Saksi Ahli Terdakwa Sebut STT Setia Tak Tepat Kena Sanksi

Senin, 14 Mei 2018 - 21:01 WIB
Saksi Ahli Terdakwa Sebut STT Setia Tak Tepat Kena Sanksi
Saksi Ahli Terdakwa Sebut STT Setia Tak Tepat Kena Sanksi
A A A
JAKARTA - Sidang lanjutan dugaan penerbitan ijazah palsu STT Injili Arastamar, Matheus Mangentang dan Ernawaty Simbolon di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), mendengarkan keterangan saksi ahli dari terdakwa.

Sidang dimulai pukul 13.50 di ruang sidang utama. Saksi ahli hukum pidana, Eva Achjani, memberikan keterangan selama sejam sembilan menit. Selama memberikan kesaksian, Eva justru menyalahkan pemerintah sebagai pengontrol pelaksana pendidikan.

"Sebetulnya begini, ini ada satu peristiwa yang menurut saya adalah penyelenggaraan pendidikan. Ada satu program pemerintah yang harusnya dibantu," tuturnya di PN Jaktim, Senin (14/5/2018).

Eva menilai jika kasus ini tidak pas jika dikenakan sanksi pidana maupun administrasi. "Ini kesalahannya adalah kesalahan pemerintah. Sebenarnya apa sih yang dibutuhkan oleh korban? Yakni memperbaharui dokumen," ujarnya.

Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Asnawi menyatakan, perkara tersebut layak dikenakan sanksi pidana bukan sanksi administrasi. Karena dari fakta-fakta di persidangan, baik dari Dikti dan Ditjen Bimas Kristen, terugkap apabila STT Injili Arastamar tidak pernah meminta izin penyelanggaraan PGSD.

"Bahkan, saksi yang meringankan terdakwa yaitu saksi Polrasi menyatakan jika Ditjen Dikti baru tahu adanya PGSD di 2010. Setelah ada laporan dari masyarakat dan Kopertis," papar Asnawi.

Lebih lanjut dia menjelaskan, dirinya menilai ada dua kesalahan yang dilakukan STT Injili Arastamar. Pertama, sejak 2003-2009 tidak ada niat dari para terdakwa untuk mengurus perizinan PGSD ke Ditjen Dikti.

Lalu kedua, sanksi administrasi yang telah dijatuhkan oleh Ditjen Dikti tidak dipenuhi terdakwa. "Yang diharuskan menyekolahkan lagi 659 alumnus PGSD ke sekolah tinggi lain. Ini masalah sanksi administrasi," imbuhnya.

Dia menyatakan, ketika sanksi admisnitrasi tidak dipenuhi oleh para terdakwa maka prinsip Mens Rea berbicara. "Di mana ada kesangajaan dan kehendak jahat di situ. Sehingga hukum pidana dapat digunakan dalam perkara ini," tegasnya.

Perdebatan sanksi administari dan pidana diakhiri dengan pernyataan salah seorang anggota hakim, Dwioyono. "Saksi, tapi kedua sanksi ini bisa diterapkan secara bersamaan kan? Sanksi administrasi iya, sanksi pidana juga iya kan?," ucapnya.

Mendengar pertanyaan Dwiyono, Eva mengatakan bahwa kedua sanksi tersebut bisa digunakan secara bersamaan. Penasihat hukum terdakwa Tommy Sihotang mengaku senang mendengar pernyataan dari saksi ahli yang ia datangkan. "Bagus sekali," ucapnya singkat.

Sementara penasihat hukum dari pihak korban, Yakob Budiman Hutapea dari Kantor Advokat Sabar Ompu Sunggu, mengaku bahwa keterangan saksi ahli tidak berkompeten. Dia menjelaskan, sanksi administrasi dan pidana berdiri sendiri-sendiri.

Menurutnya, sanksi administrasi tidak bisa menghapuskan sanksi pidana. "Dan yang jelas memiliki sanksi-sanksi sendiri," ungkapnya.

Kemudian lanjutnya, sikap ahli yang menyalahkan pemerintah sangat tidak tepat. Sebab, sesuai dengan asas hukum bahwa masyarakat dianggap mengetahui hukum sejak dipublikasikan.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4661 seconds (0.1#10.140)