Saatnya Cegah Kekerasan pada Anak

Minggu, 25 Februari 2018 - 09:08 WIB
Saatnya Cegah Kekerasan pada Anak
Saatnya Cegah Kekerasan pada Anak
A A A
JAKARTA - Mungkin tidak banyak orang tua menyadari bahwa yang mereka lakukan sebenarnya membuka peluang terjadinya kekerasan seksual kepada anak.

Ini karena banyak orang tua yang kurang memahami batasan kekerasan. Tidak aneh bila kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia seperti fenomena di gunung es. Asdep Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rini Handayani mengatakan, hasil survei yang dilakukan pihaknya dan DPR diketahui kekerasan seksual terjadi pada 6% anak Indonesia.

“Sebagian besar kepada anak laki-laki,” kata dia saat dihubungi. Persentasenya diperkirakan bisa lebih besar lagi. Mengingat pada saat ini belum ba nyak orang tua atau anak yang menyadari bahayanya kekerasan seksual terhadap anak. Tidak mengherankan kalau sejumlah kalangan menilai kekerasan seksual terhadap anak layaknya fenomena di gunung es.

Artinya lebih banyak kasus tidak diketahui dari data yang tersedia. Situasi seperti itu tentu tidak boleh berlanjut mengingat dampak dari kekerasan seksual terhadap anak bisa meluas dan terakselerasi. Itulah sebabnya menurut Rini, ada beberapa hal yang bisa terjadi jika terjadi kasus kekerasan seksual kepada anak.

Kekerasan seksual kepada anak bisa memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Bagaimana bisa? Karena banyak korban kekerasan seksual menjadi enggan melanjutkan bisa jenjang pendidikan. Ini karena korban menjadi minder atau malu ketika bertemu dengan rekan sekolahnya.

Parahnya lagi, tidak sedikit rekan korban di sekolah mem-bully dengan perkataan yang tidak baik. Kekerasan seksual kepada anak juga memengaruhi mental dan sikap korban. Jika tidak direhabilitasi, di masa depan korban akan menjelma menjadi pelaku. Seperti itu lah perputarannya.

Kondisi ini akan berbahaya karena tentunya negara tidak ingin melihat semakin banyak warganya yang menjadi korban kekerasan seksual. Itulah sebabnya pemerintah harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk merehabilitasi anak korban kekerasan seksual.

Apalagi terkadang membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menormalkan anak setelah menjadi korban kekerasan seksual. Itulah sebabnya dibutuhkan kerjasama dari keluarga, masyarakat, mediadantentunya dari anak itu sendiri. Pendekatan kepada tokoh agama dan adat juga kerap dilakukan pemerintah.

Khususnya ketika melakukan sosialisasi mengenai pentingnya menjaga anak dari aksi kekerasan seksual. Apalagi sebenarnya norma agama dan kearifan budaya lokal di Indonesia banyak yang menentang aksi kekerasan seksual kepada anak.“Jadi pencegahannya bukan hanya dilihat dari sisi normatif saja,” tutur dia.

Anggota Legislatif ternyata memiliki pandang an yang sama dengan pemerintah. Anggota Komisi VIII DPR RI Sodik Mudjahid mengungkapkan, pihaknya sedang membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU tersebut diharapkan sudah bisa diselesaikan pada 2019.

RUU itu membahas berbagai hukuman yang bisa dikenakan kepada pelaku. Salah satunya adalah mengebiri pelaku yang telah dinyatakan bersalah dan berkekuatan hukum tetap. Juga mengatur berbagai upaya yang harus dilakukan pemerintah terhadap korban, misalkan saja merehabilitasi hingga kondisi kejiwaannya kembali normal.

Juga mengatur berbagai aspek pencegahannya. Sambil menunggu UU itu disahkan, DPR terus mendorong kementerian terkait untuk lebih aktif lagi menyediakan ruang konsultasi kepada perempuan dan anak. Bukan hanya di pusat pemerintahan, tetapi harus juga dilakukan pemerintah daerah.

