Urgensi Pengarusutamaan Moderasi Agama

Selasa, 15 Mei 2018 - 08:15 WIB
Urgensi Pengarusutamaan Moderasi Agama
Urgensi Pengarusutamaan Moderasi Agama
A A A
Imam Safe'i
Direktur Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI

SELAMA 72 tahun mer­deka, pelbagai problem ke­bang­sa­an datang silih ber­ganti menguji eksistensi kita se­bagai sebuah bangsa. Pel­bagai tantangan dan ham­batan terse­but berhasil kita le­wati bersama dengan segala pe­ngorbanan.

Dewa­sa ini tan­tang­an kebang­sa­an kita tidak mengalami masa su­rut. Hanya, kompleksitas prob­lem ke­bang­sa­an berubah seiring peru­bah­an waktu yang berefek pada pe­rubahan eko­nomi, sosial, dan politik. Terorisme, konflik poli­tik, ancaman ideo­logi trans­na­sional, dan radi­ka­lisme agama ada­lah beberapa problem mu­takhir yang kerap menguji rasa kebangsaan kita.

Di sisi lain, kebebasan in­for­masi menyebabkan semua ideo­logi memiliki cukup ruang untuk tumbuh dan ber­kem­bang. Saat ini suara-suara yang berusaha menafikan eksis­ten­si kita sebagai sebuah bangsa dan negara muncul dengan le­bih terbuka.

Negara Kesatuan Re­publik Indonesia (NKRI) yang merupakan warisan foun­ding father bangsa sebagai ijti­had menyatukan bangsa Indo­ne­sia yang beragam mulai di­per­ta­nyakan keabsahannya. Ma­ka itu, tidak mengherankan jika di akhir-akhir ini sering kita mendengar istilah NKRI ada­lah thogut, demokrasi ada­lah kafir, dan sebagainya yang berusaha mendelegitimasi ben­tuk negara Indonesia.

Istilah-istilah tersebut ti­dak hanya menggambarkan ga­gasan semata, tetapi juga me­representasikan gerakan yang ingin mengubah sistem berbangsa dan bernegara yang sudah kita jalani. Pada tingkat tertentu, aspirasi tersebut akan mengancam eksistensi bang­sa kita.

Sementara itu, realitas ke­islam­an terancam dengan infil­tra­si radikalisme agama dan pe­nguatan ideologi takfiri. Ra­di­ka­lisme agama telah menjadi ge­jala umum di pelbagai be­lah­an dunia, termasuk Indo­nesia. Radi­ka­lis­me Islam sendiri ti­dak datang tiba-tiba. Ia lahir da­lam situasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang oleh ka­langan tertentu dianggap me­ru­gikan Islam.

Secara politik, ke­lompok ini menganggap umat Islam bu­kan hanya tidak di­untungkan oleh sistem po­litik yang berkem­bang, tetapi juga merasa dirugi­kan. Sebagai gera­kan keagamaan dan gerak­an po­litik, radikalisme di Indo­nesia tidak bisa dilepas­kan dari ma­rak­nya gerakan yang sama di Timur Tengah seperti Ta­li­ban, al-Qaidah, ISIS, dan men­jadi spi­rit yang signi­fikan da­lam meng­inspirasi radikalisme di Indonesia.

Problem terkini lain yang berkembang terkait keislaman adalah menguatnya ideologi takfiri. Ideologi ini bermuara pada sikap ghuluw (ekstrem) dalam memegang pemahaman terhadap teks agama. Secara tak­tis, ideologi takfiri beru­sa­ha menafikan kelompok Islam lain yang berbeda dengan pe­ma­haman kelompoknya, baik dalam persoalan fikih, teologi, hingga pilihan politik.

Ke­kuat­an sosial media (the power of social media) pada akhir-akhir ini membuat ideologi yang meng­an­cam kebangsaan dan ke­islam­an kita lebih luas ber­gerak. Dunia maya menjadi media pelbagai kelompok untuk menyebarkan ide dan gagasan de­ngan lebih mudah.

Generasi muda sebagai pengguna media sosial menjadi sasaran empuk penyebaran ideologi Islam ra­dikal dan ekstrem. Pelbagai pe­ne­litian menunjukkan pening­kat­an potensi radikalisme di ka­langan remaja dan siswa. Dari konteks inilah, pen­ting­nya peranan guru khususnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dalam mem­ben­tengi siswa dari ideologi radi­kal dan ekstrem.

Peran Guru PAI

Tanggung jawab guru PAI idealnya tidak hanya pada pe­nguatan akademis, tetapi juga harus memberikan perhatian terhadap sikap keberagamaan peserta didiknya. Tren yang ber­kembang saat ini adalah se­mangat keberagamaan yang ting­gi, tetapi tidak diiringi de­ngan pemahaman agama yang memadai sehingga yang terjadi adalah fenomena fanatisme ter­hadap agama tanpa diim­bangi ilmu. Tidak jarang hal ini justru membuat pembelaan agama yang dilakukan dengan melanggar nilai-nilai agama.

