Akademisi IPB Dukung Semangat Penyederhanaan Izin RUU Cipta Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi, sepakat dengan semangat penyederhanaan izin dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Pangkalnya, berbelit-belitnya proses birokrasi membuat investasi tersendat.
(Baca juga: Wakil Ketua Komisi I DPR Nilai RUU Ciptaker Bisa Lemahkan KPI)
"Izin-izin itu dipangkas. Nanti satu pintu via BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Saya sepakat itu," katanya saat dihubungi, Senin (10/8/2020).
(Baca juga: Pengangguran Harap RUU Cipta Kerja Disahkan Agustus 2020)
Kebijakan yang berlaku saat ini, ungkapnya, sangat birokratis dan menghambat investasi. Dicontohkannya dengan proses pendirian agroindustri.
"Pernah ada orang mau investasi bawang putih dan bawa bibit dari China, untuk masuk melalui Karantina itu prosedurnya berbelit-belit," ungkapnya.
"Memang setiap plasma nuftah harus ketat, tapi harus jelas, seperti sampel berapa hari selesai. Jangan alasan au-au, jadinya seminggu lebih, 14 hari," sambung dia.
Prisma pun mengapresiasi dengan adanya kewajiban bagi investor untuk melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal dalam RUU Cipta Kerja. Namun, disarankan ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah (pemda) sebelum investasi dilakukan.
Dirinya mendorong demikian agar investasi yang akan dilakukan berkesesuaian dengan kompetensi. Sehingga, sumber daya manusia (SDM) setempat terserap sebagai tenaga kerja.
"Pengawasan amdal (analisis dampak lingkungan) juga harus dilakukan di lapangan. Hukum jangan tebang pilih," tegasnya.
Keberadaan RUU Cipta Kerja, tambahnya, kelak bakal berdampak terhadap pertumbuhan agroindustri. Pangkalnya, akan mendorong peningkatan tenaga kerja dan mendongkrak konsumsi pangan. "Di situlah kontribusi positif."
Meski demikian, dirinya berharap, beleid sapu jagat (omnibus law) tersebut diarahkan kepada sektor terbarukan, seperti agroindustri. Alasannya, sektor pertanian paling prospektif di tengah pandemi coronavirus baru (Covid-19).
"Sekarang intinya, bagaimana caranya genjot kewirausahaan bidang pertanian, dimulai dengan agroindustri. Harus diarahkan ke sana, harus ada klausul itu," sarannya.
Dia mengingatkan, tumbuhnya wirausaha (entrepreuner) ataupun usaha rintisan (startup) bidang pangan, baik pertanian maupun perikanan, akan memotong rantai distribusi. "Middle man dipotong, sehingga keuntungan dirasakan petani dan masyarakat," jelasnya.
(Baca juga: Wakil Ketua Komisi I DPR Nilai RUU Ciptaker Bisa Lemahkan KPI)
"Izin-izin itu dipangkas. Nanti satu pintu via BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Saya sepakat itu," katanya saat dihubungi, Senin (10/8/2020).
(Baca juga: Pengangguran Harap RUU Cipta Kerja Disahkan Agustus 2020)
Kebijakan yang berlaku saat ini, ungkapnya, sangat birokratis dan menghambat investasi. Dicontohkannya dengan proses pendirian agroindustri.
"Pernah ada orang mau investasi bawang putih dan bawa bibit dari China, untuk masuk melalui Karantina itu prosedurnya berbelit-belit," ungkapnya.
"Memang setiap plasma nuftah harus ketat, tapi harus jelas, seperti sampel berapa hari selesai. Jangan alasan au-au, jadinya seminggu lebih, 14 hari," sambung dia.
Prisma pun mengapresiasi dengan adanya kewajiban bagi investor untuk melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal dalam RUU Cipta Kerja. Namun, disarankan ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah (pemda) sebelum investasi dilakukan.
Dirinya mendorong demikian agar investasi yang akan dilakukan berkesesuaian dengan kompetensi. Sehingga, sumber daya manusia (SDM) setempat terserap sebagai tenaga kerja.
"Pengawasan amdal (analisis dampak lingkungan) juga harus dilakukan di lapangan. Hukum jangan tebang pilih," tegasnya.
Keberadaan RUU Cipta Kerja, tambahnya, kelak bakal berdampak terhadap pertumbuhan agroindustri. Pangkalnya, akan mendorong peningkatan tenaga kerja dan mendongkrak konsumsi pangan. "Di situlah kontribusi positif."
Meski demikian, dirinya berharap, beleid sapu jagat (omnibus law) tersebut diarahkan kepada sektor terbarukan, seperti agroindustri. Alasannya, sektor pertanian paling prospektif di tengah pandemi coronavirus baru (Covid-19).
"Sekarang intinya, bagaimana caranya genjot kewirausahaan bidang pertanian, dimulai dengan agroindustri. Harus diarahkan ke sana, harus ada klausul itu," sarannya.
Dia mengingatkan, tumbuhnya wirausaha (entrepreuner) ataupun usaha rintisan (startup) bidang pangan, baik pertanian maupun perikanan, akan memotong rantai distribusi. "Middle man dipotong, sehingga keuntungan dirasakan petani dan masyarakat," jelasnya.
(maf)