Mencermati IHSG dan Rupiah

Jum'at, 27 April 2018 - 07:30 WIB
Mencermati IHSG dan Rupiah
Mencermati IHSG dan Rupiah
A A A
Indeks harga saham gabungan (IHSG) turun tajam dalam dua hari terakhir. Pada 25 April IHSG terperosok 2,51% ke level 6.073,01. Pelemahan IHSG berlanjut pada 26 April 2018. Tinta merah IHSG mencatat pelemahan 170 poin ke 5.909,198 atau turun 2,80%. Memang banyak faktor yang mendorong pelemahan IHSG.

Pelemahan tidak serta-merta disebabkan faktor ekonomi dalam negeri. Sebab, indikator makroekonomi nasional menunjuk­kan tren meningkat. Ditambah lagi banyak perusahaan yang mengumumkan kinerja bagus dan membagikan dividen kepada para pemegang sahamnya. Lalu apa penyebabnya? Secara umum, banyak hal yang memengaruhi naik turunnya IHSG. Di antaranya faktor eksternal seperti kondisi per­ekono­mi­an global.

Meski dampaknya hanya pada level psikologis, masalah krisis di Suriah dan mulai naiknya harga minyak juga memberikan dampak bagi pasar saham. Jangan lupa, faktor profit taking yang dilakukan investor pun juga akan memengaruhi fluktuasi pasar saham.

Kondisi fundamental ekonomi makro di level global juga memiliki dampak langsung terhadap naik dan turunnya harga saham. Misalnya naik atau turunnya suku bunga yang diakibatkan kebijakan bank sentral Amerika (Federal Reserve). Naik atau turunnya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan nilai ekspor impor yang berakibat langsung pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Tingkat inflasi juga termasuk dalam salah satu faktor kondisi ekonomi makro. Pengangguran yang tinggi diakibatkan faktor keamanan dan guncangan politik juga berpengaruh secara langsung terhadap naik atau turunnya harga saham.

Selain faktor-faktor itu, hubungan antara tingkat suku bunga perbankan dan pergerakan harga saham juga sangat jelas. Ketika suku bunga perbankan melejit, harga saham yang diperdagang­kan di bursa akan cenderung turun tajam. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Pertama, ketika suku bunga perbankan naik, banyak investor yang mengalihkan investasinya ke instrumen perbankan semisal deposito. Dengan naiknya suku bunga tersebut, investor dapat meraup keuntungan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan berinvestasi saham. Menguat atau melemahnya kurs rupiah terhadap mata uang asing sering kali menjadi penyebab naik turunnya harga saham di bursa. Ini sangat masuk akal karena konsekuensi dari fluktuasi kurs ter­sebut bisa berdampak positif ataupun negatif bagi perusahaan-perusahaan tertentu, khususnya yang memiliki beban utang mata uang asing.

Perusahaan importir atau perusahaan yang memiliki beban utang mata uang asing akan dirugikan akibat melemahnya kurs. Sebab, hal ini akan berakibat pada meningkatnya biaya operasio­nal dan secara otomatis juga mengakibatkan turunnya harga saham yang ditawarkan.

Lalu bagaimana dengan nilai tukar rupiah? Setali tiga uang, nilai tukar rupiah juga masih menunjukkan tren melemah, khususnya terhadap dolar AS. Bahkan Bank Indonesia (BI) mendesak korporasi untuk melakukan lindung nilai (hedging) terhadap kebutuhan valuta asing (valas) di atas persyaratan minimal.

BI juga menegaskan skema lindung nilai akan membantu stabilitas di pasar mata uang. Risiko volatilitas rupiah yang meningkat belakangan juga muncul karena banyak perusahaan membayar utang luar negeri dan mengalihkan dividen ke luar negeri. Semua itu mendorong tingginya permintaan terhadap dolar AS. Meskipun BI akan terus menjaga stabilitas mata uang, tentunya Bank Sentral kita membutuhkan dukungan banyak pihak untuk mempertahankan stabilitas rupiah.

Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai funda­mentalnya, Bank Indonesia perlu terus melakukan intervensi baik di pasar valas maupun pasar surat berharga negara (SBN). Tentu kita semua tidak ingin memburuknya pasar saham dan pasar uang dalam sepekan terakhir memberikan dampak tidak baik terhadap perekonomian nasional. Apalagi di tahun politik seperti saat ini.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2567 seconds (0.1#10.140)