Dalam pelbagai kesem­pat­an, Menteri Agama RI me­nyam­paikan agar pendidikan Islam memberikan porsi bagi penguatan moderasi Islam. Moderasi Islam adalah pener­je­mahan dari Islam rahmatan lilíalamin.

Islam moderat meru­pa­kan Islam yang mengambil jalan tengah, tidak ekstrem kan­an, tidak ekstrem kiri, tidak radikal, namun juga tidak li­beral. Sikap moderat (tawasut) me­rupakan ciri dari sikap ke­bera­gamaan umat Islam sesuai dengan pesan Alquran yang mendeklarasikan umat Islam se­bagai ummatan wasatan (umat pertengahan/moderat). Umat yang tidak mengambil sikap ekstremisme dan tin­dak­an yang melampaui batas.

Penguatan moderasi Islam menjadi hal yang mendesak me­lihat fenomena masifnya per­kembangan ideologi radi­kal dan takfiri. Sebab, hal ini da­pat meng­ganggu kehar­mo­nis­an ma­syarakat dan me­nim­bul­kan problem kebangsaan yang besar pada masa yang akan datang.

Untuk itu, generasi mu­­da harus diberikan wa­was­an yang me­ma­dai tentang ke­islaman yang se­na­pas dengan kebangsaan. Islam yang tidak memper­ten­tang­kan agama dan negara, tetapi menem­pat­kan­nya dalam posisi yang sa­ling mengisi se­ba­gaimana su­dah dirumuskan oleh ulama pen­diri bangsa.

Selama ini Direktorat Pen­di­dikan Agama Islam Di­rek­to­rat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama telah me­lakukan pelbagai upa­ya untuk melatih para guru menjadi agen peng­aru­su­t­a­ma­an trans­formasi moderasi Islam yang akan mengan­tar­kan pema­ham­an yang kritis, reflektif, ter­buka, dan toleran melalui pengembangan ranah kognisi, afeksi, dan motorik. Hal itu diwu­judkan dengan pengem­bang­an nilai-nilai ke­agama­an Islam yang moderat sebagai aktualisasi visi Islam rahmatan lil alamin (ISRA).

Direktorat Pendidikan Agama Islam menyadari betul bahwa peran guru menempati posisi sentral yang sangat pen­ting dan strategis dalam menanam­kan pemahaman mode­rat. Dalam konteks itu, guru yang mengerti falsafah pen­di­dikan dan tidak berpan­dangan tung­gal dalam kebera­gaman dapat memainkan pe­ran pen­ting dalam membina anak didik.

Secara sederhana, guru yang moderat adalah guru yang mam­pu memberikan pema­ham­an yang tidak tunggal dan tidak ber­sifat doktriner se­hingga tidak mudah meng­ang­gap pan­dang­an pihak lain me­nyimpang. Guru adalah pa­nut­an yang men­junjung per­da­mai­an dan meng­har­gai perbedaan.

Dialog dan dis­kusi menjadi jembatan peng­hubung sebagai persemaian mo­derasi agama yang dilakukan oleh guru. Dialog dan diskusi yang dilaku­kan oleh guru tidak bersifat me­maksa, tapi sebagai bahan un­tuk memperkaya penge­­t­a­hu­an. Hal ini diwu­jud­kan sebagai evaluasi agar para siswa tidak teracuni dan tak terob­sesi oleh yang terbenar (the only truth) dan kuasa (power).

Untuk mewujudkan hal itu, guru dituntut untuk mem­be­rikan atmosfer pembelajaran yang mengajarkan tentang to­le­ransi. Guru adalah narasumber yang moderat yang menjadi delegasi untuk menguatkan ikhtiar pembumian moderasi agama.

Dengan kata lain, guru merupakan perwujudan dari per­semaian suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pem­bentukan sikap karena men­jadi bagian peletak dasar pe­ngertian dan konsep moral da­lam diri siswa. Adapun jalur yang bisa dilakukan oleh guru dalam pengarusutamaan Pen­di­dikan Agama Islam yang mo­derat dapat dilakukan dengan dua jalur yaitu moderasi wa­ca­na dan moderasi perilaku.

Mo­de­rasi wacana menjadi strategi dal­am penguatan sikap mo­de­rat mulai pemikiran dan ideo­logi dengan menampilkan si­kap tawasuth dalam perjuang­an menyebarkan syiar Islam, ter­buka terhadap ajaran, ideo­logi, kepercayaan, dan seba­gai­nya. Sementara moderasi pe­ri­laku menjadi strategi dalam penguatan sikap moderat yang ditindaklanjuti dengan perila­ku toleran terhadap pihak lain yang berbeda pandangan.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7645 seconds (0.1#10.140)