Kasus SKL BLBI, Ratas Tidak Putuskan SKL Sjamsul Nursalim

Jum'at, 20 Juli 2018 - 03:02 WIB
Kasus SKL BLBI, Ratas Tidak Putuskan SKL Sjamsul Nursalim
Kasus SKL BLBI, Ratas Tidak Putuskan SKL Sjamsul Nursalim
A A A
JAKARTA - Rapat Sidang Kabinet Terbatas (Ratas) yang dipimpin Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada 11 Februari 2004 tidak memutuskan penghapusan utang dan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Sjamsul Nursalim.

Selain Megawati Soekarnoputri, Ratas 11 Februri 2004 dihadiri di antaranya‎ Wakil Presiden saat itu Hamzah Haz, Menko Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) saat itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ‎Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Gotong-Royong 2001-2004 merangkap Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) saat itu Dorodjatun Kuntjoro Jakti.

Kemudian ‎Menteri BUMN saat itu merangkap Wakil Ketua KKSK Laksamana Sukardi, Menteri Keuangan 2001-2004 merangkap anggota KKSK Boediono, Menteri Kehakiman saat itu Yusril Ihza Mahendra, dan terdakwa Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 Syafruddin Arsjad Temenggung. Yusril kini menjadi Ketua Tim Penasihat Hukum terdakwa Syafruddin.

Fakta tentang pelaksanaan Rapat Sidang Kabinet Terbatas (Ratas) 11 Februari 2004 dan tidak adanya keputusan di dalamnya tersebut disampaikan Menteri Keuangan 2001-2004 merangkap anggota KKSK Boediono. Boediono bersama Todung Mulya Lubis dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7/2018).

Keduanya bersaksi dalam persidangan terdakwa Syafruddin Arsjad Temenggung. Todung merupakan mantan anggota Tim Bantuan Hukum (TBH) untuk KKSK yang kini Duta Besar RI untuk Norwegia.

Boediono membeberkan,‎ seingat dia mulanya total utang obligor Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI sebesar Rp4,8 triliun. Angka ini kemudian turun menjadi Rp3,9 triliun karena perbedaan penggunaan nilai kurs per dollar Amerika Serikat.

Dia menggariskan, memang ada beberapa kali dilakukan Rapat Sidang Kabinet Terbatas (Ratas) yang dipimpin Presiden saat itu Megawati Soekarnoputri. Di antaranya 7 Maret 2002 dan 11 Februari 2004. Pada Ratas 7 Maret 2002 pembahasannya tentang penyelesaian utang pemegang saham atau obligor di BPPN yang tidak kooperatif menjalankan MSAA, MRNIA, APU, dan perjanjian lain harus ditindak tegas.

Untuk Ratas 11 Februari 2004, Boediono menuturkan, Syafruddin Arsjad Temenggung selaku Ketua BPPN menyampaikan laporan tentang perkembangan penanganan utang kewajiban yang belum dibayarkan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) atas utang petambak plasma pada PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) yang diagunkan obligor Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) sekaligus pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim.

Ketika itu Syafruddin menyampaikan utang petambak sebesar Rp3,9 triliun. Dari angka itu, yang bisa dibayarkan hanya Rp1,1 triliun. Karenanya Syafruddin mengusulkan sisanya sebesar Rp2,8 triliun dihapusbukukan (write-off). Penghapusan tersebut dapat dilakukan di BPPN.

Seingat Boediono saat itu memang Syafruddin tidak menyampaikan dan melaporkan ke Presiden Megawati tentang aset berupa utang petambak yang diserahkan Sjamsul Nursalim yang misrepresentasi. Dari Ratas ini tidak keputusan apapun termasuk untuk pemberian SKL ke Sjamsul Nursalim.

"Memang ada usulan dari ketua BPPN (Syafruddin) untuk write-off. Sampai akhir sidang kabinet, tidak ada kesimpulan yang dibacakan. Jadi sampai selesai tidak ada (keputusan)," tegas Boediono di hadapan majelis hakim.

Wakil Presiden periode 2009-2014 ini membeberkan, selepas Ratas 11 Februari 2004 memang Syafruddin selaku Ketua BPPN mengirimkan surat dan ringkasan eksekutif ke KKSK dengan usulan untuk pengahapusan utang unsustainable sebesar Rp2,8 triliun dengan mendasari pada keputusan Ratas 11 Februari 2004. Padahal sekali lagi tutur Boediono, Ratas tidak ada kesimpulan dan keputusan apapun.

