui, sejalan dengan dinyatakan bahwa MSAA BDNI sudah closing pada 25 Mei 1999, kepemilikan DCD sudah dikuasai oleh BPPN melalui holding company Tunas Sepadan Investama yang dibentuk untuk menampung 12 perusahaan yang diserahkan oleh SN.

Berdasarkan keputusan KKSK pada 2001 itu, utang pokok kredit petambak ini adalah Rp 3,9 triliun yang terdiri dari utang sustainable Rp1,1 triliun yang ditagihkan kepada 11.000 petani plasma dan unsustainable Rp2,8 triliun ditagihkan ke perusahaan inti.

“Melalui keputusan ini, penagihan utang petambak ini bukan kepada SN atau pemegang saham, tapi kepada perusahaan inti yaitu DCD,” kata tim penasihat hukum saat membacakan pembelaan pada sidang Jumat lalu.

Terkait tuduhan memperkaya diri sendiri atau orang lain, penasihat hukum menyatakan sependapat dengan uraian JPU KPK bahwa dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain harus ada harus ada perbuatan melawan hukum berupa penerimaan uang atau harta benda.

Dalam fakta persidangan, tidak pernah dibuktikan adanya aliran dana yang diterima oleh SAT atau harta benda yang diterima SN terkait penerbitan SKL sehingga tidak terbukti secara sah dan meyakinkan SAT telah memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Dalam pledoi yang disampaikan di persidangan, penasihat hukum secara rinci mematahkan semua unsur-unsur pelanggaran Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor dalam tuntutan JPU, termasuk pasal mengenai tindak pidana penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 KUHP karena terbukti tidak ada hubungan antara SAT dengan Dorojatun, SN, maupun ISN.

"Sangat tidak adil mereka dituduh bersama-sama melakukan tindak pidana sedangkan mereka tidak punya kesempatan membela diri dalam persidangan," kata penasihat hukum.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9560 seconds (0.1#10.140)