Cegah Terorisme dengan Aturan dan Perkuat Pengawasan

Sabtu, 14 Juli 2018 - 14:58 WIB
Cegah Terorisme dengan Aturan dan Perkuat Pengawasan
Cegah Terorisme dengan Aturan dan Perkuat Pengawasan
A A A
JAKARTA - Terorisme adalah kejahatan lintas negara. Kejahatan ini tidak ditujukan oleh orang-orang di suatu negara terhadap negara tersebut, tetapi pelakunya bisa saja orang-orang dari negara tertentu tetapi menargetkan aset-aset, gedung, obyek vital dan bahkan orang-orang dari negara lain di negara tersebut.

Misalnya, ada sebuah negara yang kondisinya sedang porak poranda, kemudian ada pelaku teror dari berbagai negara yang ingin mengubah negara tersebut, baik itu pemerintahannya maupun ideologinya seperti yang terjadi di Irak dan Suriah oleh jaringan kelompok ISIS.

Hal tersebut sudah merupakan aksi terorisme yang dikategorikan sebagai kegiatan kejahatan lintas negara.
Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengungkapkan, kejahatan terorisme lintas negara bukan hanya soal aksi pelaku tetapi pihak yang terlibat pendanaan aksi terorisme ini.

Untuk mengatasi masalah terorisme yang telah dikategorikan kejahatan lintas negara, kata dia, butuh sinergi antarbangsa.

"Pendanaan ini bisa saja berasal dari orang atau organisasi tertentu dari suatu negara, tetapi untuk diberikan kepada warga dari lain negara untuk melakukan suatu tindakan terorisme. Tapi, kadang aksinya bukan di negaranya sendiri, tapi negara lain. Dikatakan trans nasional karena berkaitan lebih dari satu negara. Untuk itu sinergitas antarbangsa dalam upaya menanggulangi terorisme itu sangat penting,” tutur Hikmahanto, di Jakarta, Kamis 12 Juli 2018.

Menurut dia, perlu ada upaya bersama negara-negara lain dan masyarakat internasional untuk memerangi terorisme.

Hikmahanto menyebut ada tiga hal upaya sinergi antarnegara dalam menanggulangi terorisme. Pertama, seperti yang telah dilakukan musyawarah dari negara negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membuat resolusi.

“Resolusi PBB ini ada yang berupa resolusi Dewan Keamanan PBB maupun resolusi Majelis Umum PBB. Dalam sejumlah resolusi ini disebutkan negara-negara punya kewajiban untuk memerangi terorisme. Mereka akan bekerja sama, baik mulai dari aparaturnya, aparatur penegak hukum maupun intelijennya untuk melakukan suatu tindakan terhadap para pelaku teror,” tuturnya.

Di samping itu, kata dia, PBB telah mendorong negara-negara untuk memiliki aturan-aturan di dalam negeri yang bisa mengkriminalkan orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan teror.“Biasanya melalui pendanaan antarnegara lalu kemudian untuk para pejuang teror dari suatu negara ke negara lain dan seterusnya,” ucapnya.

Upaya kedua, sambung Hikmahanto, antarnegara menjalin kerja sama. Misalnya Indonesia bekerja sama dengan Australia atau dengan Amerika Serikat untuk membangun kapasitas dari para individu untuk melawan para pelaku teror.

“Ini yang sering dilakukan Indonesia, kita juga saling tukar informasi, mendapatkan informasi dan lain-lain. Misalnya para pelaku teror yang ada di perairan-perairan tertentu kita harus juga bekerja sama seperti Indonesia dengan otoritas di Filipina,” ujar Hikmahanto.

Upaya ketiga, lanjut dia, masyarakat internasional yang bukan dari naungan PBB dapat juga secara rutin menggelar pertemuan untuk saling bertukar informasi dan kerja sama lainnya untuk memerangi terorisme

“Cara ini merupakan hubungan antarnegara secara multilateral dengan melakukan berbagai upaya. Terutama sekali negara-negara yang terpapar oleh para pelaku teror dari berbagai negara. Nah ini perlu dilakukan upaya bersama untuk memerangi teror itu,” katanya.Selain itu, lanjut dia, untuk mencegah pendanaan terorisme, hal ini berkaitan dengan dunia perbankan. Menurut dia, pihak bank juga harus sensitif.Menurut dia, perbankan di Indonesia sudah mempunyai sistem untuk mengantisipasi aliran dana yang patut didurigai.
“Bank harus menggontak orang yang menerima dana itu untuk memastikan itu bukan dana yang berkaitan terorisme. Tapi ini agak sulit jika transaksi tersebut tidak melalui perbankan,” katanya.

Dia mengatakan, disahkannya undang-undang antiterorisme yang baru juga memiliki efek positif dalam menanggulangi terorisme di kemudian hari bersama dengan negara-negara lain.

Menurut dia, bicara masalah terorisme pada saat ini tidak harya tindak pidana. Aksi teror dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk menciptakan teror, tetapi bisa saja dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk mengubah sebuah negara.

“Keberadaan sebuah negara itu bisa saja hilang karena upaya-upaya untuk mengubah negara dengan menggunakan teror. Kalau sudah seperti ini tidak hanya domain sistem peradilan pidana, tetapi juga domain masalah pertahanan suatu negara. Di sinilah yang saya melihat TNI punya keterlibatan lebih besar daripada yang sebelumnya. Karena ancaman terorisme itu bisa saja untuk mengubah sebuah negara,” tuturnya.

Dalam konteks seperti ini, kata Hikmahanto, undang-undang terorisme sangat positif di dalam memastikan para pelaku teror tidak hanya melakukan tindakan-tindakan yang berdampak pada masalah pidana, tetapi juga berdampak kepada eksistensi sebuah negara, termasuk eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Kita perlu memastikan warga negara Indonesia juga tidak terlibat dalam aksi-aksi teror di luar negeri yang esesnsinya adalah mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah di negara lain. Nah ini sesuatu yang sebelumnya tidak di dalam undang-undang terorisme kita terdahulu,” tuturnya.Di dalam negeri, sambung dia, upaya penanggulangan terosisme juga tidak bisa dilakukan pemerintah dalam hal ini hanya melalui Badan Nasional Perlindungan Terorisme (BNPT). Seluruh komponen masyarakat juga sangat penting untuk saling bersinergi bersama pemerintah karena BNPT tidak dapat bekerja sendiri.

“Terorisme imerupakan tanggung jawab kita semua, tidak hanya pemerintah aparatur negara seperti kepolisian atau TNI, dalam hal ini di Indonesia oleh BNPT. Tetapi semua komponen harus bekerja sama memastikan NKRI tetap ada dan negara kesatuan kita ini tidak kemudian diubah dengan cara-cara teror,” ujarnya.

Menurut dia, jika masyarakat mengetahui ada tindakan aneh dari tetangga, jangan mengambil tindakan sendiri. Sebagai warga negara punya kewajiban untuk melapokan kepada penegak hukum atau otoritas setempat tentang keanehan atau kejanggalan yang terjadi di sekitarnya.Kemudian, lanjut dia, aparat penegak hukum yang akan melakukan proses terhadap orang yang dicurigai.
“Tetapi juga saya tidak ingin kita kemudian saling curiga, tetapi yang perlu kita pastikan adalah kalau muncul kecurigaan, kita harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum. Biarlah aparat penegak hukum pemerintah yang melakukan proses itu, bukan individu-individu,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3761 seconds (0.1#10.140)