Fotografer SINDO Gelar Pameran Foto Terkait Nusantara

Minggu, 13 Mei 2018 - 02:04 WIB
Fotografer SINDO Gelar Pameran Foto Terkait Nusantara
Fotografer SINDO Gelar Pameran Foto Terkait Nusantara
A A A
JAKARTA - Untuk kesekian kalinya fotografer Koran SINDO Hasiholan Siahaan menggelar pameran foto sekaligus peluncuran buku yang bercerita kearifan lokal Nusantara, hasil jepretan kameranya.

Pameran daan peluncuran buku fotografi berjudul "Barus, Kota Emporium dan Peradaban Nusantara" ini, rencananya digelar Sabtu (19/5/2018), di Institut Francais d’Indonesie, Jakarta.

Sebelumnya Hasiholan juga telah meluncurkan buku fotografi berjudul Danau Toba dan Mangongkal Holi, serta bersama dua fotografer lainnya membuat buku Eksotika Bromo.

"Ini (pameran dan peluncuran buku) sebagai wujud kreatif saya sebagai fotografer profesional yang sudah berkecimpung di media nasional sejak 10 tahun silam," ujar pria yang akrab disapa Olan ini.

Menurut Olan, sebagai fotografer ada kebanggaan ketika dirinya mampu menceritakan keindahan alam dan budaya luhur Nusantara melalui sebuah gambar, dalam hal ini foto.
Olan pun berharap, melalui bukunya ini ada kesadaran yang lebih tinggi dari masyarakat untuk menjaga dan melestarikan budaya yang dimiliki.

"Apalagi jauh sebelum Nusantara ini ada, kota Barus sudah lama dikenal terutama oleh para pelaut-pelaut yang kala itu mencari rempah-rempah. Karena memang, menurut riwayatnya dulu Kota Barus ini dikenal sebagai pusat tanaman kamper atau kemenyan, untuk bahan baku kapur barus," kata Olan.

Olan juga menceritakan, selain mendapatkan langsung foto jejak tanaman kamper, makam tua dan aktivitas masyarakat di Kota Barus, ia juga berhasil menjepret sebuah tiang kayu tertimbun dalam pasir pantai, yang diyakini masyarakat setempat bekas tiang pelabuhan kuno di Kota Barus.

"Banyak sekali foto-foto yang menceritakan kejayaan Barus di masa lampau. Untuk lebih jelasnya, nanti datang saja ke pamerannya dan melihat langsung foto-foto tersebut," kata Olan.

Sejumlah tokoh, pengamat dan akademisi direncanakan menghadiri pameran dan peluncuran buku ini, di antaranya Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Duta Besar Perancis untuk Indonesia Jean-Charles Berthonnet, Wakil Ketua DPD Damayanti Lubis, Wakil Ketua Komisi VIII Fraksi PKB Marwan Dasopang dan Menteri Pemberdayaan Perempuan 2004-2009 Meutia Hatta.

Lalu, Ketua Umum Kowani Giwo Rubiyanto Wiyogo, Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Sibarani, Ketua Umum Taruna Merah Putih Maruarar Sirait, Ketua Lembaga Riset Keamanan Cyber Pratama Persada, Direktur PT Astra Graphia Arifin Pranoto, Arkeolog Universitas Indonesia (UI) Ghilman Asalini, Pemerhati Barus Irawan Santoso, pengamat Timur Tengah sekaligus Pembina Yayasan Zawiyah dan Ma'had Arraudhah Al Akh Muhammad Danial Nafis, dan banyak lagi undangan lainnya.

Selain pameran dan peluncuran buku, acara juga dirangkai buka bersama dan pembagian santunan kepada anak yatim serta lelang foto Barus. "Hasil lelang ini nantinya kan disumbangkan untuk sekolah NU di Kota Barus," ujar Olan.

Sekadar catatan, pada abad ke 7 Masehi, agama Islam telah ada di Barus, kota tua yang terletak di pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Barus menjadi pintu masuknya Islam di Indonesia, jauh lebih tua dari sejarah Wali Songo, penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Bahkan pada 2017 lalu, Presiden Joko Widodo langsung meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam di Kota Barus.

Literatur sejarah juga banyak menyebutkan bahwa agama Islam di Indonesia pertama kali hadir di Barus. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, pada abad ke-7. Di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriyah, menguatkan adanya komunitas Muslim pada masa itu.

Barus berjarak 290 kilometer dari Kota Medan, ibukota Sumatera Utara. Jika ditempuh melalui jalur darat memakan waktu sekitar 7 jam perjalanan. Dari Kota Sibolga, butuh waktu perjalanan darat sekitar 2 jam saja.

Barus merupakan tempat bersejarah dan saat ini menjadi salah satu tujuan wisata religi di Sumatera Utara. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mengenal Barus karena minimnya informasi mengenai kota tua tersebut.

Padahal, Barus banyak menyimpan benda-benda kuno bersejarah seperti perhiasan, mata uang dari emas dan perak, prasasti dan fragmen arca. Selain itu, terdapat makam para auliya dan ulama penebar Islam di Indonesia abad ke 7 silam.

Di antaranya Makam Papan Tinggi, Makam Mahligai, Makam Syekh Mahdun, Makam Syekh Ibrahim Syah, Makam Tuan Ambar, Makam Tuan Syekh Badan Batu. Posisi Barus yang terletak di pinggir Pantai Barat Pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan lautan lepas Samudra Hindia membuatnya dikenal oleh dunia pada abad ke-7.

Berkat hasil hutannya, kamper, kemenyan dan emas, Barus menjadi kota yang kerap dikunjungi banyak saudagar-saudagar di seluruh dunia. Nama Barus juga muncul dalam sejarah perabadan Melayu lewat Hamzah Fansyuri, penyair sufi terkenal.

Barus juga dikenal dengan nama Pancur, kemudian diubah ke dalam bahasa Arab menjadi Fansur. Dalam buku "Barus Seribu Tahun yang Lalu" yang ditulis arkeolog Perancis Claude Guillot dibantu beberapa penulis lainnya menyebutkan, Barus termasuk dalam golongan kota-kota kuno yang terkenal di seluruh Asia sejak abad ke-6 Masehi.

Ada juga pandangan lain menyebutkan bahwa Barus adalah pelabuhan tertua di Indonesia. Dalam karya geografis Ptolemaeus tercatat lima pulau yang dinamakan "Barousai", nama yang dikaitkan dengan Barus oleh para ahli sejarah.

Nama Barus sudah lama muncul apabila diterima pendapat bahwa "Barousai" adalah Barus. Kemudian nama ini tercatat dalam sejarah Dinasti Liang, Raja Tiongkok Selatan yang memerintah pada abad ke-6. Setelah itu Barus selalu disebut-sebut sampai sekarang dan kerap dihubungkan dengan kamper.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3343 seconds (0.1#10.140)