Ini karena korban kerap enggan datang melapor ke kantor polisi karena malu atau hal lain. Pengamat psikologi Anak Seto Mulyadi juga setuju kalau kekerasan bisa berdampak negatif bagi kejiwaan anak. Kekerasan yang dimaksud bukan hanya terjadi pada fisik, tetapi juga jiwa dan seksualitas anak.

Untuk itu diperlukan sikap yang tegas dari pemerintah untuk mencegah kembali terulangnya kekerasan kepada anak. Baik itu di sekolah ataupun lingkungan keluarga. Anak memang cukup rentan mendapatkan perlakuan kekerasan. Disebabkan adanya paradigma keliru dari orang tua atau lingkungan mengenai anak.

Pelakunya bisa siapa saja. Baik itu mereka yang berpendidikan tinggi ataupun tidak. “Banyak orang tua yang mempercayakan sepenuhnya anak mereka kepada keluarga atau pihak lain. Akibat egoisme orang tua membuat anak-anak rentan menjadi korban,” tutur dia.

Sementara pengamat Pendidikan Doni Kusuma mengakui kekerasan seksual kepada anak kerap terjadi di lingkungan sekolah. Salah satu indikatornya bisa dilihat dari maraknya pemberitan dimedia massa. Hal itu sebenarnya bisa dicegah jika lembaga lendidikan memiliki standar operasional prosedur dalam menangani persoalan seperti itu.

Pemerintah daerah sebenarnya telah meng anjurkan kepada pihak sekolah untuk membuatnya. Tetapi belum banyak yang mengaplikasikannya. Padahal jika setiap sekolah memiliki mekanisme ataupun standarisasi pencegahan ataupun perlakuan kepada korban. Tentunya hal itu akan berdampak positif kepada korban.

Minimal, tidak membuat posisi korban berada dalam kondisi yang sulit. “Terkadang sekolah malah menutup-nutupi. Atau ma lah ada juga yang memojokan korban. Ini tentunya harus diselesaikan dengan membangun kultur tertentu dalam menangani peristiwa sepert itu,” papar dia.

Sementara Pemkot Bandung melalui Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) memaksimalkan peran Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK-R) untuk mengurangi nikah di usia dini pada remaja. Kepala DPPKB Eddy Marwoto mengatakan, Bandung sebagai salah kota metropolitan memiliki kerawanan terhadap remajanya.

Mereka bisa dengan mudah mengakses internet dan media sosial, yang dikhawatirkan akan berdampak pada pergaulan. Salah pergaulan, bisa mengakibatkan terjadinya pernikahan di usia muda.

“Kalau dikota besar seperti Bandung, alasan menikah di usia muda salah satunya karena kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Berbeda dengan di daerah pelosok, yang mungkin mereka dinikahkan karena kondisi lingkungannya,” kata Eddy kepada KORAN SINDO kemarin.

Namun Eddy mengaku belum memiliki data pasti berapa perkawinan usia muda yang terjadi di Kota Bandung. Sebagai gambaran, lanjut dia, jumlah remaja di Indonesia berdasarkan penelitian tahun 2013 sebanyak 66,3 juta.

Mereka berada pada usia produktif antara 10-24 tahun. Artinya, jumlah yang cukup besar itu, mestinya dijaga dan diedukasi agar memiliki perencanaan masa depan yang baik. Karena menurut Eddy, apabila remaja itu melakukan pernikahan di bawah usia 20 tahun, banyak risiko yang akan ditanggung dalam keluarganya.

Menikah muda, kata dia, menyebab kan keluarga tidak harmonis, karena dari sisi mental dan ekonomi mereka belum siap. Akibatnya, pasangan muda sering cek-cok, terjadi perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta rentan terhadap perceraian. (Hermansah/Arif Budianto)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5511 seconds (0.1#10.140)