Penolakan Presiden terhadap UU MD3 Dinilai Terlambat

Jum'at, 23 Februari 2018 - 12:30 WIB
Penolakan Presiden terhadap UU MD3 Dinilai Terlambat
Penolakan Presiden terhadap UU MD3 Dinilai Terlambat
A A A
JAKARTA - Penolakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) hasil revisi kedua disayangkan sejumlah pihak. Mereka menilai penolakan tersebut terlambat karena UU MD3 yang telah disahkan tersebut telah dibahas oleh pemerintah dan DPR.

Sikap Presiden Jokowi yang enggan menandatangani UU MD3 disampaikan seusai menghadiri pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Dzikir Hubbul Wathan di Asrama Haji Pondok Gede, Selasa (21/2/2018). Saat itu Jokowi memahami keresahan sejumlah kalangan atas pengesahan UU MD3 yang dinilai akan mengancam kebebasan berpendapat di Tanah Air. Hal itu terkait adanya sejumlah pasal dalam UU tersebut yang membuat institusi DPR kian superior, termasuk adanya ancaman pe midanaan bagi para pengkritik anggota maupun institusi DPR.

"Ya saya memahami keresahan-keresahan yang ada di masyarakat. Banyak yang mengatakan, ini hukum dan etika kok dicampur aduk. Ada yang mengatakan politik sama hukum kok ada campur aduk. Ya itu pendapat-pendapat yang saya baca, yang saya dengar di masyarakat," kata Jokowi.

Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai sikap Presiden Jokowi tersebut harusnya ditunjukkan lebih awal, yakni saat draf revisi UU MD3 masih dibahas di DPR. Jika penolakan tersebut dilakukan pada saat draf dibahas, dia yakin pembahasan revisi UU MD3 tidak bakal berlanjut. Perwakilan pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM pasti tidak akan melanjutkan pembahasan dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR. Dengan demikian draf revisi UU MD3 tidak bisa disahkan.

"Kalau nggak setuju waktu di sini (di parlemen) dong nolaknya. Waktu pemerintah di sini, kalau nggak setuju kan berhenti UU-nya nggak jalan. Tapi kalau pemerintah setuju, jalan," ujarnya di Kompleks DPR/MPR, Jakarta, Kamis (22/2/2018).

Ketua Umum PAN itu mengatakan sikap Presiden Jokowi yang menolak menandatangani UU MD3 tidak akan banyak berpengaruh terhadap keabsahan UU tersebut. Walau pun tidak ada tanda tangan Presiden, UU MD3 akan otomatis berlaku setelah 30 hari disahkan DPR. Hal itu sesuai dengan Pasal 73 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Ditanda-tangani atau tidak oleh Pak Presiden, 30 hari kerja kan berlaku. Nggak apa-apa kalau Presiden nggak tanda tangan kan boleh. Tidak ada yang dilanggar," tegasnya.

Hal senada disampaikan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Menurutnya walaupun revisi UU MD3 tidak ditandatangani Presiden, dalam jangka waktu 30 hari UU tersebut berlaku secara sah dan mengikat. Kendati demikian dia masih meyakini bahwa Presiden Jokowi akan menandatangani UU MD3 mengingat UU tersebut merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan bersama antara DPR dan pemerintah. Termasuk pasal-pasal yang diperdebatkan oleh sebagian kalangan.

"Oleh karena itu kami minta Menkumhan terus meyakinkan Presiden bahwa perubahan atau koreksi UU MD3 tersebut bisa dilakukan dalam uji materi di MK sebagaimana UU lain yang dinilai tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan Pancasila," katanya.

Penggugat UU MD3 Apresiasi Sikap Presiden
Sikap Presiden Jokowi yang secara eksplisit enggan menandatangani Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) disambut positif oleh penggugat yang telah mendaftarkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 14 Februari 2018. Terlebih Presiden Jokowi melalui Menkumham Yasonna H Laoly sudah menyampaikan sikap tegasnya bahwa pemerintah concern terhadap masalah ini, terutama pada pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya di MK.

"Di berbagai media, Menkumham menyatakan bahwa kemungkinan Presiden tidak akan menandatangani undang-undang yang kami uji ini dan memastikan bahwa tidak akan ada perppu soal ini dan bahkan Presiden mempersilakan untuk mengujinya di MK. Tentunya sikap ini adalah hal yang positif," kata kuasa hukum para pemohon pengujian UU MD3, Andi Irmanputra Sidin, di Jakarta, Kamis (22/2/2018.

Menurut Irman, sikap Presiden yang tidak akan mengeluarkan perppu sangat tepat mengingat instrumen perppu memang akan tidak sehat jika digunakan untuk membumihanguskan UU. Sebab perppu menurut UUD 1945 bukanlah "hak veto" sehingga jika perppu digunakan sebagai instrumen veto akan destruktif terhadap demokrasi konstitusional.

"Pilihan Presiden untuk mempersilakan jalur MK adalah pilihan yang paling sehat karena kodratinya MK memang dihadirkan untuk memutuskan problem konstitusional undang-undang," ungkap Irman.

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Bonyamin Saiman menilai sikap Presiden yang terkejut dengan substansi UU MD3 sehingga enggan menandatanganinya menunjukkan lemahnya Menkumham dalam mengemban tugas membahas UU mewakili Presiden. Selain itu Menkumham juga terbukti tidak melaporkan setiap perkembangan pembahasan di DPR.

"Menkumham tampak telah melakukan fait accompli kepada Presiden Jokowi seakan-akan menodong Presiden untuk menyetujui UU MD3 yang kontroversial," kata Bonyamin.

Padahal setiap wakil eksekutif yang ikut pembahasan seharusnya melaporkan kepada Presiden hal-hal yang penting dan meminta menunda sidang selama belum ada izin dari Presiden sebelum melanjutkan proses berikutnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9167 seconds (0.1#10.140)