Berikutnya 13 Februari 2004, KKSK melakukan rapat membahas surat usulan Syafruddin. Rapat KKSK yang dihadiri di antaranya Boediono dan dipimpin Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Seingat Boediono tidak ada pembahasan berarti yang dilakukan.

Akhirnya KKSK mengeluarkan keputusan yang ditandatangani Dorodjatun. Isi keputusan di antaranya nilai utang per petambak yang bisa ditagihkan sebesar Rp100 juta, penghapusan utang pokok proporsional dan penghapusan tunggakan denda dan bunga, dan yang hanya ditagihkan adalah Rp1,1 triliun utang petambak.

Ketua JPU Haerudin mempertanyakan kenapa KKSK mengambil keputusan KKSK seperti itu. Padahal dalam Ratas 11 Februari 2004 tidak ada kesimpulan dan keputusan apapun, sebagaimana keterangan Boediono serta keterangan Dorodjatun dan ‎mantan Sekretaris Menko Ekuin sekaligus mantan Sekretaris KKSK kurun 2002- 2005 Lukita Dinarsyah Tuwo pada persidangan Senin (16/7).

"Kenapa bisa demikian?," tanya JPU Haerudin. "Karena masukan (usulan) dari BPPN dan Sekretariat KKSK. Sekali lagi, kita mengandalkan mereka keputusan dan sebagainya seperti apa. Saya mengandalkan sistem yang belaku," tuturnya.

Boediono melanjutkan, sebenarnya masa tugas BPPN berakhir pada Februari 2004 tetapi kemudian Presiden memberikan perpanjangan sampai April 2004. Tujuan perpanjangan untuk menyelesaikan hal-hal dan tugas BPPN yang belum diselesaikan.

Dia memaparkan, setelah rapat KKSK tadi kemudian pada Maret 2004 ada laporan khusus tentang utang kewajiban BDNI dan Sjamsul Nursalim dari BPPN ke KKSK. Laporan tersebut spesifik tentang penyelesaian masalah setiapp kasus BDNI.

Berikutnya, BPPN menyerahkan dokumen aset-aset para obligor yang ada di BPPN ke Menkeu termasuk yang terkait dengan Sjamsul Nursalim. Menkeu kemudian meneruskan ke tim pemeriksa dan Direktorat Jenderal Piutang. Penyerahan terjadi Boediono sekitar pekan terakhir April 2004.

Boediono mengaku ketika itu dirinya tidak mengetahui berapa nilai aset-aset yang diserahkan berdasarkan dokumen tadi. Musababnya sampai akhir masa jabatan Boediono sebagai Menkeu pada Oktober 2004 tim Kemenkeu masih bekerja dan dilakukan audit. Rupanya Syafruddin selaku Ketua BPPN meneken SKL termasuk untuk Sjamsul.

"BPPN punya kewenangan terbitkan SKL. (Untuk SKL Sjamsul Nursalim) saya hanya lihat surat tembusan kepada anggota KKSK dan intansi lain mengenai hal ini yang ditandatangani kepala (Ketua) BPPN (Syafruddin)," tegasnya.

Ketua Majelis Hakim sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ‎Yanto meminta Boediono mempertegas apakah hanya dokumen aset-aset yang diserahkan dan bukan asetnya yang diserahkan BPPN ke Menkeu saat itu. Boediono membenarkan hanya dokumen aset dan bukan asetnya.

Anggota majelis hakim Sunarso mengonfirmasi lebih lanjut tentang Ratas 11 Februari 2004. Apakah memang Ratas tersebut direkam. Boedino membenarkan. Hakim Sunarso membeberkan, berdasarkan rekaman yang sudah diputarkan dalam persidangan, terungkap Syafruddin mengusulkan penghapusbukuan (write-off) utang Rp2,8 triliun.

"Penghapusbukuan artinya apa? Apakah dihilangkan dari utang atau pindah buku? Angka penghapusbukuan Rp2,8 triliun itu prinsipnya Sidang Kabinet (11 Februari 2004) setuju atau nggak?," cecar hakim Sunarso.

Boediono menjelaskan, yang lebih mengetahui penghapusbukuan tersebut adalah Syafruddin sebagai orang yang mengusulkan. Secara definisi, penghapusbukuan berarti penghilangan dari utang sebelumnya tetap harus berdasarkan aturan.

"Saya sampaikan tadi, akhir dari sidang kabinet tidak ada kesimpulan yang dibacakan. Kemudian selesai (ditutup sidang)," tandasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1735 seconds (0.1#10.140)