JPU Patahkan Pleidoi Terdakwa Kasus Penerbitan Ijazah

Selasa, 05 Juni 2018 - 19:03 WIB
JPU Patahkan Pleidoi Terdakwa Kasus Penerbitan Ijazah
JPU Patahkan Pleidoi Terdakwa Kasus Penerbitan Ijazah
A A A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) berikan keterangan terhadap pleidoi atau nota pembelaan terdakwa kasus penerbitan ijazah tanpa izin oleh STT Injili Arastamar dilakukan kemarin. Kedua terdakwa, Matheus Mangentang dan Ernawaty Simbolon, turut dihadirkan.

Sidang dimulai pukul 13.02 dan berakhir pukul 14.11 di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Hardian dan Asnawi selaku JPU pada persidangan membeberkan pembelaannya selama 32 menit.

Ada tiga poin penting dalam pembelaan kedua JPU itu. Pertama terkait penilaian dari penasihat hukum terdakwa, Tommy Sihotang, kepada JPU yang tidak mampu meghadirkan alat bukti sah.

"Berdalil terhadap pleidoi oleh penasihat hukum terdakwa yang menyebutkan bahwa JPU tidak menghadirkan alat bukti sah. Bahwa kami telah menghadirkannya berupa ijazah dan sertifikat yang sah serta asli," tegas Asnawi.

Selain dokumen tersebut, menurut dia, JPU juga menghadirkan alumnus-alumnus hingga pekerja STT Injili Arastamar sebagai saksi fakta. "Lalu ada juga keterangan dari saksi ahli hingga keterangan dari terdakwa juga. Semua kami himpun," tuturnya.

Dia menilai, jika penasihat hukum masih menilai JPU tidak menghadirkan alat bukti sah maka ada kemungkinan penasihat hukum tidak bisa membaca dokumen yang dihadirkan.

Kemudian poin kedua terkait perbedaan ijazah dan sertifikat kompetensi. Aturan keduanya terdapat pada regulasi Pasal 61 UU Nomor 20 Tahun 2003. Asnawi menyebutkan, keduanya adalah hal yang berbeda. Sertifikat kompetensi diberikan untuk para objek ajar yang telah lulus uji kompetensi. Sedangkan ijazah merupakan satu pengakuan terhadap objek ajar yang telah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. ”Ijazah dijelaskan di ayat 2 lalu sertifikat kompetensi di ayat 3,” ungkapnya.

Poin terakhir, masih kata Asnawi, penasihat hukum harus membedakan definisi dari sanksi pidana dan administratif. Dia menyatakan, kedua definisi dari keduanya jelas berbeda. ”Sanksi administratif diberlakukan jika ada permasalahan terhadap pemberian gelar. Lantas, untuk sanksi pidana diberikan jika ada permasalahan terkait perijinan pelaksanaan suatu kegiatan,” papar dia.

Ditemui di tempat yang sama, Hardian mengatakan bahwa pihaknya tidak sependapat dengan pleidoi yang diajukan oleh terdakwa. Dia menyebutkan, acuan dari JPU tetap yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

"UU tersebut jelas kok. Dijelaskan mengenai penerbitan ijazah dan sertifikasi hingga sanksi administrative dan pidana,” jelasnya. ”Kasus ini adalah memberikan ijazah tanpa hak," tambahnya.

Lebih lanjut dia menerangkan, kasus yang menyeret Matheus dan Ernawaty adalah jenis kasus dengan delik formil. Dia mengatakan, delik formil adalah perbuatan yang dilarang.
"Kemudian saat persidangan digelar, ternyata, ada akibat atau kerugian yang muncul kan. Ijazah yang tidak bisa dipakai karena tidak terdaftar di Dikti," tuturnya.

"Lalu dikaitkan dengan Pasal 21 UU Nomor 20 Tahun 2003, gelar yang tidak diakui maka bakal tidak sah. Alhasil tidak berguna," imbuhnya.

