KPK Harus Punya Komitmen Kuat dan Serius Usut Kasus BLBI

Rabu, 18 Juli 2018 - 10:01 WIB
KPK Harus Punya Komitmen Kuat dan Serius Usut Kasus BLBI
KPK Harus Punya Komitmen Kuat dan Serius Usut Kasus BLBI
A A A
JAKARTA - Kotak pandora kasus SKL BLBI harus dibuka saat ini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, KPK memiliki pintu masuk melalui mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Hingga penikmat aliran BLBI senilai Rp30 Triliun bisa dijerat.

Desakan membuka kasus BLBI kembali digulirkan. Motornya kali ini gerakan Himpunan Masyarakat Sejahtera (HMS) dengan aksinya di depan Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/7). Dengan massa berjumlah 2.000 orang, HMS menuntut penuntasan dua skandal korupsi BLBI Gate dan Bank Century (Century Gate). Sebab, dua skandal tersebut membuat keuangan negara menjadi genting.

"Komisioner KPK harus punya komitmen kuat dan serius untuk tuntaskan BLBI dan Century Gate di 2018 ini. Hal ini sesuai dengan Resolusi KPK 2018 yang diungkapkan oleh salah satu Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) HMS Hardjuno Wiwoho, Rabu (18/7/2018).

Hardjuno mengingatkan, KPK menindaklanjuti rekomendasi Pegadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan ini. PN Jakarta Selatan waktu itu memerintahkan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono dan kolega ditetapkan sebagai tersangka. KPK juga bisa mengoptimalkan posisi Syafruddin Arsyad yang statusnya dinaikan menjadi terdakwa. Syafrudin dinilainya bisa menjadi pintu masuk ideal.

"Semua harus ingat, keputusan Angket Century paripurna DPR awal 2010 juga menyatakan Sri Mulyani dan anggota Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) harus diperiksa di muka hukum. Saya kira juga Sjamsul Nursalim yang menikmati dan menyalahgunakan dana BLBI harus didatangkan sekaligus diperiksa oleh KPK. Terpenting para ‘tukang tadah’ lain yang menerima aliran BLBI ini," cetusnya.

Opini serupa juga dilontarkan Koordinator HMS Jenderal Syamsul Jalal. Syamsul Jalal beropini, KPK yang dimpimpin oleh Agus Rahardjo ini harus menunjukkan kekuatannya dalam memberantas korupsi di Indonesia. Jangan sampai KPK ini bersikap sebaliknya dan seolah melindungi para koruptor dengan berbagai dalih yang diberikan.

"Kalau KPK tidak bisa menuntaskan kasus BLBI, berarti bukan Komisi Pemberatasan Korupsi. Tapi, KPK adalah Komisi Pelindung Koruptor. Untuk iu, KPK jangan sampai melindungi para kruptor. KPK sekarang harus menunjukan kekuatannya. Sebab, tugas utamanya membela bagsa dan masyarakat Indonesia," kata Syamsul Jalal.

Tuntutan HMS pun dikuatkan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN). Ketua LPEKN Sasmito Hadinegoro mengatakan, aset Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang dserahkan BPPN pada Kementerian Keuangan (Menkeu) dijual murah. Pada tahun 2005, aset senilai Rp4,8 Triliun hanya dijual Rp200 Miliar oleh Menkeu. Tindakan Menkeu pun saat itu dinilai merugikan negara.

"Kami juga meminta KPK menyelidiki dan memeriksa owner Bank Central Asia (BCA) Budi Hartono bersaudara. Mereka ini patut diduga sebagai ‘tukang tadah’. Bayangkan penjualan aset tambak udang Dipasena Rp1 Triliun hanya dijual Rp200 miliar. Jadi, kasus ini juga jangan berhenti di sini (BDNI)," ujar Sasmito.

Dijelaskan lebih rinci, BCA pada akhir 2002 memiliki total aktiva Rp114 Triliun. Pada 2003, sahamnya dijual 51% dengan nilai Rp5 Triliun kepada Budi Hartono. Hal ini tentu patut dicurigai sebagai tender tertutup dan terbatas yang diikuti Group Farallon (kendaraan Budi Hartono) dan Standard Chartered Bank. Lebih tragis, 3 bulan pasca transaksi, Budi Hartono menerima deviden BCA Rp580 Miliar.

Lalu sejak 2004 hingga saat ini, Budi Hartono Cs menerima subsidi bunga obigasi rekap ex BLBI melalui pemerintah melalui BCA senilai Rp7 Triliun per tahun.

"Dalam hal ini, Budi Hartono Cs telah diperkaya oleh Kepala BPPN (I Putu Gede Ary Suta) dan Menkeu saat itu, juga Boediono. Saat ini nilai dari BCA ini mencapai Rp600 Tiliun lebih. Wajar saja, Budi Hartono dan Bambang Hartono (Pemilik Djarum) berubah menjadi orang terkaya di Indonesia. Untuk itu, KPK ini perlu mengusut tuntas para olbigor nakal ini," kata Sasmita.

Lebih lanjut lagi, Sasmita menunjuk adanya ketidakadilan dalam tata kelola keuangan negara. Asumsi ini didasarkan pada masalah intellectual fraud. Dari sisi hukum, juga patut diduga means rea dari para pejabat negara waktu itu. Sebab, skenario ini harus meminta persetujuan Menkeu Boediono, Menko Ekuin Dorojatun Kuntjorojati, dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Eksekutornya Ary Suta.

"Untuk itu, kami menuntut agar Budi Hartono dan Bambang Hartono benar-benar diperiksa KPK. Hal ini tentu demi keadilan rakyat. Sebagai penegak hukum independen, KPK seharusnya tidak mngenal SP3. Segera tetapkan mereka sebagai tersangka sebagai perwujudan Nawacita Presiden Jokowi," tutur Sasmita lagi.

Lalu, bagaimana dengan para penerima Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI dan tukang tadah? Status hukum serupa juga harus diberikan. Sebab, mereka sukses membodohi rakyat hingga mengakibatkan kerugian super besar. "Semua harus mendapat perlakuan sama. Bayangkan, dengan uang Rp5Triliun di 2003, mereka sukses menjarah BCA yang dahulu asetnya Rp114 Triliun," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.1092 seconds (0.1#10.140)