Korupsi SKL BLBI, Auditor BPK Pastikan Kerugian Negara Rp4,58 T

Selasa, 07 Agustus 2018 - 09:51 WIB
Korupsi SKL BLBI, Auditor BPK Pastikan Kerugian Negara Rp4,58 T
Korupsi SKL BLBI, Auditor BPK Pastikan Kerugian Negara Rp4,58 T
A A A
JAKARTA - Ahli sekaligus Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara memastikan ‎audit investigasi BPK menemukan kerugian negara Rp4,58 triliun atas penerbitan dan pemberian surat keterangan lunas (SKL) ke obligor BLBI Sjamsul Nursalim.

Fakta dan temuan tersebut disampaikan I Nyoman Wara saat bersaksi dalam persidangan ‎terdakwa terdakwa Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 Syafruddin Arsjad Temenggung, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/8/2018). I Nyoman Wara bersama ‎mantan Ketua BPPN Glen Muhammad Surya Yusuf dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK.

I Nyoman Wara memastikan, Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI)‎ dan obligor penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pernah menandatangani perjanjian Master of of Settlement Agreement And Acquisition Agreement (MSAA) terkait dengan pembayaran kewajibannya. Penandatanganan tersebut dilakukan Sjamsul dengan BPPN. Dalam MSAA tersebut, Wara menegaskan, tercantum angka Rp4,8 triliun yang disebut Sjamsul sebagai aset lancar untuk diserahkan ke BPPN.

Angka Rp4,8 triliun tersebut merupakan kredit pinjaman petani tambak (petambak) PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). Angka itu masuk dalam bagian jumlah aktiva/aset Rp18,85 triliun. Wara menuturkan, dari hasil audit investigatif BPK ditemukan bahwa Rp4,8 triliun yang dijaminkan atau diagungkan Sjamsul sebagai aset lancar ke BPPN ternyata dalam kondisi macet.

Saat menyampaikan ke BPPN atas aset Rp4,8 triliun tersebut, Sjamsul tidak menyampaikan kondisi sebenarnya. Sebelum pemberian surat keterangan lunas (SKL), menyerahkan aset ke BPPN. Rupanya nilai asetnya tidak mencapai jumlah kewajiban Sjamsul yang harusnya dibayarkan.

BPPN tetap meneruskannya ke negara melalui Departemen Keuangan (saat itu) dan Depkeu melalui PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA, persero). Selepas penyerahan itu, Syafruddin selaku Kepala BPPN menandatangani dan memberikan SKL ke Sjamsul. Kemudian pada 2007, PT PPA menjual aset tersebut dan hanya laku Rp220 miliar.

"Jadi berdasarkan hasil audit BPK pada 2017, nilai total kerugian keuangan negara Rp4,58 triliun. Perhitungan ini dengan metode net-loss atau nilai kerugian bersih. Hasil ini dengan menghitung kewajiban Sjamsul Nursalim atas missrepresentasi nilai piutang BDNI kepada petambak Rp4,8 triliun dikurangi hasil penjualan piutang Rp220 miliar," tegas Wara di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dia menuturkan, hasil audit investigatif atau Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK atas penerbitan dan pemberian SKL ke Sjamsul dengan nilai kerugian Rp4,58 triliun rampung pada 25 Agustus 2017 dengan Nomor: 12/LHP/XXI/08/2017. Dari hasil audit investigatif BPK tersebut, Wara membeberkan, ada empat penyimpangan sehingga mengakibatkan kerugian negara.

Pertama, Sjamsul melakukan misrepresentasi aset piutang (utang) petambak senilai Rp4,8 triliun yang diserahkan sebagai kewajiban ke BPPN, padahal kondisinya macet. Karena tidak memenuhi kriteria lancar, sehingga Sjamsul melakuka pelanggaran jaminan.

Atas dasar itu berdasarkan MSAA maka Sjamsul bisa dimintai membayar kerugian negaranya. Angka Rp4,8 trilin ini dicantumkan Sjamsul sebagai perhitungan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS).

"Jadi kalau tidak dipenuhi, maka BPPN bisa minta ganti kerugian kepada Sjamsul Nursalim. Mireprentasi tersebut merupakan pelanggaran jaminan Sjamsul sesuai dengan MSAA. Sjamsul Nursalim tidak menyelesaikan kewajibannya, atau cidera janji," tegasnya.

Kedua, Wara menuturkan, terjadi pengalihan penanganan aset kredit di BPPN tanpa melibatkan divisi aset manajemen investasi (AMI). Pada 21 Mei 2002, Syafruddin selaku Ketua BPPN meminta dan memerintahkan aset yang diagunkan Sjamsul dijual melalui aset manajemen kredit (AMK) tanpa mengikutsertakan divisi AMI yang menangani Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Sehingga tutur Wara, penyelesaian misrepresentasi tidak lagi melalui pertanggungjawaban pemegang saham. Akibatnya rapat KKSK kemudian menetapkan perhitungan utang per petambak menjadi Rp100 juta dari angka sebelumnya Rp135 juta. Akibatnya utang petambak berkurang menjadi Rp1,1 triliun, sedangkan sisanya dihapuskan.

"Ini tidak sesuai dengan keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) tanggal 13 Mei 2002, KKKS memerintahkan BPPN melibatkan divisi AMI," ujarnya.