Menurutnya, fakta yang juga terungkap dari persidangan yang dimulai sejak Februari lalu itu yakni terkait jumlah penerima ijazah PGSD. Ternyata, kata dia, jumlah penerima ijazah sejak 2003 – 2009 mencapai 659. ”Jika di dakwaan kami ada 654 orang ini lulusan sekali ya. Patokan jaksa adalah yang diluluskan oleh mereka (STT, red),” bebernya.

Dikonfirmasi terpisah, penasihat hukum korban Yakob Budiman Hutapea dari kantor Advokat Sabar Ompu Sunggu mengapresiasi pernyataan dari JPU. Dia menyatakan, memang ada pemisahan antara sanksi administrastf dan pidana. Dalam perkara STT ini sanksi administrative bisa saja pemerintah melakukannya dengan penghentian penyelenggaraan. ”Bersamaan sanksi pidana juga diberikan,” tambahnya.

Setelah JPU memaparkan poin-poin dari pembelaannya, kubu terdakwa bungkam. "Terdakwa melalui penasihat hukum memberikan tanggapan dari pembelaan jaksa pada Rabu (6/6, red)," ujar Hakim Ketua Ninik.

Kedua terdakwa tampak bungkam. Tidak ada kalimat yang keluar ketika diburu oleh awak media. Pun termasuk penasihat hukum terdakwa.

Sebelumnya pembacaan Pledoi oleh kedua terdakwa dugaan penerbitan ijazah Matheus Mangentang, Rektor dan Ketua Yayasan STT Setia (Sekolah Tinggi Teologia Arastamar) dan Direktur STT Setia Ernawaty Simbolon

Di dalam persidangan Matheus dalam pembelaanya mengatakan sejak perkara pidananya disidangkan, dan statusnya menjadi tahanan kota, ia merasa dirugikan baik secara moril dan materil. Sekolah teologia dan yayasan yang dipimpinnya tergganggu, tugas pelayanannya sebagai pendeta terhambat.

"Hampir dua ribu anak tidak mampu yang saya layani terbengkalai, Saya sudah tigapuluh tahun mengabdi, tidak punya apa-apa. Tidak punya rumah, tidak punya uang, tidak punya mobil, kok saya dibeginikan," katanya

Sementara itu pengacara terdakwa Tommy Sihotang SH di dalam persidangan mengatakan, kliennya tidak bersalah. Terbukti ketika kasus ini pernah disidangkan di PN Tangerang dengan tuduhan menipu orang, Matheus menang. Sidang perdata di PN Jakarta Barat sampai kasasi di Mahkamah Agung, juga dimenangkan oleh kliennya. Dalam perkara di PN Jakarta Timur, Matheus dan Direktur STT Setia didakwa menyelenggarakan pendidikan tanpa ijin dan menerbitkan ijazah secara tidak sah.

Kedua dakwaan itu, menurut Tommy, mengada-ada karena, kalau hanya soal perijinan, bisa diurus. Sekarang STT Setia sudah memiliki ijin dan berganti nama menjadi STIKIP. Mengenai ijazah, tidak bisa disebut pelanggaran, karena itu hanya dipergunakan untuk kepentingan internal. Alumni STT Setia akan mengajar di sekolah-sekolah milik STT Setia sendiri yang bertebaran di tanah air.

"Saya hingga kini mempertanyakan keputusan JPU yang menuntut 9 Tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, tuntutan itu lebih parah dari tuntutan terhadap teroris. Itu kan ijazah untuk keperluan internal, yang kedua siapa bilang itu ijazah. Ijazah itu ada bentuk formil dan bentuk materil. Bentuk formilnya ada lambang Diknas, lambang garuda, ada hak dan kewajiban siswa yang memegang ijazah. Di sertifikat yang dikeluarkan STT Setia, tidak ada itu lambang negara dan tulisan yang menjelaskan bahwa lulusan STT Setia bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya. Bahwa kemudian lulusan STT Setia diterima sebagai pegawai negeri, itu kan karena kebijakan dan kebutuhan daerah akan tenaga guru," tandas Tommy.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6796 seconds (0.1#10.140)