Menyoal Kitab Suci Itu Fiksi

Jum'at, 20 April 2018 - 08:07 WIB
Menyoal Kitab Suci Itu Fiksi
Menyoal Kitab Suci Itu Fiksi
A A A
Dalam program In­do­nesia Lawyers Club di sebuah te­le­vi­si swasta pada 10 April 2018 Rocky Gerung me­ngatakan, kitab suci itu fik­si. Menurut dia, fiksi itu sangat ­ba­gus karena merupakan ener­gi untuk membangkitkan ima­ji­na­si. Kitab suci itu, kata Ro­cky, adalah fiksi karena belum selesai.

Babad Jawa itu fiksi. Fung­si fiksi, kata dia men­je­las­k­an, untuk mengaktifkan ima­ji­nasi, menuntun kita untuk be­r­pikir lebih imajinatif. Rocky mem­bedakan antara kata fiksi dan fiktif. Dia menerangkan, fik­s­i adalah kata benda, yaitu li­te­ratur, selalu ada pengertian li­te­ratur dalam fiksi. Dia meng­klaim mempunyai argumen ke­t­i­ka mengatakan kitab suci itu fik­si karena dia berharap ter­ha­dap eskatologi dari kitab suci. “Te­tapi kalau saya bilang kitab su­ci itu fiktif,” kata dia, “besok sa­ya dipenjara.”

Dalam konteks ini kita perlu mem­buka Kamus Besar Ba­ha­sa Indonesia (KBBI) untuk me­nge­tahui pengertian yang ba­ku, akurat, dan benar tentang ka­ta fiksi dan fiktif. Inilah me­to­de ilmiah bagi ilmuwan un­tuk memahami makna yang ba­ku dan benar tentang pe­nger­ti­an suatu kata atau istilah.

Ru­juk­an kamus atau ensiklopedia sa­ngat penting untuk me­nya­ma­kan persepsi dan pe­nger­ti­an bagi para akademisi dan il­mu­wan agar tidak terjadi silang pend­­apat yang menyebabkan to­p­ik atau wacana yang di­dis­ku­si­kan menjadi kacau dan sim­pang siur. Yang satu meng­
ar­t­ikan begini, yang lain meng­art­ikan begitu. Diskursus atau to­p­ik yang dibahas tidak nyam­bung dan ngalor ngidul, tidak il­miah, dan tidak akademis.

KBBI memberikan tiga mak­na tentang kata fiksi, yaitu (1) cerita rekaan (roman, novel, dsb); (2) rekaan, khayalan, ti­dak ber­dasarkan kenyataan. KBBI me­ngemukakan contoh: na­ma Me­nak Moncer adalah na­ma to­koh fiksi, bukan tokoh se­jarah; (3) pernyataan yang ha­nya ber­da­sarkan khayalan atau pi­kir­an. Selanjutnya, me­nu­rut KBBI, kata fiktif berarti ber­sifat fik­si; hanya terdapat di kha­y­al­an. KBBI memberikan
co­n­toh: ce­rita “Pengantin Kali Ci­li­wung” ini adalah cerita fik­tif be­la­ka; contoh lain: bulan ini ia ter­paksa membuat laporan fik­tif kegiatan yang dikelolanya.

Itulah makna kata fiksi dan fik­tif yang saya kutip dari ka­mus otoritatif KBBI yang dis­u­sun oleh para pakar bahasa In­do­nesia. Saya yakin, penger­ti­an kata fiksi dan fiktif yang di­be­rikan dalam KBBI itu me­ru­pa­kan pengertian yang baku, aku­rat, dan benar. Saya sedikit pun tidak meragukan penger­ti­an kata fiksi dan fiktif yang ter­dapat dalam KBBI itu.

Jadi, me­nurut KBBI, pemakaian ka­ta fiksi dan fiktif itu tergantung pa­d­a konteksnya. Kalau yang di­maksudkan adalah ben­da­nya, maka yang digunakan ada­lah kata fiksi. Kalau yang di­mak­­sudkan adalah kata sifa­t­nya, maka yang dipakai adalah ka­ta fiktif. Pada intinya, makna ka­ta fiksi dan fiktif adalah iden­tik, yaitu cerita rekaan, kha­yal­an, dan tidak berdasarkan ke­nya­taan. Berdasarkan makna, ka­ta fiksi dan fiktif yang di­be­ri­kan dalam KBBI ini, pe­ma­ham­an Rocky Gerung yang mem­be­da­kan pengertian kata fiksi dan fik­tif adalah tidak akurat.