Ketiga, proses persetujuan penyelesaian kewajiban saham oleh KKSK tanpa mempertimbangkan penyelesaian misreprsentasi. ‎Syafruddin selaku Ketua BPPN diduga tidak memberikan informasi lengkap sesungguhnya ke KKSK, bahwa piutang petambak merupakan aset bank yang diperhitungkan dalam penetapan JKPS dan Sjamsul masih memiliki kewajiban tambahan PKPS yang telah dihitung dalam MSAA yang ditandatangani Sjamsul.

"Padahal keputusan KKSK tanggal 7 Oktober 2002 memerintahkan BPPN untuk melaporkan rincian lebih lanjut atas penanganan PKPN Sjamsul Nursalim, termasuk menyelesaikan permasalahan Dipasena," ujar Wara.

Keempat, penerbitan dan pemberian SKL ke Sjamsul dilakukan sebelum penyelesaian misrepresentasi. Syafruddin selaku Ketua BPPN menandantangani akta perjanjian penyelesaian akhir tertanggal 12 april 2004 dan SKL tertanggal 26 April 2004, meski diketahui Sjamsul belum selesaikan misrepresntasi nilai utang BDNI petambak senilai Rp4,8 triliun.

Karenanya pemberian SKL ke Sjamsul tidak sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor: X/MPR/2001 yang ditetapkan 9 November 2001. Tap MPR tersebut intinya menyatakan para debitur yang menandatangani MSAA dan belum memenuhi kewajibannya harus diberikan pinalti atau dapat diambil tindakan tegas.

‎Dalam empat penyimpangan tersebut, Wara menandaskan, BPK menemukan ada dugaan peran dua orang lainnya pihak terkait selain Syafruddin dan Sjamsul Nursalim. Pertama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Gotong-Royong 2001-2004 merangkap Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) saat itu Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Kedua, Menteri BUMN saat itu merangkap Wakil Ketua KKSK Laksamana Sukardi.

"Dorodjatun keterkaitannya karena menyetujui porsi unsuistanaible utang Rp2,8 triliun yang dituangkan dalam keputusan KKSK 13 Februari 2004 atas usulan ketua BPPN (Syafruddin) dan menyetujui pemberian SKL. Laksamana Sukardi menyetujui pemberian SKL," tegasnya.

Ketua JPU Kiki Ahmad Yani menanyakan, atas penerbitan dan pemberian SKL tersebut siapa yang diuntungkan berdasarkan hasil audit investigatif BPK. Wara memastikan yang diuntungkan adalah Sjamsul Nursalim karena sisa kewajibannya tidak dibayarkan Rp4,58 triliun. JPU Kiki mengonfirmasi ke Wara bagaimana dengan audit BPK pada 2004 dengan metode Agreed Open Procedure (AOP).

Wara menjelaskan, BPK memang pernah melakukan pemeriksaan pada 2002 terhadap kinerja BPPN. Pemeriksaan dengan menggunakan metode AOP. Pemeriksaan dilakukan karena diminta oleh BPPN. Penggunaan metode AOP didasarkan pada kesepakatan auditor dan yang meminta dalam hal ini BPPN. Pelaksanaan pemeriksaan hanya sebatas pada kinerja dan pelaksanaan prosedur di BPPN. Audit ini tidak menyentuh pemeriksaan atas laporan keuangan.

"Kalau dengan pendekatan auditing di akuntan publik, maka ini (pemeriksaan AOP) bukan audit. Tapi semua orang memandang ini semua auditing, hanya tingkat keyakinan berbeda. Ya tingkat keyakinannya rendah, tanggungjawabnya ada di yang minta. Kalau yang minta BPPN, ya tanggungjawabnya BPPN," ujarnya.

Ahmad Yani selaku anggota tim penasihat hukum Syafruddin Arsjad Temenggung mendalami keterangan I Nyoman Wara tentang audit investigatif BPK tadi. Yani menuturkan, KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka pada April 2017. Audit investigatif BPK baru rampung 25 Agustus dan diserahkan ke KPK pada September 2017. Yani me‎nanyakan, bagaimana bisa Syafruddin ditersangkakan KPK, tapi audit investigatif BPK baru ada belakangan.

Wara menjelaskan, berdasarkan teori dan pelaksanaan ada empat tahapan perhitungan kerugian negara dalam kasus atau perkara korupsi. Pertama, penentuan nilai kerugian negara oleh penegak hukum dalam hal ini penyidik. Kedua, auditor atau ahli termasuk BPK melakukan penilaian dan perhitungan atas kerugian negara, setelah diminta penegak hukum. Ketiga, auditor termasuk BPK menetapkan dan memutuskan nilai akhir kerugian negara. Terakhir, pengujian kerugian negara dilakukan di pengadilan.

"Berarti berdasarkan kesaksian saudara yang paling penting kerugian negara kan?," tanya Yani. "Saya tadi tidak menyampaikan demikian," ujar Wara. "Saudara penasihat hukum, saya juga mendengar ahli tidak ada menyampaikan yang paling penting kerugian negara. Itu kesimpulan saudara penasihat hukum," tegas Ketua Majelis Hakim Yanto.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9745 seconds (0.1#10.140)