Tingkatkan Integritas Hakim, Pendidikan Etika Profesi Harus Diperkuat

Rabu, 21 Maret 2018 - 15:55 WIB
Tingkatkan Integritas Hakim, Pendidikan Etika Profesi Harus Diperkuat
Tingkatkan Integritas Hakim, Pendidikan Etika Profesi Harus Diperkuat
A A A
JAKARTA - Program pendidikan terkait etika profesi hakim perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan secara reguler oleh Komisi Yudisial, Mahkamah Kehormatan Hakim, maupun Dewan Etik Hakim Konstitusi. Program ini dinilai mampu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan hakim terhadap etika profesinya.

"Pelatihan kode etik dan perilaku bukan hanya untuk hakim. Standar etika bagi personel pengadilan lainnya sama pentingnya dengan standar etika bagi hakim. Semisal bagi panitera, panitera pengganti, atau pegawai administratif lainnya yang bekerja di lingkungan badan peradilan. Sehingga semua pihak bisa menjaga harkat dan martabatnya," kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet) saat menjadi keynote speech membuka seminar “Kedudukan Peradilan Etik dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman”, yang juga dihadiri Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali di Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Politisi Golkar ini menegaskan etika harus menjadi sumber kekuatan dalam sistem hukum Indonesia. Pelanggaran kode etik yang dilakukan para hakim harus mendapat penanganan serius dan tidak bisa terus dibiarkan.

"Jika etika dijadikan sumber kekuatan dalam sistem hukum kita, saya yakin kita tidak akan mendengar lagi ada hakim atau penegak hukum yang terlibat korupsi, apalagi sampai terkena OTT KPK," ujarnya.

Menurutnya, etika mempunyai peran penting bagi para hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai “wakil Tuhan” di dunia. Persoalan etika hakim juga berhubungan erat dengan dengan soal profesionalitas dan integritas hakim secara pribadi.

“Hakim selain sebagai penegak hukum yang memegang peranan kunci dalam memutuskan perkara secara adil, juga dituntut mampu menjadi contoh teladan yang baik bagi masyarakat," jelasnya.

Pelanggaran etika oleh hakim menunjukkan kurangnya profesionalitas dan integritas moral yang akan semakin memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pengadilan. “Siapapun yang melakukan pelanggaran, bukan hanya diproses secara hukum, tetapi juga mendapatkan sanksi sosial melalui peradilan etik," lanjutnya.

Mantan Ketua Komisi III DPR ini mengungkapkan etika telah tumbuh dan berkembang sebagai norma yang lebih konkret. Kehidupan peradilan tidak hanya pada penegakan hukum (rule of the law) semata, tetapi juga pada urgensi penegakan etika dan moralitas (rule of ethics).

Ia menggambarkan, rule of ethics tak hanya berada di kekuasaan kehakiman saja. Seperti ditandai adanya Komisi Yudisial, Mahkamah Kehormatan Hakim, maupun Dewan Etik Hakim Konstitusi. Namun juga telah melekat ke hampir setiap poros kekuasaan negara.

Di DPR RI misalnya dibentuk Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Demikian pula di penyelenggaraan Pemilu ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).

"Sama seperti peradilan etik lainnya, keberadaan MKD bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Hal ini diatur dalam UU No 17/2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD," paparnya.

Politisi Partai Golkar ini menilai keberadaan Komisi Yudisial, Mahkamah Kehormatan Hakim, maupun Dewan Etik Hakim Konstitusi memiliki peranan dan kedudukan yang sangat signifikan dalam menjaga keluhuran martabat hakim. “Semua pihak tentu menginginkan para hakim dapat menjadi teladan dalam penegakan hukum, serta secara khusus dalam pemberantasan korupsi di Indonesia," tuturnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5203 seconds (0.1#10.140)