Pertanyaan kritis saya se­ba­gai ilmuwan dan akademisi, Ro­cky Gerung merujuk kepada ka­mus atau ensiklopedia apa da­lam mengartikan kata fiksi dan fiktif? Ini perlu dipertanya­kan ­kep­adanya karena dia-se­per­ti dikutip di atas-mem­be­da­kan pengertian kata fiksi dan fik­tif. Menurut dia, kata fiksi me­miliki konotasi positif ka­re­na merupakan kekuatan energi yang mengaktifkan dan me­m­bang­kitkan imajinasi.

Adapun kata fiktif, menurut dia, mem­pu­nyai konotasi negatif yang ber­arti rekaan atau khayalan. Ka­r­ena itu, dia mengatakan akan dipenjara kalau dia me­nga­­takan kitab suci adalah fik­tif. Jika pun dia memaknai kata fik­si itu menurut pengertian fil­safat–jika menurut dia ada–saya tidak sependapat. Sa­ya sebagai ilmuwan dan aka­de­mi­si lebih percaya kepada ka­mus atau ensiklopedia yang men­jadi rujukan baku dan acu­an otoritatif keilmuan dan ak­a­de­mik dalam mengartikan ka­ta fiksi dan fiktif.

Saya setuju dengan per­nya­ta­an Rocky Gerung yang me­ya­kini bahwa kitab suci itu mem­be­rikan kekuatan energi yang mem­bangkitkan dan meng­ak­tif­kan imajinasi dan me­nun­tun para pemeluknya menjadi le­bih imajinatif. Namun, dalam hal ini saya lebih suka be­rp­en­da­pat bah­wa kitab suci itu mem­be­ri­kan energi kekuatan “in­s­pirasi” dan “motivasi” se­lain berisi kon­ten dan muatan po­koknya se­bagai ajaran, pe­tun­juk,
tun­tun­an, bimbingan, dan pe­do­man hidup para pe­me­luknya.

Ar­tinya, kitab suci itu berfungsi dan berperan se­ba­gai kekuatan pen­ting dan stra­tegis yang mem­berikan, meng­aktifkan, dan mem­ban­g­kit­kan inspirasi dan motivasi ba­gi para pe­me­luk­nya. Jadi ki­tab suci itu, me­nu­rut saya, mem­­berikan tena­ga kekuatan ins­pirasi dan mo­ti­va­si, bukan ke­kuatan pem­bang­kit ima­ji­na­si yang oleh Ro­cky Gerung di­se­but fiksi.

Dalam pernyataan ko­n­tro­ver­­­sialnya, Rocky Gerung meng­­­­­generalisasi semua kitab su­­c­­­i (tentunya termasuk Al­qur­an) adalah fiksi. Dalam konteks ini saya ingin mengajukan ar­gu­men­tasi bahwa Alquran se­ba­gai ki­tab suci adalah bukan fik­si (bu­kan hasil rekaan, karya kha­yal­an, dan tidak be­r­da­sar­kan fakta; ca­tat, fiksi menurut pe­ngertian KBBI, bukan m­e­nu­rut penge­r­t­i­an kontroversial Ro­cky Ge­rung).

Sejarah Al­qur­an sebagai ki­tab suci sangat te­rang bend­e­rang. Alquran me­ru­pakan kum­pul­an wahyu Allah yang dit­u­run­­kan kepada Na­bi M­u­ham­mad SAW (570-632 M) melalui pe­rantaraan Ma­laikat Jibril. Nabi Mu­ham­mad pertama kali me­nerima wah­yu di Gua Hira pa­da 17 Ra­ma­dhan tahun pe­r­ta­ma ke­na­bi­an (610 M).

Nabi Muhammad me­ne­ri­ma wahyu selama 23 tahun (13 ta­hun di Mekkah dan 10 di Ma­di­nah). Nabi membacakan wah­yu itu kepada para
sa­ha­bat­nya dan meminta para­ s­a­ha­bat­nya mencatat ayat-ayat Al­qur­an itu di kulit binatang, pelepah kur­­ma, atau di batu tipis karena pa­da masa itu belum ada kertas dan percetakan.

Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M) mu­lai mengumpulkan ayat-ayat Alquran dan upayanya di­te­ruskan oleh Khalifah Usman bin Affan (644-656 M). Rin­g­kas kata, sejarah turunnya dan pe­ngumpulan wahyu yang ke­mu­dian dikompilasikan dalam ben­tuk kitab suci yang
di­na­ma­kan Alquran itu sangat jelas dan te­rang benderang. Alquran m­e­ru­pakan realitas ilahiah, fakta nu­buwah (kenabian), bukan ha­sil rekaan, bukan karya kha­ya­l­an, bukan kitab yang di­su­sun berdasarkan imajinasi. Te­gas­nya, Kitab Suci Alquran bu­kan fiksi.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4371 seconds (0.1#10.140)