Sel Mewah Koruptor

Senin, 23 Juli 2018 - 06:38 WIB
Sel Mewah Koruptor
Sel Mewah Koruptor
A A A
KABAR mengejutkan kembali datang dari Lembaga Pe­masyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Di tempat pembinaan bagi para narapidana ko­ruptor tersebut ditemukan sel napi yang dilengkapi dengan fasilitas yang cukup mewah. Fakta ini terungkap setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (20/7). Saat menggeledah sel napi di lapas tersebut, KPK menemukan sel napi yang dilengkapi dengan mesin pendingin udara(AC), televisi, dan kulkas.

Dalam operasi di Lapas Sukamiskin, KPK menangkap Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Wahid Husein di rumah di­nas­nya. KPK juga mengamankan beberapa napi korupsi di antaranya terpidana perkara korupsi pengadaan satellite monitoring di Badan Ke­amanan Laut (Bakamla) Fahmi Darmawansyah. Selain Kalapas dan Fahmi Darmawansyah, KPK juga turut mengamankan empat orang lain di beberapa lokasi berbeda, termasuk istri Fahmi, artis Inneke Koesherawati.

Penangkapan dan penggeledahan di Su­kamiskin tersebut terkait dugaan suap izin napi keluar lapas yang di­duga diterima Wahid Husein selaku kalapas. Dalam kasus ini, Wahid Husein diduga menerima suap berupa dua unit mobil. Dia diduga memberikan berbagai fasilitas, izin luar biasa, dan hal lain yang tidak semestinya didapatkan napi. Untuk mendapatkan fasilitas “wah” ini, napi disebutkan harus menyetor Rp200-Rp500 juta.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK, Jakarta Se­latan, Sabtu (21/7) juga membenarkan bahwa operasi di Sukamiskin dilakukan karena ada indikasi terjadi jual-beli kamar, jual-beli izin, sehingga narapidana bisa keluar lapas dengan mudah.

Kasus bisnis fasilitas mewah sel di lapas ini bukan pertama kali terjadi. Beberapa tahun lalu terbongkar sel mewah Artalita Suryani, terpidana perkara suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan. Di ruangan Artalita di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, terdapat kamar mandi pribadi, kulkas, AC, televisi layar datar, dan ruang karaoke.

Kejadian di Lapas Sukamiskin ini seharusnya jadi momentum bagi pemerintah untuk menunjukkan keseriusannya dalam memberantas praktik korupsi. Perlu segera ditunjukkan ke publik kondisi sebenarnya sel-sel yang ada di Lapas Sukamiskin saat ini, ter­lebih yang diduga memiliki fasilitas mewah. Jumlah sel de­ngan fasilitas mewah ini bisa jadi lebih banyak, tidak sebatas apa yang berhasil diungkap oleh KPK.

Apalagi, saat ini di Sukamiskin terdapat se­jum­lah napi koruptor yang sebelumnya dikenal sebagai pejabat berduit, sebagian di antaranya mantan pimpinan lembaga tinggi negara. Kondisi sebenarnya sel para koruptor ini perlu segera diperiksa dan ditunjukkan ke publik guna menghindari beragam spekulasi.

Kasus tertangkapnya kalapas karena dugaan menerima suap dalam bisnis fasilitas sel adalah aib besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Bagi publik, kondisi ini sangat memiriskan dan kian menguatkan kesan bahwa hukum di Indonesia memang hanya efektif bagi orang yang tidak berduit.

Buktinya, koruptor yang telah menilap uang rakyat masih bisa hidup mewah di penjara, bahkan bisa keluar-masuk sel tahanan dengan sesuka hati. Karena itu, pemerintah perlu membuktikan komitmen memberantas ko­rup­si sebagaimana selama ini sering didengungkan.

Bahwa seluruh pelaku suap dalam kasus di lapas ini akan diproses hukum, itu sudah pasti. Namun, perlu ada tindakan lebih. Longgarnya pengawasan terhadap napi dan aparat nakal adalah bukti kegagalan Kemen­te­rian Hukum dan HAM dalam menciptakan manajemen lapas yang baik.

Maka itu, harus ada pihak yang bertanggung jawab, terutama Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Tidak berlebihan jika Pre­siden Joko Widodo mengevaluasi kinerja pembantunya ini se­ba­gai bukti keseriusan pemerintah dalam menegakkan hukum, ter­utama memberantas korupsi.

Ke depan reformasi personal dan struktural perlu dilakukan. Institusi negara, termasuk Kemenkumham, harus bisa me­nem­patkan pejabat dan petugas yang tidak hanya kompeten di bi­dangnya, tapi juga memiliki integritas yang tinggi. Rapuhnya ma­na­jemen lapas bukan semata dipicu oleh lemahnya sistem, melainkan juga karena mentalitas oknum pejabat atau petugas yang memang bobrok.

Akibatnya, mereka mudah melakukan transaksi dengan napi. Melakukan langkah perbaikan di lapas yang memiliki per­masalahan kompleks memang tidak selalu mudah. Namun, upaya terus menerus harus dilakukan. Kita berharap ke depan cerita suram tentang lapas seperti ini tidak lagi terulang.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3680 seconds (0.1#10.140)